Senin, 18 April 2016

Membaca Batu Serampok Menemukan Duplikatnya Jhumpa Lahiri

Oleh Endri Y

Batu Serampok, kumpulan cerpen Tita Tjindarbumi. Bandar Lampung: Pustaka LaBRAK, 2015.
KEMAMPUAN mengeksplore cinta, mengudar rasa, tentu diiringi kedewasaan memaknai kepahitan hidup cermin kematangan pengalaman dan keindahan karya. Setidaknya, itulah kesan awal yang tertangkap ketika membaca buku kumpulan cerita pendek (cerpen)  Batu Serampok, Tita Tjindarbumi yang diterbitkan Labrak, 2015.

Pertama kali menerima buku itu, mengingatkan kita pada penulis cerpen yang mampu meraih The 2000 Pulitzer Prize for Fiction, Jhumpa Lahiri. Meski diakui Sanie B Kuncoro dalam endensor sampul buku Batu Serampok itu dengan kalimat  “tidak ada lagi sesuatu yang baru”. Ketika menyandingkan dua buku kumpulan cerpen karya Tita dan Jhumpa, merasakan kesamaan, mempertontonkan dunia yang kaya emosi. Namun kemudian, harus diakui, di sinilah sederet kekecewaan kita sebagai pembaca.


Semula, melihat sampul dan judul Batu Serampok, tentu kita berharap adanya dongeng-dongeng tentang batu tempat para perampok. Ternyata kita disodori roman yang justru memperkenalkan daerah itu sebagai “Tikungan Patah Hati”. Tita Tjindarbumi lewat buku itu mampu membuat distorsi dongeng Batu Serampok.

Bermula dari pembangkangan tokoh aku lirik yang berasal dari putri bangsawan Lampung, dimana ada aturan adat yang mengharuskan suami dengan kalangan sederajat. Imah, gadis itu memilih Lanang dibanding perkawinan tanpa cinta yang menggetarkan. Gadis itu secara halus berani melawan tradisi dan mengikuti cinta yang tanpa logika. Ditutup dengan pertanyaan menggantung, apakah Lanang, lelaki beda suku yang dicintai itu mati` atau kabur sehingga mereka tak pernah bertemu lagi, dibiarkan menjadi misteri dan mendatanginya lewat kerasukan atau halusinasi.  Meski sebenarnya, cukup tidak masuk akal karena Imah, perempuan pembangkang adat itu tahu nomor telepon dan alamat kantor Lanang.

Kalau boleh disebut, di sini kebanyakan gagalnya alur cerita yang dibangun Tita. Mungkin, alasannya kumpulan cerpen yang telah dimuat surat kabar Lampung Post dan Fajar Sumatera dengan ruang yang terbatas.

Berbeda dengan Jhumpa Lahiri dari sisi detail cerita, buku kumpulan cerpen Interpeter of Maladies, 1999 meski hanya berisi 8 judul, lebih tebal dibanding Batu Serampok yang punya 18 judul cerpen. Semua berisi hal biasa namun diolah menjadi alur labirin skenario yang tidak mudah diduga.  Membayangkan penulisan cerpen yang dikhususkan untuk buku (bukan untuk koran minggu), detil, alur, dan kemampuan bangunan tokoh lewat tulisan Tita, pasti bisa lebih memukau.

Tak ingin terjebak pada simpulan embrional, membaca kembali semua cerpen Jhumpa dan Tita dalam dua buku yang berbeda itu, menemukan dua kerumitan karya penulis perempuan yang matang dalam cerita seputar hubungan lelaki dan permakluman nakalnya. Pada “Kunang-Kunang di Penantian”  misalnya, kita disodori sinetron, kisah Mike dan seputar cerita ketabahan perempuan, tepatnya secara halus bisa disebut, ketololan kaum perempuan atas nama cinta yang dipermainkan lelaki macam Mike.

Pada persoalan cinta ini, buku Batu Serampok lebih banyak berbasis pada pertautan atau getar-getar yang dipertarungkan antara logika, kebahagiaan dan memaknai saling memangsa pasangan.  Bahkan pada cerpen Dalam Peluk Badai, ada kisah perempuan yang cukup membuat kesal karena begitu saja menerima penindasan suami sampai akhir hidupnya.

Dalam Peluk Badai, benar-benar teks yang memiliki kekuatan rajutan diksi. Jauh ketika diperbandingkan dengan Batu Serampok yang dijadikan judul buku. Pada cerpen Dalam Peluk Badai itu, kita merasakan pendalaman filsafat cinta dengan membenturkan kenyataan hidup yang sangat irasional.

Cinta itu, membuat Rea, nama tokoh utamanya, sadar sepenuhnya atas realitas penderitaan ibunya, kemudian membuat keputusan. “Aku benci laki-laki. Bahkan sampai tak percaya pada kata cinta dari laki-laki mana pun.” Di sinilah kematangan Tita membangun alur dan sisi ambiguitas yang lazim dimainkan dalam karya sastra. Dendam dan kebencian pada ayahnya, justru tak membuat sang ibu senang karena dibela. Selain tidak mengurangi ketabahan ibunya untuk tetap tekun merawat sakit keras suami atau ayah Rea yang nyaris menghancurkan masa depan putrinya, yang sering kasar dan keras pada istri ketika sehat. Dan ditutup harapan Rea dengan sikap yang tak kalah mengejutkan. Mencari tahu bahwa ternyata, “dalam derita cinta tetap indah.”

Setidaknya, alur-alur  yang dibangun Tita dalam buku ini sejalan dengan rumusan cinta yang ditulis Karol Jozef Wojtyla  di buku Love and Responsibility. Bahwa cinta itu, bentuk lain dari tanggungjawab.  Dimana diungkap, cinta sejati itu bagian dari pengorbanan untuk menahan diri, menyerahkan secara total kemanfaatan atas cinta meski dirinya terlihat menderita atau tolol di mata orang lain. Sejauh apa  pengorbanan dan penyerahan diri, sejauh itulah tanggung jawab cinta sejati.

Masing-masing cerpen, punya ruang interpretasi yang berdimensi lain. Meski mengerucut pada laku dan pandangan bagaimana perempuan melihat lelaki atau sudut pandang lelaki pada perempuan. Latar yang digunakan pun, agak berlebihan jika disebut, ini buku sastra dari Lampung. Karena, basis alurnya banyak yang hanya terjadi di kota-kota besar lain dan secara jelas, berkisah di Jakarta. Lihatlah cerpen berjudul Laki-Laki Pemimpi. Kita serasa disodori cerita-cerita yang ada di majalah Gadis atau Aneka Yes yang dibaca di sela-sela waktu istirahat ketika masih SMA.

Pada soal kelihaian bertutur dan kekuatan diksi, kita akui, merasakan kekuatan Tita Tjindarbumi sudah sehebat Jhumpa Lahiri. Persoalannya, Batu Serampok terkesan dibuat tergesa-gesa dan tidak diproyeksikan untuk sebuah buku sastra. Padahal, adat istiadat yang kental dibawa perempuan Lampung cukup mewarnai kekuatan cerita meski sedang mengisahkan lady escort high class dan tukang pijat, setara dengan pembauran perempuan India yang diramu Jhumpa Lahiri dalam kehidupan Amerika pada cerpen yang berjudul Sexy.

Dualisme yang dimiliki dan menjadi keunggulan Tita, terlihat kurang tereksplore maksimal. Kedewasaan cerita dan kematangan emosi dalam setiap penentuan alur, menjadi kering karena beberapa logika cerita menggantung tanpa detil yang diungkap, sebagaimana keunggulan yang ditonjolkan Jhumpa Lahiri.

Memang, cerpen-cerpen pada buku Batu Serampok bisa jadi tak ada hubungan apa pun tentang kehidupan dan kearifan lokal Lampung, hanya karena penulisnya orang Lampung dan tinggal di luar daerah, tak menjadikan karya itu bersifat lokalitas dan atau sebaliknya. Meski semua cerpen itu punya keunikan dan kreativitas sendiri, memang agak berlebihan ketika berharap cerpen di koran yang dikumpulkan jadi buku punya daya pukau semacam cerpen-cerpen misterius yang proses penciptaannya sengaja dibuat untuk sebuah buku.  Bayangkan, jatuhnya antusiasme membaca ketika membolak-balik halaman, tertuang kalimat; “Pernah dimuat koran.”

Tulisan ini hanya bentuk lain dari dahaga akan keindahan kalimat-kalimat yang dibuat Tita, semacam tantangan yang pasti lebih hebat jika cerpen-cerpennya tidak terjebak space semacam isi buku Batu Serampok. Kapankah buku cerpen keduanya terbit? Cerpen-cerpen indah yang tidak pernah dimuat koran sebelumnya? n

Dimuat di Nuwobalak.com, 18 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar