Selasa, 27 Desember 2016
Negarabatin
Judul: Negarabatin
Penulis: Udo Z. Karzi
Jenis: novel, bahasa Lampung
Penerbit: Pustaka LaBRAK dan Aura Publishing, Bandar Lampung
Cetakan: I, Desember 2016
ISBN: 978-602-6565-40-9
Tebal: vii + 194 hlm.
NEGARABATIN kuusung midor-midor, Negarabatin mak mehalok kik lupa, Negarabatin ngelekok di badan rik jiwa. Negarabatin delom ati, Negarabatin delom angangon, Negarabatin delom hanipi.
Negarabatin pekonku. Tumbai risok nyak nyesol ngapi bang nyak laher dija. Pepira kali nyak lijung. Kehagaku jawoh-jawoh jak Negarabatin. Cengkelang kicui. Api nihan akukanku jak pekonku inji. Gelarni riya sai Negarabatin, kidang sekam mejereh. Adu do nyak aga ngulapakoni.
Sekekejungni Pesisir Sememanjangni Angangon
Judul: Sekekejungni Pesisir Sememanjangni Angangon
Penulis: Elly Dharmawanti dan S.W. Teofani
Jenis: kumpulan sajak, bahasa Lampung
Penerbit: Pustaka LaBRAK dan Aura Publishing, Bandar Lampung
Cetakan: I, Desember 2016
ISBN: 978-602-6565-40-2
Tebal: viii + 81 hlm.
RUWA penulis inji, Elly Dharmawanti rik S.W. Teofani nangon radu mesaka mekantek. Pema-pema, tian ruwa muneh rupani gering nulis cerita buntak. Muwakni -- reno ceritani tian ruwa -- tian mak sepandaian. Alhasil, tian ruwa ajo cerbunis (Indonesia: cerpenis) sai mekantek.
Tanno, tian ruwa pepema peperda muneh nyani puisi. Tian ruwa titemuko delom sai buku. Jadi do, buku puisi Sekekejungni Pesiser Sememanjangni Angangon inji.
Kamis, 22 September 2016
Tinjauan Kritis Reklamasi Teluk Lampung
Judul: Tinjauan Kritis Reklamasi Teluk Lampung
Editor: Udo Z Karzi
Penulis: Ali Rukman, Ansori, Bambang Suryadi, Dedy Hermawan, Devi Arnita, Faruk Rahman, Guntur Subing, H.S. Tisnanta, Iwan Nurdin, Hendrik Adiansyah, Alian Setiadi, Muchlas, Reynaldo Sitanggang, Wahrul Fauzi Silalahi, Wiyadi, Yusdiyanto
Penerbit: Pustaka LaBRAK dan Kopi Institute
Cetakan: I, September 2016
ISBN: 978-602-74519-1-9
Tebal: 14 cm x 21 cm
Kota Bandar Lampung -- dulu bernama Kotamadya Tanjungkarang Telukbetung karena terbentuk dari dua kota kembar Tanjungkarang dan Telukbetung -- sesungguhnya perpaduan wilayah yang asyik: laut-pantai dan bukit-ngarai. Sebuah kota yang eksotis sebenarnya. IHarmoni alam yang luar biasa ini yang dianugerahkan Yang Maha Pencipta kepada Kota Tapis Berseri.
***
Lama menghilang, tiba-tiba menyeruak lagi kisah lara tentang reklamasi. Kita pun kembali berpolemik.
Kamis, 01 September 2016
Menulis dan Membukukan Lampung Barat
Sekincau (FOTO: BUDHI MARTA UTAMA) |
Yang terakhir, saya sebenarnya berharap ada "pertarungan gagasan" -- meminjam istilah Syarief Makhya -- mengenai bagaimana seharusnya membangun Bumi Sekala Brak dari para bakal calon bupati. Tapi, sikap pragmatisme dari banyak pihak memustahilkan hal tersebut.
Tapi, saya suka karena di luar "pertarungan politik", tetap ada suara-suara lain yang menghendaki Lampung Barat bisa bergerak maju dan meninggalkan ketertinggalannya yang dituangkan dalam bentuk puisi, cerpen, dan artikel/esai di berbagai tempat/media.
Jumat, 27 Mei 2016
Pengetahuan
Oleh Wandi Barboy |
Dalam lembaran yang menguning seiring usia buku yang menua itu, Raja Sulaiman (Salomo, Kristen) menegaskan bahwa "Pengetahuan itu mendjadi suatu mata air selamat kepada orang jang mempunjai dia." Titik. Hanya sampai di situ.
Selasa, 24 Mei 2016
Menguping Celoteh Warga Negarabatin
Oleh Aris Kurniawan
HAMPIR setiap koran dan majalah memiliki kolom khusus. Pada koran harian biasanya muncul pada hari Minggu. Kolumnisnya kadang bukan bagian dari orang dalam koran bersangkutan. Harian Kompas misalnya, dulu punya kolom Asal Usul yang diisi secara bergantian oleh Ariel Heryanto dan Mohamad Sobary dan jauh sebelumnya oleh Mahbub Djunaidy—sekarang bernama Udar Rasa yang ditulis secara bergiliran oleh Bre Redana, Seno Gumira Ajidarma, dan Jean Couteau. Majalah Tempo punya kolom Catatan Pinggir dengan Goenawan Mohamad sebagai penulis tetapnya hingga sekarang. Kedaulatan Rakyat ada kolom Sketsa yang ditulis Umar Kayam. Suara Pembaruan punya kolom Cemplon yang ditulis Umar Nur Zain. Kolom khusus di Koran Jakarta penulisnya Arswendo Atmowiloto.
Lampung Post, sebuah koran terbesar di Lampung punya kolom Nuansa yang ditulis oleh -- salah satunya -- Udo Z Karzi (alias Zulkarnain Zubairi) yang kemudian dibukukan dengan judul Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali. Udo menulis kolom di harian tersebut sejak 2009 hingga 2015. Tampaknya tidak semua kolom yang ditulis Udo sepanjang rentang waktu tersebut disertakan di buku ini, mengingat di bawah judul tersebut diberi penjelasan Kolom Terpilih 2009-2015. Saya jelas tidak tahu judul-judul mana yang tidak terpilih dan terlewatkan serta bagaimana ia memilah dan memilih yang terbaik.
Model diperani Astrid dan Putri. |
Lampung Post, sebuah koran terbesar di Lampung punya kolom Nuansa yang ditulis oleh -- salah satunya -- Udo Z Karzi (alias Zulkarnain Zubairi) yang kemudian dibukukan dengan judul Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali. Udo menulis kolom di harian tersebut sejak 2009 hingga 2015. Tampaknya tidak semua kolom yang ditulis Udo sepanjang rentang waktu tersebut disertakan di buku ini, mengingat di bawah judul tersebut diberi penjelasan Kolom Terpilih 2009-2015. Saya jelas tidak tahu judul-judul mana yang tidak terpilih dan terlewatkan serta bagaimana ia memilah dan memilih yang terbaik.
Rabu, 18 Mei 2016
Keisengan Mamak Kenut dalam Corak Kehidupan Berwajah Banyak
Oleh Hardi Hamzah
Data Buku
Judul: Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali
Penulis: Udo Z Karzi
Penerbit: Pustaka Labrak, Maret 2016
ISBN: 978-602-96731-8-0
Tebal: iv + 231 halaman
Judul: Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali
Penulis: Udo Z Karzi
Penerbit: Pustaka Labrak, Maret 2016
ISBN: 978-602-96731-8-0
Tebal: iv + 231 halaman
DENGAN bahasa yang sederhana, bahkan cenderung berkelakar
dan mencibir blak-blakan, mungkin sekali penulis buku ini bermaksud mengajak kita
untuk “mari membicarakan yang serius dengan keisengan”. Itu barangkali sebagian
yang bisa kita tangkap dari buku Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali
karya Udo Z Karzi.
Jumat, 13 Mei 2016
Mamak Kenut dan Abnormalitas Politik
Oleh Rahmatul Ummah
Data Buku:
Judul: Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali
Penulis: Udo Z. Karzi
Penerbit: Pustaka Labrak, Maret 2016
ISBN: 978-602-96731-8-0
Tebal: iv + 231 halaman
“Dalam masyarakat jejaring yang di dalamnya pengetahuan tidak lagi menjadi milik khas kaum tertentu, skema pengetahuan dan skema politik representatif terbukti tidak lagi cukup-diri. Ketidakcukupan (insufficiency) politik demokrasi representatif dalam memenuhi janji-janjinya telah menciptakan jalur demokrasi yang bergerak di luar norma kewajaran namun autentik dan mampu mempertahankan otonominya.” (Pierre Rosanvallon, Counter-Democracy, 274)
Data Buku:
Judul: Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali
Penulis: Udo Z. Karzi
Penerbit: Pustaka Labrak, Maret 2016
ISBN: 978-602-96731-8-0
Tebal: iv + 231 halaman
“Dalam masyarakat jejaring yang di dalamnya pengetahuan tidak lagi menjadi milik khas kaum tertentu, skema pengetahuan dan skema politik representatif terbukti tidak lagi cukup-diri. Ketidakcukupan (insufficiency) politik demokrasi representatif dalam memenuhi janji-janjinya telah menciptakan jalur demokrasi yang bergerak di luar norma kewajaran namun autentik dan mampu mempertahankan otonominya.” (Pierre Rosanvallon, Counter-Democracy, 274)
Selasa, 10 Mei 2016
Dosa Rara yang Tak Terlupakan
Judul: Dosa Rara yang Tak Terlupakan
Penulis: Andi Priyadi
Penerbit: Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung
Cetakan: I, Mei 2016
ISBN: 978-602-74519-0-2
Tebal: 206 halamaan
Buku ini layak dibaca oleh generasi muda penerus bangsa. Tidak semua lingkungan itu baik. Tapi, bagaimana kita dalam keseharian dapat membentengi diri kita dengan akhlak dan iman yang mulia. Agama mengajarkan kita untuk mengikuti ajaran-Nya. Pengaruh pendidikan di lingkungan keluarga juga sangat mendasar untuk mendidik putra-putri kita dalam menatap masadepan yang lebih baik.
~ Ir Achmad Crisna Putra, MEP, Mantan Pj. Wali Kota Metro
Penulis: Andi Priyadi
Penerbit: Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung
Cetakan: I, Mei 2016
ISBN: 978-602-74519-0-2
Tebal: 206 halamaan
Buku ini layak dibaca oleh generasi muda penerus bangsa. Tidak semua lingkungan itu baik. Tapi, bagaimana kita dalam keseharian dapat membentengi diri kita dengan akhlak dan iman yang mulia. Agama mengajarkan kita untuk mengikuti ajaran-Nya. Pengaruh pendidikan di lingkungan keluarga juga sangat mendasar untuk mendidik putra-putri kita dalam menatap masadepan yang lebih baik.
~ Ir Achmad Crisna Putra, MEP, Mantan Pj. Wali Kota Metro
Andi Priyadi
Penulis ini tinggal di Bandar Lampung. Profesi wartawan media online Lampungtoday.com. Ia juga owner/Pemimpin Redaksi media online Suryaandalas.com.
Ia menyelesaikan novel Dosa Rara yang Tak Terlupakan (2016) secara tak sengaja karena menulis bab awal (prolog) dipublis di Lampungtoday.com. Dalam hitungan kurang dari satu jam setelah dipublikasikan, pembaca mencapai hampir 2.000. Banyak yang suport, bilang bagus, menarik, dan penasaran meminta kelanjutannya, maka dibuatlah novel ini sekitar satu bulanan. Ini novel pertamanya. Facebook: Andi Celon, Surya Andalas.
Ia menyelesaikan novel Dosa Rara yang Tak Terlupakan (2016) secara tak sengaja karena menulis bab awal (prolog) dipublis di Lampungtoday.com. Dalam hitungan kurang dari satu jam setelah dipublikasikan, pembaca mencapai hampir 2.000. Banyak yang suport, bilang bagus, menarik, dan penasaran meminta kelanjutannya, maka dibuatlah novel ini sekitar satu bulanan. Ini novel pertamanya. Facebook: Andi Celon, Surya Andalas.
Senin, 18 April 2016
Membaca Batu Serampok Menemukan Duplikatnya Jhumpa Lahiri
Oleh Endri Y
KEMAMPUAN mengeksplore cinta, mengudar rasa, tentu diiringi kedewasaan memaknai kepahitan hidup cermin kematangan pengalaman dan keindahan karya. Setidaknya, itulah kesan awal yang tertangkap ketika membaca buku kumpulan cerita pendek (cerpen) Batu Serampok, Tita Tjindarbumi yang diterbitkan Labrak, 2015.
Pertama kali menerima buku itu, mengingatkan kita pada penulis cerpen yang mampu meraih The 2000 Pulitzer Prize for Fiction, Jhumpa Lahiri. Meski diakui Sanie B Kuncoro dalam endensor sampul buku Batu Serampok itu dengan kalimat “tidak ada lagi sesuatu yang baru”. Ketika menyandingkan dua buku kumpulan cerpen karya Tita dan Jhumpa, merasakan kesamaan, mempertontonkan dunia yang kaya emosi. Namun kemudian, harus diakui, di sinilah sederet kekecewaan kita sebagai pembaca.
Batu Serampok, kumpulan cerpen Tita Tjindarbumi. Bandar Lampung: Pustaka LaBRAK, 2015. |
Pertama kali menerima buku itu, mengingatkan kita pada penulis cerpen yang mampu meraih The 2000 Pulitzer Prize for Fiction, Jhumpa Lahiri. Meski diakui Sanie B Kuncoro dalam endensor sampul buku Batu Serampok itu dengan kalimat “tidak ada lagi sesuatu yang baru”. Ketika menyandingkan dua buku kumpulan cerpen karya Tita dan Jhumpa, merasakan kesamaan, mempertontonkan dunia yang kaya emosi. Namun kemudian, harus diakui, di sinilah sederet kekecewaan kita sebagai pembaca.
Sabtu, 16 April 2016
Buku
Oleh Susilowati |
Kita tak bisa membayangkan sebuah peradaban tanpa buku sebagai sumber pengetahuan sekaligus penyambung dari satu peradaban ke peradaban lainnya. Jika sebuah peradaban dibangun tanpa buku, tentu menjadi karut-marut. Begitu pun jika sebuah generasi tanpa buku, apa yang terjadi?
Kamis, 14 April 2016
Udo Zul -Ali Launching Buku
LIWA, FS -- Dua buku dari Zulkarnain Zubaidi yang sering dipanggil Udo Z Karzi bersama Ali Rukman berjudul Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali dan Saya Belajar Dari Sini diluncurkan di Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) PNPM Balik Bukit, Pekon Gunung Sugih, Liwa, Lampung Barat, Rabu (13/4).
Penulis Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali, Udo Z Karzi mengatakan akhirnya ia kembali mengeluarkan buku, meskipun tidak semua orang cinta dengan buku. "Saya tidak pernah kapok bikin buku, walau buat buku tak seperti bikin kue," kata dia.
Udo Z Karzi menyerahkan buku secara sombolis kepada Kepala SMAN 1 Liwa. |
Minggu, 10 April 2016
Udo Z. Karzi dan Ali Rukman Siap Luncurkan Buku di Negarabatin
Buku Udo Z Karzi dan Ali Rukman yang akan diluncurkan. (IST) |
Ketua Panitia peluncuran buku Ahmadi Putera Syahlewi mengatakan, dua buku yang akan diluncurkan adalah Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali karya Udo Z Karzi, dan Saya Belajar dari Sini: Pengalaman Mendampingi Masyarakat Lampung Barat karya Ali Rukman.
Kamis, 31 Maret 2016
Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali
Judul: Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali
Penulis: Udo Z. Karzi
Penerbit: Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung
Cetakan: I, Maret 2016
ISBN: 978-692-96731-8-0
Tebal: vii + 231 hlm.
Negarabatin masih seperti dahulu. Banyak masalah. Tapi, karena itu Negarabatin hidup. Soalnya hidup memang segudang masalah. Tidak ada masalah berarti tidak hidup. Asal hidup tidak jadi masalah. Tapi, jangan hidup hobi cari masalah. Masalah ya kita atasi. Maunya. Tapi kalau tidak mampu mengatasi ya cukuplah jadi tukang kritik--bahasa aslinya sih tukang recok.
Sabtu, 27 Februari 2016
Ali Rukman
Lahir 20 Mei 1975 di Hamkebik, Sukarami, Liwa, Lampung Barat. Ia anak ketiga dari lima bersaudara dari ayah Thamrin Shahri dan ibu Choiratun. Menikah dengan Arbayti Resminingsih, 31 Desember 2001, ia dikaruniai dua anak, Ainiyya Hana Pathi Seruni (lahir di Pringsewu 22 November 2002) dan Aqil Fadh Pathi Ilalang (lahir di Tanjungkarang, 25 September 2010).
Ali yang sejak menginjak Sekolah Dasar hobi berorganisasi ini memulai aktivitasnya dengan masuk Pramuka dan sempat menekuni olahraga seni beladiri karate dan silat Lampung. Saat usianya terbilang belia dibanding yang lain, ia menjadi pengurus organisasi muda-mudi asal Liwa di Bandar Lampung yaitu Muli Meghanai-Pengikok Liwa Sepakat (MM Pelikat) dan Lembaga Swadaya Masyarakat Zero Population Grouth (ZPG) wilayah Lampung yang aktif melakukan kampanye anti-AIDS pada SMA-SMA di Bandar Lampung. Ia juga pada menjadi salah satu pendiri dari Perhimpunan Kawokh Bungkok, Lampung Barat yaitu Perhimpunan yang hingga saat ini banyak bergerak di pemberdayaan petani di Liwa Lampung Barat.
Ali yang sejak menginjak Sekolah Dasar hobi berorganisasi ini memulai aktivitasnya dengan masuk Pramuka dan sempat menekuni olahraga seni beladiri karate dan silat Lampung. Saat usianya terbilang belia dibanding yang lain, ia menjadi pengurus organisasi muda-mudi asal Liwa di Bandar Lampung yaitu Muli Meghanai-Pengikok Liwa Sepakat (MM Pelikat) dan Lembaga Swadaya Masyarakat Zero Population Grouth (ZPG) wilayah Lampung yang aktif melakukan kampanye anti-AIDS pada SMA-SMA di Bandar Lampung. Ia juga pada menjadi salah satu pendiri dari Perhimpunan Kawokh Bungkok, Lampung Barat yaitu Perhimpunan yang hingga saat ini banyak bergerak di pemberdayaan petani di Liwa Lampung Barat.
Saya Belajar dari Sini
Penulis:
Ali Rukman
Penerbit:
Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung
Cetakan:
I, Februari 2016
ISBN:
978-602-96731-9-7
Tebal: viii + 137 halaman
Perlahan motor saya mundurkan lagi mendekat ke
pantai untuk medapatkan jalan yang agak keras supaya ban tidak kepater.
“Bismillah,” ujar saya. Tarikan pertama nyangkut, oke diulang lagi. Sejenak saya berpikir bagaimana melewati gundukan
pasir ini. Sementara
dalam gelap malam hujan rintik tetap mengiringi, tetapi keringat sepertinya tak mau
kalah membasahi sekujur tubuh. Mungkin karena tegang atau karena faktor lain.
Minggu, 21 Februari 2016
Orang-orang Setia
Judul: Orang-orang Setia: Kumpulan Naskah Drama Teater Satu
Penulis: Ari Pahala Hutabarat, Fitri Yani, Imas Sobariah, Iswadi Pratama
Penerbit: Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung
Cetakan: I, Januari 2016
ISBN: 139766029673166
Tebal: 236 halaman
Harga: Rp60.000
Di tengah langkanya naskah drama yang diterbitkan, kehadiran buku itu yang berisi delapan naskah drama, patut kita apresiasi. Teater Satu Lampung telah bertungkus lumus dengan seni peran ini sejak lama dan mampu membuatnya grup ini sukses menembus perteateran nasional, bahkan internasional. Lakon-lakon dalam buku ini sangat kuat untuk dipentaskan oleh sesiapa pun pekerja teater.
Penulis: Ari Pahala Hutabarat, Fitri Yani, Imas Sobariah, Iswadi Pratama
Penerbit: Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung
Cetakan: I, Januari 2016
ISBN: 139766029673166
Tebal: 236 halaman
Harga: Rp60.000
Di tengah langkanya naskah drama yang diterbitkan, kehadiran buku itu yang berisi delapan naskah drama, patut kita apresiasi. Teater Satu Lampung telah bertungkus lumus dengan seni peran ini sejak lama dan mampu membuatnya grup ini sukses menembus perteateran nasional, bahkan internasional. Lakon-lakon dalam buku ini sangat kuat untuk dipentaskan oleh sesiapa pun pekerja teater.
Di Balik Terang Cahaya: Catatan Proses Aktor Teater Satu
Judul: Di Balik Terang Cahaya: Catatan Proses Aktor Teater Satu
Penulis: Ahmad Jusmar, Andriyan Dwi Prawersthi, Baysa Deni, Budi Laksana, Deri Efwanto, Desi Susanti, Dwi 'Nobokov' Novita, Ema Luthfiani , Erika Bunga, Gandi Maulana, Hamidah Sherva, Imam Setia Hagi, Hendri Rosevel, Nersalya Renata, Rarai Masae Soca Wening Ati, Raras Sintha, Ruth Marini, Sugianto Jayen, Vita Oktaviana
Penerbit: Pustaka LaBRAK
Cetakan: I, Januari 2016
ISBN: 9786029677317
Tebal: v + 325
Harga: Rp75.000
Di Balik Terang Cahaya adalah catatan proses kreatif sebagian aktor di Teater Satu Lampung dalam kurun 20 tahun terakhir. Dikatakan sebagian karena jumlah aktor yang pernah belajar dan berjibaku di kelompok ini cukup banyak. Sejumlah besar dari mereka tidak bertahan karena alasan-alasan tertentu. Sementara di antara sebagian kecil yang masih bersama Teater Satu, belum semuanya sempat menulis. Para aktor yang masih bersama Teater Satu ini pun, beberapa di antaranya mereka terpaksa belum bisa aktif kembali, lantaran pindah ke kota lain untuk bekerja atau berkeluarga. Namun, tulisan mereka dimuat dalam buku jilid pertama ini-- meski belum komprehensif. Mudah-mudahan akan segera menyusul buku kedua, ketiga, dan seterusnya, sehingga pembaca bisa menikmati tulisan mereka dalam versi yang lebih spesifik, juga dari aktor Teater Satu lainnya yang belum termuat.
Penulis: Ahmad Jusmar, Andriyan Dwi Prawersthi, Baysa Deni, Budi Laksana, Deri Efwanto, Desi Susanti, Dwi 'Nobokov' Novita, Ema Luthfiani , Erika Bunga, Gandi Maulana, Hamidah Sherva, Imam Setia Hagi, Hendri Rosevel, Nersalya Renata, Rarai Masae Soca Wening Ati, Raras Sintha, Ruth Marini, Sugianto Jayen, Vita Oktaviana
Penerbit: Pustaka LaBRAK
Cetakan: I, Januari 2016
ISBN: 9786029677317
Tebal: v + 325
Harga: Rp75.000
Di Balik Terang Cahaya adalah catatan proses kreatif sebagian aktor di Teater Satu Lampung dalam kurun 20 tahun terakhir. Dikatakan sebagian karena jumlah aktor yang pernah belajar dan berjibaku di kelompok ini cukup banyak. Sejumlah besar dari mereka tidak bertahan karena alasan-alasan tertentu. Sementara di antara sebagian kecil yang masih bersama Teater Satu, belum semuanya sempat menulis. Para aktor yang masih bersama Teater Satu ini pun, beberapa di antaranya mereka terpaksa belum bisa aktif kembali, lantaran pindah ke kota lain untuk bekerja atau berkeluarga. Namun, tulisan mereka dimuat dalam buku jilid pertama ini-- meski belum komprehensif. Mudah-mudahan akan segera menyusul buku kedua, ketiga, dan seterusnya, sehingga pembaca bisa menikmati tulisan mereka dalam versi yang lebih spesifik, juga dari aktor Teater Satu lainnya yang belum termuat.
Rabu, 17 Februari 2016
Balada Kutukan dari Lampung Tempo Doeloe
Oleh Endri Kalianda
Mencari Jejak Masa Lalu Lampung: Lampung Tumbai 2014. Frieda Amran. Bandar Lampng: Pustaka LaBRAK, 2016. xx + 208 hlm. |
Karena uang hatimu telah menjadi kebal,
tuli terhadap tuntutan kedadilan dan akal,
menantang hati lembut bergelora kekerasan.
BAIT pertama pada sajak Balada Kutukan yang berjudul Hari Terakhir
Orang Belanda di Pulau Jawa itu terjemahan Chairil Anwar dan dimuat dalam
buku HB. Jassin.
Sajak yang menjadi penanda, ada seorang penjajah yang mengakui, darahnya
mendidih dan memberontak karena menyaksikan penderitaan rakyat yang disaksikan,
ditindas oleh bangsanya.
Minggu, 24 Januari 2016
Frieda Amran: Jatuh Cinta dengan Lampung
Frieda Amran. (FOTO: WAWAN TARYANTO) |
Berbekal referensi-referensi kuno yang diperolehnya dari Rijksuniversiteit Leiden (Universitas Leiden) di Belanda, saat ia menempuh Magister Antropologi, ia mencoba membuka wawasan masyarakat Lampung mengenai kebudayaan Lampung yang ada dalam catatan sejarah Belanda. Mendapat kesempatan untuk mengulas bukunya di Kafe Dawiels, Sabtu (23/1/2016), reporter Teknokra Faiza Ukhti Annisa mencoba mewawancarainya.
Berikut hasil wawancaranya:
Kenapa terpikir untuk membuat buku Jejak Masa Lalu Lampung, Lampung Tumbai?
Sebenarnya bukan membuat buku, melainkan membuka akses terhadap sumber-sumber primer mengenai sejarah sosial dan budaya Lampung. Sumber-sumber primer itu biasanya berbahasa Lampung, beraksara Lampung, beraksara Jawi atau berbahasa Belanda. Dan bagian yang bahasa Belanda jarang orang yang melakukan, karena jarang orang yang memahami bahasa Belanda, terutama Belanda Kuno. Saya mengerti, jadi saya sampaikan kembali.
Tulisan-tulisan yang saya baca itu tulisan-tulisan Belanda Kuno dari abad 16. Orang Belanda sendiri sudah tidak terlatih untuk membacanya. Saya juga memerlukan waktu yang banyak untuk dapat memahaminya.Tapi, gak diterjemahkan karena itu penerbitan untuk koran, kalau semua artikel itu diterjemahkan maka akan terlalu panjang dan terlalu membosankan karena itu tulisan-tulisan kuno.
Apa yang membuat Anda tertarik dengan budaya Lampung, padahal Anda bukan merupakan orang Lampung?Perhatian orang itu biasanya ke daerah Jawa dan Bali saja, kurang sekali perhatian pada orang luar Jawa. Saya adalah orang Sumatera Selatan, jadi perhatian saya ke Sumatera, termasuk Lampung. Tapi, kemudian saya jatuh cinta dengan Lampung. Membaca banyak hal tentang Lampung membuat saya tertarik sehingga jatuh cinta dan kebetulan ketemu dengan orang-orang yang sehati di Lampung.
Apakah ada hambatan dalam penulisan buku Lampung Tumbai?
Hambatannya itu dari bahan yang tersedia, ada yang berkomentar bahwa saya terlalu berpihak pada pepadun, saibatin dan yang lain. Sebenarnya saya tidak berpihak, saya netral dan itu bukan pilihan. Itu semua tergantung bahan yang saya temukan mengenai Lampung dan mungkin kebetulan yang saya temukan tentang salah satunya.
Kapan pertama kali tertarik menulis tentang budaya Lampung?
Mulainya saya menuliskan artikel di Lampung Post itu, Januari 2014.
Bagaimana Anda menanggapi komentar negatif dalam tulisan yang Anda tulis mengenai budaya Lampung?
Saya menanggapi komentar negatif atau positif itu sebagai bentuk perhatian dan membuat saya bersemangat. Komentar itu sebagai bentuk kepedulian mereka, semakin mereka marah atau semakin mereka memuji itu berarti sikap kepeduliannya tinggi. Kalau mereka gak peduli, takkan ada komentar, terserah saya mau nulis apa tentang Lampung . Saya mengerti karena ini ditulis oleh orang Belanda, kadang-kadang gak enak untuk didengar, jadi wajar aja kalau ada yang marah.
Apakah Anda akan menulis buku tentang kebudayaan Lampung lagi?
Insya Allah yang sedang saya kerjakan terkait dengan Lampung, yaitu buku yang judul sementaranya itu “Jejak-Jejak Purbakala di Lampung”. Saya akan mengembangkan satu artikel dan saya akan ikut menjadi editor karena kerangka berpikirnya buku itu ada di kepala saya. Tetapi penulis utamanya adalah ahli-ahli purbakala Indonesia yang pernah meneliti Lampung.
Apa harapan Anda untuk masyarakat Lampung?
Yang terpenting bagi saya adalah orang di Lampung mau mempelajari budaya Lampung, untuk tahu apa pun yang ditulis orang mengenai Lampung, baik yang enak dibaca atau tidak. Sebenarnya itu keinginan saya
Pesan Anda untuk penulis muda, terutama mengenai sejarah sosial budaya?
Saya ingin sekali orang-orang muda, seperti mahasiswa belajar menulis secara deskriptif. Jadi seperti misalnya ‘rumah orang Lampung berbentuk panggung’ gak menarik, kan. Tapi kalau ‘rumah orang Lampung itu dibangun di atas tiang-tiang, tiang-tiang itu terbuat dari kayu jati dan di sisi kanan ada ukiran bla bla bla’ itu akan lebih menarik. Kelihatannya mudah membuat kalimat deskripsi yang baik, tapi sebenarnya itu susah sekali.
dimuat di Teknokra.com, 24 Januari 2016 (Klik: Frieda Amran Jatuh Cinta dengan Lampung)
Mencari Jejak Masa Lalu Lampung di Antara Jemariku
Judul buku : Mencari Jejak Masa Lalu Lampung : Lampung Tumbai 2014
Penulis : Frieda Amran
Editor : Udo Z. Karzi
Foto sampul : Arman AZ
Desain Sampul : Dara Dharmaperwira
Tata letak : Tri Purna Jaya
Isi : xviii + 208 hlm, 14 X 21 cm
Penerbit : Pustaka LaBRAK
Cetakan 1 : Januari 2016
ISBN : 978-602-96731-4-2
Aku senang mendapatkan buku ini, terlebih dilengkapi tanda tangan dan kesempatan untuk berbincang dengan penulisnya (walau sebentar banget) saat penulisnya Frieda Amran berkunjung ke Lampung, Sabtu 23 Januari 2015. Apakah buku ini membuat penasaran? Tidak. Bahkan aku sudah membaca nyaris semua isinya karena tulisan-tulisan dalam buku ini sudah diterbitkan lewat koran Lampung Post tiap hari Minggu.
Namun bukan berarti buku ini patut dilewatkan begitu saja. Buku ini adalah inspirasi bagi banyak gerakan lain di Lampung. Aku tak perlu membuktikan hal itu. Tapi simaklah dengan cermat yang terkandung dalam tulisan-tulisan ini. Apa yang sudah tertimbun oleh waktu dicuatkan kembali. Diingatkan kembali. Digali kembali. Maka kita akan mengulang peristiwa-peristiwa, tempat-tempat, detail-detail budaya, tradisi, dan sebagainya.
Kenapa ini berbeda dengan buku sejarah? Frieda mengambil sumber dari tulisan-tulisan para ilmuwan, pegawai pemerintah Hindia Belanda dan penjelajah Inggris dan Belanda di abad 19 tentang Lampung. Lalu dituliskan bukan bentuk terjemahan yang bisa dibayangkan bakal membosankan jika memakai struktur dan gaya bahasa Belanda kuno yang panjang berbelit-belit, tapi Frieda menuliskannya dalam kalimat-kalimat yang mengalir sederhana mudah dipahami tanpa menghilangkan data dan fakta yang perlu diungkapkan. Jadinya? Tulisan keren yang asyik. Hehehe... Selebihnya, silakan baca sendiri. Ini cuplikan untuk ngintip sedikit :
Halaman 119. ... Sebaliknya, pulau-pulau lain seperti Krakatau dan Sebuku, dihindari. Konon, orang yang tinggal lebih dari dua minggu di pulau-pulau itu akan terserang demam tinggi. Mungkinkah banyak nyamuk malaria di sana? Walahhuallam. Yang jelas penyakit malaria baru dikenal puluhan tahun setelah FG Steck (sumber tulisan) meninggalkan Lampung. Nama jelek kedua pulau itu membuat orang Lampung menggunakannya sebagai tempat pembuangan dan pengucilan.
Nah, dengan gaya tulisan seperti itu aku yakin Frieda eh Lampung Tumbai (sebenarnya sih keduanya tak bisa dipisahkan) sudah memiliki banyak penggemar. Maka saat kencan di Dawiels pada malam minggu itu, beberapa orang menyebut diri,"Kami ini Frieda lover." Nah.
Begitu. Jika kemudian buku ini membutuhkan tindak lanjut semacam Pusat Dokumentasi Lampung, ya, itulah yang seharusnya dilakukan. Kini langkah-langkah awal sudah dibuat. Jemari membuka-buka lembaran jejak masa lalu, kaki harus digerakkan ke Lampung masa depan. Semangat.
Blog Yuli Nugrahani ( http://yulinugrahani.blogspot.co.id ), Minggu, 24 Januari 2016
Penulis : Frieda Amran
Editor : Udo Z. Karzi
Foto sampul : Arman AZ
Desain Sampul : Dara Dharmaperwira
Tata letak : Tri Purna Jaya
Isi : xviii + 208 hlm, 14 X 21 cm
Penerbit : Pustaka LaBRAK
Cetakan 1 : Januari 2016
ISBN : 978-602-96731-4-2
Aku senang mendapatkan buku ini, terlebih dilengkapi tanda tangan dan kesempatan untuk berbincang dengan penulisnya (walau sebentar banget) saat penulisnya Frieda Amran berkunjung ke Lampung, Sabtu 23 Januari 2015. Apakah buku ini membuat penasaran? Tidak. Bahkan aku sudah membaca nyaris semua isinya karena tulisan-tulisan dalam buku ini sudah diterbitkan lewat koran Lampung Post tiap hari Minggu.
Namun bukan berarti buku ini patut dilewatkan begitu saja. Buku ini adalah inspirasi bagi banyak gerakan lain di Lampung. Aku tak perlu membuktikan hal itu. Tapi simaklah dengan cermat yang terkandung dalam tulisan-tulisan ini. Apa yang sudah tertimbun oleh waktu dicuatkan kembali. Diingatkan kembali. Digali kembali. Maka kita akan mengulang peristiwa-peristiwa, tempat-tempat, detail-detail budaya, tradisi, dan sebagainya.
Kenapa ini berbeda dengan buku sejarah? Frieda mengambil sumber dari tulisan-tulisan para ilmuwan, pegawai pemerintah Hindia Belanda dan penjelajah Inggris dan Belanda di abad 19 tentang Lampung. Lalu dituliskan bukan bentuk terjemahan yang bisa dibayangkan bakal membosankan jika memakai struktur dan gaya bahasa Belanda kuno yang panjang berbelit-belit, tapi Frieda menuliskannya dalam kalimat-kalimat yang mengalir sederhana mudah dipahami tanpa menghilangkan data dan fakta yang perlu diungkapkan. Jadinya? Tulisan keren yang asyik. Hehehe... Selebihnya, silakan baca sendiri. Ini cuplikan untuk ngintip sedikit :
Halaman 119. ... Sebaliknya, pulau-pulau lain seperti Krakatau dan Sebuku, dihindari. Konon, orang yang tinggal lebih dari dua minggu di pulau-pulau itu akan terserang demam tinggi. Mungkinkah banyak nyamuk malaria di sana? Walahhuallam. Yang jelas penyakit malaria baru dikenal puluhan tahun setelah FG Steck (sumber tulisan) meninggalkan Lampung. Nama jelek kedua pulau itu membuat orang Lampung menggunakannya sebagai tempat pembuangan dan pengucilan.
Nah, dengan gaya tulisan seperti itu aku yakin Frieda eh Lampung Tumbai (sebenarnya sih keduanya tak bisa dipisahkan) sudah memiliki banyak penggemar. Maka saat kencan di Dawiels pada malam minggu itu, beberapa orang menyebut diri,"Kami ini Frieda lover." Nah.
Begitu. Jika kemudian buku ini membutuhkan tindak lanjut semacam Pusat Dokumentasi Lampung, ya, itulah yang seharusnya dilakukan. Kini langkah-langkah awal sudah dibuat. Jemari membuka-buka lembaran jejak masa lalu, kaki harus digerakkan ke Lampung masa depan. Semangat.
Blog Yuli Nugrahani ( http://yulinugrahani.blogspot.co.id ), Minggu, 24 Januari 2016
Jumat, 22 Januari 2016
Ngupi Pai Bareng Frieda Amran
Frieda Amran |
Kepada pojosamber.com, Udo Z Karzi mengatakan bahwa banyak hal bisa kita diskusikan bersama Frieda Amran terkait Lampung dulu, kini, dan masa depan. Meski demkiian, Udo Z Karzi juga mengingatkan bahwa acara ini bersifat independen.
Minggu, 17 Januari 2016
Mencari Jejak Masa Lalu Lampung: Lampung Tumbai 2014 (Edisi Kedua)
Judul: Mencari Jejak
Masa Lalu Lampung: Lampung Tumbai 2014
Penulis: Frieda Amran
Penerbit: Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung
Cetakan: Edisi Kedua, Cetakan I, Januari 2016
ISBN: 9786029673142
Tebal: xviii + 208 halaman
Persoalan bahasa menjadi kendala utama yang mematahkan
semangat mahasiswa dan peneliti untuk tidak menggunakan pendekatan sejarah yang
memanfaatkan sumber-sumber tertulis berbahasa Belanda. Mengetahui problem utama
keterbatasan dalam penguasaan bahasa sumber itulah, seorang antropolog yang
menyejarah, Frieda Amran, mempunyai ide cemerlang. Sebagai seorang yang pernah
menjadi mahasiswa Pascasarjana Jurusan Antropologi di Universitas Leiden,
pernah menggunakan pendekatan sejarah untuk objek studinya di bidang
Antropologi dan tinggal di negeri Belanda, ia memahami betul keterbatasan-keterbatasan tersebut.
Frieda Amran
LAHIR di
Palembang, 21 Agustus 1959. Ia menyelesaikan studi di jurusan Antropologi Fakultas
Sastra Universitas Indonesia pada 1983, lalu
Rijksuniversiteit Leiden, Belanda. Setelah kembali ke Indonesia dan mengajar di
almamaternya selama dua tahun, ia menikah dan menetap di Negeri Belanda bersama
suami dan empat orang anaknya—sampai sekarang.
Walau lama tinggal di negeri orang, kecintaan dan perhatian pada Indonesia dan tanah kelahirannya tidak memudar. Ia sempat mengajar bahasa Indonesia dan akulturasi budaya di kota Delft dan Leiden; dan, selama beberapa tahun, ia menjadi Sekretaris Forum Studi Wanita Indonesia (Werkgroep Indonesische Vrouwen Studies) di Universitas Leiden.
Walau lama tinggal di negeri orang, kecintaan dan perhatian pada Indonesia dan tanah kelahirannya tidak memudar. Ia sempat mengajar bahasa Indonesia dan akulturasi budaya di kota Delft dan Leiden; dan, selama beberapa tahun, ia menjadi Sekretaris Forum Studi Wanita Indonesia (Werkgroep Indonesische Vrouwen Studies) di Universitas Leiden.
Selasa, 12 Januari 2016
Batu Serampok
Judul: Batu Serampok
Penulis: Tita Tjindarbumi
Penerbit: Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung
Cetakan: I, Oktober 2015
Tebal: ix + 135 hlm
ISBN: 978-602-9673-1-5-9
Lama tak
membaca cerpen-cerpen Tita, tiba-tiba buku ini hadir menunjukkan bahwa dia
masih aktif dan kreatif mengolah kata. Bagi penggemarnya, ini tentu saja sangat
ditunggu. Kepekaannya menangkap masalah yang terjadi pada perempuan – tema yang
disukainya--bisa menjadi renungan.
~ Farick
Ziat, penulis
dan editor
Tita Tjindarbumi
Tita Tjindarbumi,
nama yang lebih sering dipakai di semua tulisan
Nita Tjindarbumi, terutama pada karya fiksi. Mengawali kiprahnya di
dunia kepenulisannya sejak masih di Sekolah Menengah Pertama, yakni sebagai
penulis puisi di majalah dinding sekolah. Sebagai anak dari pemilik toko
persewaan buku yang lapaknya terletak di daerah Enggal, Tanjungkarang
(Bandarlampung), Tita sudah melahap berbagai jenis bacaan yang ada di lapak
orang tuanya.
Saat
kecil bercita-cita jadi dokter, tak terpikir olehnya menjadi penulis. Namun,
setelah nilai pelajaran Bahasa Indonesia dan mengarang selalu mendapat nilai
istimewa, Tita semakin getol menulis puisi dan menulis tentang kejadian di
kesehariannya di buku tulis.
Jumat, 08 Januari 2016
Dua Buku Kental Warna Lokal Lampung Terbit
Putri Al-shira Diana membaca Kumcer Batu Serampok karya Tita Tjindarbumi. |
Direktur Pustaka Labrak Udo Z Karzi
mengatakan, Batu Serampok adalah kumpulan cerpen Tita Tjindarbumi, penulis asal
Lampung yang kini tinggal di Surabaya. Sedangkan Mencari Jejak Masa Lalu Lampung merupakan sehimpun artikel Frieda
Amran yang dimuat di rubrik Lampung Tumbai, Lampung
Post Minggu tahun 2014.
Buku Mencari Jejak Masa Lalu Lampung: Lampung Tumbai 2014 karya Frieda Amran (Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung, 2016). |
Penulis Batu
Serampok, Tita Tjindarbumi menyatakan kegembiraannya dengan terbitnya buku
kumpulan cerpen perdananya ini. “Dengan kumpulan cerpen ini, saya merasa
kembali ke dunia saya. Ini yang membuat hati saya bersorak gembira. Menulis
cerpen bagi saya adalah rekreasi. Bertualang dari tokoh ke tokoh. Membayangkan setting lokasi yang indah dan tentu
punya banyak cerita,” ujarnya.
Tita
mengaku kehadiran buku ini seperti simbol pulang kampung baginya. “Seperti kata
Udo (Udo Z Karzi) beberapa tahun lalu, jika penulisnya belum bisa pulang
kampung, setidaknya karyanya pulang kampung. Dan, cerpen-cerpen di buku ini
semua telah dimuat di Lampung Post
dan Fajar Sumatera, yang terbit di
Bandarlampung,” ucapnya lagi.
Mengomentari
buku kumpulan cerpen ini, paus sastra Lampung Isbedy Stiawan ZS mengatakan, TitaTjindarbumi
bukan nama asing dalam percaturan cerpen di Indonesia,
"jebolan" Anita Cemerlang
ini sampai sekarang masih setia dengan dunia "mimpi"-nya.
“Bagi perempuan cerpenis asal Lampung
dan menetap di Surabaya ini, pulang adalah kunci bagi menghimpun
kenangan-kenangan (dan kerinduan) yang pernah tercecer semasa kanak-kanak. Di
dalam kumpulan cerpennya ini, terkuak hal-hal yang saya terangkan itu, seperti
cerpen yang memimpin cerita-cerita lainnya; Batu
Serampok,” kata Isbedy.
Sebagai perempuan, kata Isbedy, Tita
juga mengedepankan ihwal gender. Sejumlah cerita yang membicarakan lelaki
terhimpun di sini, di samping dunia keperempuanan itu sendiri. “Tentu sangat
menarik, dan patut dibaca dan dihargai. Inilah perempuan cerpenis semasa remaja
di Jalan Raden Intan Gang Tjindarbumi, Bandar Lampung.“
Lampung
Tumbai
Sedangkan Frieda Amran mengatakan buku
Mencari Jejak Masa Lalu Lampung yang ditulisnya merupakan kumpulan artikel yang
diterbitkan di dalam rubrik ‘Lampung Tumbai’ di harian Lampung Post selama tahun 2014. “Artikel-artikel itu ditulis
berdasarkan tulisan-tulisan para ilmuwan, pegawai pemerintahan Hindia-Belanda
dan penjelajah Inggris dan Belanda di abad ke-19 mengenai Lampung. Sebagian
besar artikel itu ditulis dalam bahasa Belanda kuno. Hanya satu artikel (dari
tangan Kapt. Jackson) yang ditulis dalam bahasa Inggris,” kata dia.
Ia
menegaskan artikel-artikel ‘Lampung Tumbai’ bukanlah merupakan terjemahan. Struktur kalimat dan gaya tulis bahasa Belanda
kuno teramat panjang dan berbelit-belit. Untuk pembaca awam di masa kini,
struktur dan gaya bahasa demikian akan
sangat membosankan. Karena itu ia menulis ulang sumber-sumber tulisan itu
dengan gaya penuturannya sendiri.
Peneliti di Pusat Penelitian
Sumberdaya Regional, LIPI Erwiza Erman dalam pengantarnya di buku ini
mengatakan, buku Mencari Jejak Masa Lalu
Lampung cukup penting secara keilmuan bagi orang Lampung dan para peminat
sejarah.
Persoalan bahasa menjadi kendala
utama yang mematahkan semangat mahasiswa dan peneliti untuk tidak menggunakan
pendekatan sejarah yang memanfaatkan sumber-sumber tertulis berbahasa Belanda.
“Ini ide cemerlang seorang antropolog yang menyejarah, Frieda Amran. Sebagai
seorang yang pernah menjadi mahasiswa Pascasarjana Jurusan Antropologi di
Universitas Leiden, pernah menggunakan pendekatan sejarah untuk objek studinya
di bidang Antropologi dan tinggal di negeri Belanda, ia memahami betul keterbatasan-keterbatasan tersebut,”
ujar Erwiza.
Menurut sejarawan ini, sumber-sumber
tertulis tentang Lampung begitu kaya dan tampaknya belum diolah dengan baik. “Misalnya
saja informasi mengenai mitos dan asal-usul nama Lampung dan orang Lampung.
Sumber-sumber informasi untuk satu tema ini saja dapat membangkitkan
pertanyaan-pertanyaan kritis tidak saja tentang asal-usul dan mitosnya, tetapi
juga mengenai sejarah pembentukan marga, suku, kampung dan persebarannya dalam pola geografi yang berbeda, di
pedalaman dan di pantai.”
Pertanyaan-pertanyaan lanjut, kata
dia, misalnya tentang sejarah pembentukan kampung, sejarah demografi Lampung,
termasuk pola migrasi dari satu periode ke periode lain. Lampung adalah wilayah
transmigran Jawa yang telah dirancang Belanda pada awal abad ke-20.
Sumber: Fajar Sumatera, Jumat, 8
Januari 2016 22
Langganan:
Postingan (Atom)