Kamis, 26 Desember 2013

Gerimis Tak Menyurutkan Diskusi Buku Tumi Mit Kota

Oleh Admin Lampungupdate

TAK banyak orang yang mengetahui bahwa Lampung kaya akan sastra. Pelbagai karya sastra, mulai dari puisi hingga novel, telah banyak diterbitkan oleh penulis-penulis Lampung. Dari sedemikian banyak pusi, novel, atau pun cerita pendek (cerpen) yang telah diterbitkan menggunakan bahasa Lampung. Bagi masyarakat Lampung, karya sastra berbahasa daerah, khususnya bahasa Lampung, masih asing untuk dibaca.

DISKUSI. Suasana Diskusi Buku Tumi Mit Kota karya Udo Z Karzi dan
Elly Dharmawanti di Lapa Kopi Lampung, Bandar Lampung, Minggu,
22 Desember 2013.
Namun, tetap ada penulis yang nekat menulis karya sastranya menggunakan bahasa Lampung. Ada Udo Z Karzi dan Elly Dharmawanti yang nekat menulis cerpen berbahasa Lampung. Mereka berdua menulis kumpulan cerita buntak (kumpulan cerpen, red) berjudul Tumi Mit Kota (Tumi Pergi ke Kota).

Untuk mengapresiasi Tumi Mit Kota, LampungUpdate bersama BebalahLeppung beberapa waktu lalu mengadakan diskusi buku di Lapa Kopi Lampung (22/12/13). Dalam diskusi buku ini, Udo Z Karzi dan Elly Dharmawanti dihadirkan untuk mendidkusikan isi kumpulan cerita buntak yang mereka tulis. Dalam diskusi buku tersebut, juga hadir masyarakat pecinta buku Lampung dan komunitas pecinta sastra Lampung.

Gerimis yang turun saat diskusi buku ini tidak menyurutkan diskusi trotoar yang terasa istimewa ini. Pertama, diskusi buku ini istimewa karena Lapa Kopi Lampung khusus buka pada saat diskusi, padahal biasanya mereka tutup setiap malam Senin. Kedua, diskusi ini istimewa karena dilakukan saat hari Ibu 22 Desember. Dan ketiga, diskusi ini terasa istimewa karena dihadiri pula Fitri Yani, penulis kumpulan puisi berjudul Suluh (juga berbahasa Lampung).

Dalam diskusi yang dimulai dari pukul delapan malam hingga pukul sebelas malam ini, para peserta diskusi menyambut baik kehadiran kumpulan cerpen Tumi Mit Kota. Mereka merasa buku kumpulan cerpen ini ini merupakan awal kebangkitan sastra berbahasa Lampung. Mereka juga merasa bahwa kumpulan cerpen Tumi Mit Kota dapat dijadikan media belajar bahasa Lampung. n

Sumber: Lampungupdate.com, Kamis, 26 Desember 2013

Selasa, 24 Desember 2013

Tumi Mit Kota Diminati Kalangan Muda

Oleh Wandi Barboy

BANDAR LAMPUNG (Lampost.co): Buku cerita buntak (cerpen berbahasa Lampung) Tumi Mit Kota yang ditulis Udo Z Karzi bersama Elly Dharmawanti kembali diminati kalangan muda dan komunitas sosial media lainnya.

Diskusi buku yang diterbitkan oleh Pustaka Labrak kembali digelar Lapa Kopi Lampung di pelataran Gerai Esia, Jalan Ahmad Yani, Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung, Minggu (22/12). Acara dengan suguhan kopi Robusta Liwa itu menarik sejumlah pengunjung yang terdiri dari lintas etnis.

Acara yang dimoderatori Rifky Indrawan, aktivis Jaringan Radio Komunitas Lampung (JRKL) itu berlangsung hangat dan terbuka bagi siapa saja. Saat hujan mulai turun, acara pun berpindah ke dalam gerai esia.

Udo mengungkapkan cerita Tumi Mit Kota (Tumi Pergi ke Kota) adalah kisah pribadi Udo saat menjalani kuliah kerja nyata (KKN) di Kecamatan Pesisir Selatan, Pesisir Barat. Tuminingsih, nama lengkapnya.

Menurut Udo, Tumi adalah seorang wanita Jawa yang mencintai budaya Lampung. Walau pun dia Jawa, rasa kecintaannya terhadap budaya Lampung tidak diragukan lagi. Atas dasar itulah, Udo menuliskan cerita Tumi Mit Kota. Tumi sendiri, bagi Udo, selain diangkat dari sosok Tuminingsih, adalah juga merupakan suku asli Lampung di wilayah pesisir.

Udo sendiri memuat tujuh cerbun dalam buku ini. Sementara, Elly membuat enam cerpen. Menurut Udo dan Elly, dari buku ini mereka ingin mengakrabkan dirinya dengan pembaca Lampung yang berbeda-beda. Karena itu, bahasa Lampung yang berbeda antara Udo maupun Elly tetap dipertahankan apa adanya sesuai lisan penuturnya. "Tumi itu sekilas identik dengan Jawa. Namun, sangat melampung. Karena itu, mengapa orang Lampung malu dengan budayanya sendiri," kata Elly.

Elly Dharmawanti juga merespon pelajar di Liwa yang mempertanyakan mengapa mereka berdua mau menerbitkan buku berbahasa Lampung, apalagi cerpen yang terbatas segmentasinya. Menurut Elly, dari buku ini dia berharap orang Lampung harus berani mengungkapkan apa yang memang menjadi bahasa penutur masing-masing. n

Sumber: Lampost.co, Rabu, 24 Desember 2013

Minggu, 22 Desember 2013

Tumi Disambut Hangat Siswa di Liwa

Oleh Dian Wahyu Kusuma


Sambutan hangat siswa-siswi di Liwa terhadap kumpulan cerita buntak (cerpen berbahasa Indonesia) Tumi Mit Kota karya Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti, semoga menjadi pertanda bagus bagi perkembangan sastra (berbahasa) Lampung.  

CERBUN Tumi Mit Kota terasa simbolik karena ini bisa ditafsirkan bermacam-macam. Kalau membaca cerbun ini, Tumi atau nama lengkapnya Tuminingsih adalah seorang gadis remaja beretnis Jawa yang sangat menjiwai bahasa dan kultur Lampung. Hanya saja ia tak bisa melawan kecenderungan umum untuk urbanisasi.

Dari sisi sejarah, Buay Tumi merupakan suku asal orang Lampung. Setidaknya suku inilah yang dipercaya membangun Kerajaan Skala Brak di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. "Bahkan di Malaysia kabarnya ada Toko Tumi. Sehingga bagi saya Tumi itu mempunyai multimakna dan asyik didengar. Karena itu judul ini yang dipilih," kata Udo Z. Karzi, salah satu penulis dalam Peluncuran dan Diskusi Buku Tumi Mit Kota di SMAN 2 Liwa, Lampung Barat, Kamis (19/12).

Elly Dharmawanti menambahkan Tumi itu panggilan mesra Tuminingsih. Tumi itu orang Jawa asli tinggal di Lampung dan sudah melampung. "Ini sindiran, banyak orang Lampung malu berbahasa Lampung. Apalagi kalau sudah di kota, penggunaan bahasa lampung sudah mulai pupus."

Dalam cerbun Pancoran Pitu, Elly berkisah tentang pancuran tujuh di Kecamatan Batubrak, Lampung Barat. Konon, kalau mandi di pancuran ini akan membuat gadis cantik. Kisahnya dulu pancuran itu adalah tempat pemandian putri Kerajaan Skala Brak. Sampai suatu ketika kekeringan melanda yang membuat masyarakat kesulitan mendapatkan air.

Akhirnya, pancuran tujuh itu dibebaskan untuk dimanfaatkan untuk masyarakat. Sekarang, pancuran itu sudah dibangun dan dibuat undakan agar masyakat di situ mudah menggunakannnya.

Ide cerita ini didapat Elly yang fasilitator Kecamatan PNPM di Pesisir Selatan yang kebetulan sedang ada bekerja di Batubrak, Lampung Barat. "Tebersit di pikirannya untuk membuat cerita tentang kepercayaan warga setempat. Saat itu sedang ada perbaikan pancuran pitu. Mau awet muda, sehat, bisa mandi di situ,” kata perempuan alumnus ilmu komunikasi Universitas Tulangbawang ini.

***

Elly sering menulis cerpen di Lampung Post. Udo Karzi mengaku tidak pernah bertemu langsung dengan Elly, hanya berkomunikasi melalui dunia maya saja. Sampai kemudian terbetik keinginan untuk membukukan cerpen-cerpen Elly yang bernuansa lokal dan kuat secara kultural. "Kami kemudian berkolaborasi menerbitkan buku kumpulan cerbun ini," ujar Elly.

Buku yang diterbitkan Pustaka Labrak, Bandar Lampung ini, kata Udo, sangat cocok dibaca siswa SMP dan SMA. "Buku ini bisa menjadi stimulan bagi kalian. Siapa tahu nanti juga menulis karya sastra berbahasa Lampung. Kenapa tidak. Daerah ini sangat potensial bagi siswa karena adat budaya sini sangat kental," kata Duta Suhanda, yang memoderatori acara ini.

Kalau di sekolah, menurut Duta, penggunaan karya berbahasa Lampung bisa saja dimulai dari majalah dinding (mading). Selanjutnya bisa dikembangkan dengan menulis di blog atau bahkan mengirim ke media cetak dan diterbitkan menjadi buku. "Enggak apa-apa kalau ada ide membukukan cerbun karya siswa-siswa SMAN 2 Liwa," ujarnya.

Peserta peluncuran dan diskusi buku sempat dihibur oleh Yogi Sasongko, siswa kelas X SMAN 2 Liwa yang sempat menjadi juara dua Lomba Solo Song se-Kabupaten Lampung Barat.

Kepala SMAN 2 Liwa Haikan menyatakan kegembiraan dan merasa terhormat mendapat tempat peluncuran dan diskusi buku ini. "Semoga ini bisa memberikan motivasi bagi siswa kami. Meskipun sekolah ini baru berdiri pada 2010, beberapa prestasi telah ditorehkan pelajar. Diskusi buku ini sangat penting untuk meningkatkan apresiasi dan bakat sastra siswa," ujarnya.

***

Akhirnya, Tumi Mit Kota diharapkan menjadi penyemangat bagi semua, siswa-siswa terutama, untuk mengembangkan bahasa, sastra, dan budaya Lampung. Sebab, penerbitan buku berbahasa Lampung seperti diakui Udo, menjadi penting bagi upaya penyelamatan, pelestarian, dan pemberdayaan tamadun Lampung.

Sedikitnya peminat bahasa-budaya Lampung harus menjadi tantangan. "Saya sempat kapok menerbitkan buku berbahasa Lampung. Dikritik habis dan tidak laku. Tapi pekerjaan ini, menulis dan menerbitkan buku berbahasa Lampung, tidak boleh berhenti. Ini sudah menjadi tugas sejarah yang tidak boleh diabaikan." (P2)

dianwahyu@lampungpost.co.id

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Desember 2013

Jumat, 20 Desember 2013

Diskusi Buku Tumi Mit Kota

DATANG YA. Setelah di Liwa pada Kamis, 19 Desember 2013, Buku Kumpulan Cerita Buntak Tumi Mit Kota karya Udo Z Karzi dan Elly Dharmawanti akan diobrolin
di Lapa Kopi at Esia Jl. A. Yani (depan Gerai Esia)
pada Minggu, 22 Desember 2013
pukul 19.00-21.00
Acara ini diselenggarakan oleh Bebalah Leppung dan Lampung Update serta didukung oleh Bincang Buku Lampost (BBL) dan LapaKopi.

Kamis, 19 Desember 2013

Tumi Mit Kota dan Seterusnya

Oleh Hardi Hamzah


KEHADIRAN sebuah cerita pendek, biasanya berpangkal tolak dari narasi yang digali dari kebudayaan lokal, dengan sekuat-kuatnya menyusun kosakata agar yang membacanya bisa merasakan, buku juga bisa empuk, renyah, dan enak dibaca, meskipun dalam bahasa daerah. Itulah sebabnya, cerpen acap bereksistensi fiksi realitas.

Fiksi realitas dimaksudkan untuk menggambarkan sentuhan kesenyawaan antara pembaca dan pengarangnya. Tentu akan lebih menarik lagi apabila sentuhan realitas itu diangkat dari kisah nyata. Begitulah agaknya Zulkarnain Zubairi atau yang lebih akrab dengan Udo Z. Karzi menampilkan cerpen ini ke publik bersama rekannya Elly Dharmawanti berjudul Tumi Mit Kota, Kumpulan Cerita Buntak.

Buku setebal 74 halaman terbitan Pustaka Labrak 2013 ini adalah buku cerita bersambung (cerbung) kedua setelah Cerita-cerita jak Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami (2009). Selain kembali mengisi khazanah kesusasteraan Lampung, Udo dan rekannya memproyeksikan suatu persenyawaan ketokohan Tuminingsih (Tumi). Dengan bahasa yang naratif lewat realitas eksistensi fiktif-realitas tadi. Ada semacam kesamaan semangat ketika kita membaca buku tebalnya Sutan Takdir Alisyahbana, Grotta Azura, atau trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari.

Kendati harap dicatat deskripsi itu tidak terhalusinasi secara sigap, selain karena setingnya yang berbeda, dialog dalam nuansa renungan seorang Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti telah melahirkan diskursus baru bagi horison kelampungan dalam bentuk cerita pendek. Ya, namanya juga cerita pendek. Pendek ceritanya, tetapi sarat dengan hakikat hidup bagi upaya menguatkan semangat kultural edukatif dalam koridor kesusasteraan Lampung khususnya.

Artinya, pola dasar yang dibangun dalam buku berjudul Tumi Mit Kota ini, telah mencoba menggarap kreativitas umum agar setidaknya kita tidak merasa lelah, apalagi cuek terhadap kesusasteraan Lampung. Pada titik ini, kita disadarkan tidak mudah memperkaya nalar dalam kosakata Lampung secara dinamis. Inilah hidup kesenyawaan yang sedapat-dapatnya menggoda batin kita untuk bereaksi keras, siapa mau mengolah kata untuk memaksakan diri merajut sintesis dari daerah yang multibahasa ini.

Itulah kemudian, bila kita tengok satu persatu, merenda narasi tidak semudah yang disangka bila taplak meja kesusasteraannya penuh dengan kronik penggal-penggal bahasa yang sukar dirajut untuk utuh. Mari kita tengok, semisal pada halaman 57—59 yang bertitel Cengkelang. Kekuatan bahasa lebih dirasionalisasikan pada gugusan yang terpencar, meskipun ini mengingatkan kita pada premis yang diintrodusi Karl May lewat Wineteou sekian abad lampau.

Spektrum berikutnya yang patut diaktualisasikan adalah kesadaran untuk Udo Z. Karzi menggelindingkan lompatan bahasa, yang membawa kita secara strategis mampu merefleksikan cerpen ini dengan nuansa, bahwa bahasa Lampung itu tidak mudah. Ketika nalar kita didinamisasi oleh penulisnya pada halaman 61—66 yang bertutur tentang  Di Simpang Renglaya. Di Simpang Ranglaya yang berarti di simpang jalan terpaut refleksi dramaturgi yang berani, walaupun nyeleneh. Pun, anehnya nyeleneh itu menjadi term-term tersendiri atas nama perspektif romantisme.

Oleh karena itu, bila premis-premis cerita pendek yang berbahasa Lampung ini diaktualisasikan dan disosialisasikan dalam idiom yang penataan kosakata bahasanya lebih ngepop, personifikasi sosok yang akan ditonjolkan, dus akan memasuki wilayah pemikiran pembaca. Dalam konteks yang lebih luas, Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti dalam cerpen ini kiranya akan membuka peluang agar jarak antara tokoh personal menjadi bagian dari semangat inpersonal (baca: pembaca buku ini).

Atmosfir apa yang kemudian akan kita gali dari cerpen yang terbilang pendek ini, mungkin sekali atmosfir itu dapat dibaca dari kelonggaran penulisnya untuk memberi peluang agar kita mampu membuka wilayah transformasi positif, bahasa Lampung bila telah masuk di wilayah cerita pendek, dus bisa lebih mudah dipahami, tanpa harus mengernyitkan dahi.

Ini karena cerita pendek yang kata penulisnya adalah kisah nyata, benar-benar mampu memetamorfosiskan antara kosakata dalam diskursus baru kesusasteraan populer, teristimewa bila kita kaitkan dengan betapa sedikitnya cerita pendek berbahasa Lampung yang notabene telah terampas oleh liberilasasi sastra dalam konteks deviasi (penyimpangan) semantik.

Lalu, mau tidak mau, seyogianya kita acungkan dulu jari telunjuk untuk Udo Z. Karzi dkk. yang selalu menggawangi tiang goal kelampungan dengan tidak jenuh-jenuhnya, sesudah itu barulah dua jempol kita acungkan kalau interesant kelampungan ini terus-menerus digaulinya secara lebih baik, melalui kekayaan khazanah kebudayaan secara sustainable.

Teruskan perjuanganmu Udo, sampai kita sebagai orang Lampung mampu tampil dalam bentuknya yang utuh dan diperhitungkan di tingkat nasional, regional dan internasional, meskipun kita selalu dihadapkan oleh problematika hegemoni kekuasaan yang cuek dan hanya menjadikan budaya Lampung sebagai instrumen, yang terasa nyeri di atas prospek yang tidak pernah dipetakan oleh penguasa di daerah ini. n

Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation


Sumber: Lampung Post, Kamis, 19 Desember 2013

Senin, 16 Desember 2013

Iwan Nurdaya-Djafar

Lahir di Tanjungkarang, Lampung, 14 Maret 1959. Dikenal sebagai penyair, esais, cerpenis, penulis artikel dan buku serta penerjemah. Pendiri Dewan Kesenian Lampung ini termasuk salah satu di antara seratur orang Lampung yang terpilih oleh Harian Umum Lampung Post pada 2008 untuk dimuat dalam buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung.

Dia menulis untuk sejumlah surat kabar dan majalah seperti Horison, Amanah, Sarinah, Forum Keadilan, Ulumul Quran, Republika, Media Indonesia, Lampung Post, dan Pikiran Rakyat. Kumpulan puisinya bertajuk Seratus Sajak (Fajar Agung, Jakarta), Cerita dari Hutan Bakau (Trubus, Jakarta), bersama Dr. Todung Mulya Lubis menulis buku Hukum dan Susastra (Pustaka, Bandung). Menerjemahkan prosa lirik Kahlil Gibran berjudul Bagi Sahabatku yang Tertindas, Airmata dan Senyuman, Kematian Sebuah Bangsa, dan Sang Nabi -- keempatnya diterbitkan oleh Bentang Budaya, Yogyakarta. Terjemahannya Kakbah Pusat Dunia: Sebuah Mukjizat Ilmiah (The Ka'ba is the Center of the World) karya Saad Muhammad al-Marsafy diterbitkan Ilagaligo Publisher (2011).

Karl Marx: Nabi Kaum Proletar adalah terjemahannnya atas biografi ringkas Karl Marx karya F. Stepanova yang diterbitkan oleh Mata Angin, Yogyakarta. Karya terjemahannya: Tipologi: Sebuah Pendekatan untuk Memahami Islam karya Ali Syariati dan novel Hidup, Cinta dan Petualangan Omar Khayam karya Manuel Komroff diterbitkan Grafikatama, Jakarta.

Menerjemahkan bigrafi Obama: Promise of Change (Obama: Sebuah Janji Perubahan) karya David Mendell dan Yes We Can: A Biography of Barack Obama karya Garen Thomas serta menulis buku tentang Obama berjudul Bianglala Obama. Juga, menyunting karya sastra Lampung klasik Warahan Radin Jambat dan Tetimbai Dayang Rindu yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Lampung.

Iwan menyimpan banyak manuskrip terjemahan yang belum diterbitkan seperti Perselingkuhan di Surga: Dekonstruksi atas Seberkas Terjemah dab Tafsir Ayat Al-Quran; novel The Martian Chronicles (Serangkaian Peristiwa di Planet Mars) dan Now and Forever karya Ray Bradbury; Man from the East (Lelaki dari Timur) karya Dr Mohsen El-Guindi, Sutra River (Sungai Sutra) karya Gita Mehta, Vita Sexualis karya Ogai Mori, Pedro Paramo karya Juan Rulfo, Amu karya Shonali Bose, A Thousand Rooms of Dream and Fear karya Atiq Rahimi, Buying a Fisihing Rod for My Grandfather karya Gao Xingjian, The Attack karya Yasmina Khadra, dan The Sonnets karya William Shakespeare. Juga menerjemahkan Islam pada Abad Keduapuluh-satu (What Do Muslim Believe) karya Ziauddin Sardar, Senandung Kecil Geisha karya Liza Dalby, No Room for Terrorism in Islam dan Paradise: The Believers' Real Home karya Harun Yahya. Dia juga telah selesai menerjemahkan A New Approach to the Study of the Quran karya Dr Hasanuddin Ahmed, Rubaiyat dan Masnawi karya Jalaluddin Rumi, Seratus Puisi Kabir, kumpulan puisi Rabindranath Tagore, puisi klasik Jepang, dan entah apa lagi..

Iwan juga menulis buku Sastra Lampung Klasik, Leksikon Sastra Lampung, Pepatah-petitih Lampung (meliputi koleksi OL Helfrich dalam Lampongsce Raadsels, Spreekwoorden en Spreekwijzen).

Dari istrinya Cut Hilda Rina, Iwan dikaruniai dua putri: Rabia Edra Almira dan Selma Ilafi Alzahra. Bersama keluarganya dia berdomisili di Bandar Lampung dan bekerja sebagaio pegawai negeri sipil. n

Bukunya yang diterbitkan Pustaka LaBRAK:
* Warahan Radin Jambat (penyunting)

Kontributor untuk: Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Minggu, 15 Desember 2013

Pustaka Labrak Terbitkan Buku Cerpen Berbahasa Lampung

BANDARLAMPUNG (Lampost.co): Pustaka Labrak menerbitkan buku kumpulan cerita pendek (cerpen) berbahasa Lampung. Kumpulan cerita buntak (Bahasa Lampung cerpen) yang diberi judul Tumi Mit Kota itu ditulis oleh Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti.

Peluncuran buku pertama cerpen berbahasa Lampung itu akan digelar dan didiskusikan di SMA Negeri 2 Liwa, Lampung Barat, pada Kamis (19/2).

Kepala SMAN 2 Liwa Haikan menyambut baik acara yang digagas Organisasi Siswa Instra Sekolah (OSIS) SMAN 2 Liwa ini. "Buku kumpulan cerbun Tumi Mit Kota ini memang perlu diapresiasi karena selain bahasanya bahasa Lampung, isinya banyak mengambil latar daerah Lampung Barat dan Pesisir Barat," ujarnya.

Sedangkan Elly Dharmawanti, salah satu penulis buku ini menyatakan kegembiraannya atas sambutan siswa-siswi di Liwa. Acara ini terselenggara atas kerjasama dari berbagai pihak antara lain Kepala SMAN 2 Liwa, Pembina OSIS Trino Wijaya, Ketua OSIS Dian Yusuf, dan Duta Suhanda dari Radio Mahameru, Liwa.

Kumpulan cerbun Tumi Mit Kota yang diterbitkan Pustaka Labrak, Bandar Lampung berisi 13 cerpen Elly Dharmawanti dan Udo Z. Karzi. Judul buku ini diambil dari judul cerpen bertitel sama dari Udo Z. Karzi.

Menurut redaktur Penerbit Pustaka Labrak, Udo Z. Karzi, judul diambil karena paling tidak cerpen ini menggambarkan kondisi kontemporer masyarakat Lampung terkait dengan orientasi hidup, pergeseran tatanan sosiobudaya, dan kecenderungan urbanisasi di antara warga Lampung.

Alasan lain, kata Udo Z. Karzi, ada proses inkulturasi dalam diri Tumi (Tuminingsih), yang namanya dekat dengan kultur Jawa dan memang beretnis Jawa, tetapi sudah menjadi gadis Lampung benar. "Inilah yang seharusnya terjadi alih-alih marginalisasi bahasa-budaya Lampung di rumahnya sendiri," kata Udo.

Alasan ketiga, menurut Udo, jika membaca-baca sejarah, rupanya Buay Tumi atau Suku Tumi adalah nenek moyang orang Lampung. "Keempat dan seterusnya… cerbun ini bagus seperti juga cerbun-cerbun lain di buku ini, " ujarnya berseloroh

Kisah-kisah dalam buku ini membaurkan suasana laut dan pegunungan, sesekali kondisi kehidupan urban; juga ketegangan antara masa lalu dan kekinian. Dengan setting khas budaya yang khas, kedua cerpenis menuturkan ulun Lampung berikut filosofi hidup mereka dan kepiawaian mereka mengatasi problema kehidupan.

Dibandingkan dengan sastra Sunda, Jawa, dan Bali, perkembangan sastra Lampung memang kalah jauh. Betapa langkanya buku bacaan berbahasa Lampung. Padahal ini penting bagi pelestarian, pemberdayaan, dan pengembangan bahasa dan sastra Lampung.

Seharusnya setiap tahun ada buku berbahasa Lampung terbit, walau satu-dua judul. Apalagi sastra Lampung pernah mendaparkan Hadiah Sastra Rancage pada 2008 dan 2010.

Sudah lama tidak terbit buku sastra berbahasa Lampung. Terakhir, tahun 2011, terbit dua: novel Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda (diterbitkan BE Press) dan karya klasik Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya-Djafar dan redaktur ahlini Hilman Hadikusuma (diterbitkan Pustaka LaBRAK).

"Oleh karena itu terbitnya terbitnya kembali buku sastra Lampung ini patut kita sambut dengan gembira," ujar Udo. n

Laporan: Insan Ares P.
Editor : Kristianto

Sumber: Lampost.co, Minggu, 15 Desember 2013

Kamis, 12 Desember 2013

Buku Cerpen Berbahasa Lampung Diluncurkan di Liwa

Oleh Budisantoso Budiman


Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - Buku kumpulan cerita buntak (cerpen berbahasa Lampung) berjudul "Tumi Mit Kota" karya Udo Z Karzi dan Elly Dharmawanti akan diluncurkan dan didiskusikan di SMA Negeri 2 Liwa Kabupaten Lampung Barat.

Buku Cerpen berbahasa Lampung "Tumi Mit Kota" karya Udo Z Karzi dan
Elly Dharmawanti yang segera diluncurkan di Liwa, Lampung Barat.
(Foto: ANTARA LAMPUNG/Dok. Ist)
Kepala SMAN 2 Liwa Haikan dalam penjelasannya dari Liwa, Lampung Barat, Kamis (12/12), menyambut baik acara yang digagas Organisasi Siswa Instra Sekolah (OSIS) SMAN 2 Liwa ini.

"Buku kumpulan cerita buntak `Tumi Mit Kota` ini memang perlu diapresiasi karena selain menggunakan bahasa Lampung, isinya banyak mengambil latar daerah Lampung Barat dan Pesisir Barat," ujarnya pula.

Sedangkan Elly Dharmawanti, salah satu penulis buku ini menyatakan kegembiraannya atas sambutan siswa-siswi di Liwa.

Acara pada Kamis (19/12) ini terselenggara atas kerja sama dengan berbagai pihak, antara lain Kepala SMAN 2 Liwa, Pembina OSIS Trino Wijaya, Ketua OSIS Dian Yusuf, dan Duta Suhanda dari Radio Mahameru, Liwa.

Kumpulan cerbun `Tumi Mit Kota` yang diterbitkan Pustaka Labrak, Bandarlampung berisikan 13 cerpen Elly Dharmawanti dan Udo Z Karzi.

Judul buku ini diambil dari judul cerpen bertitel sama dari Udo Z Karzi.

Menurut Udo yang nama aslinya Zulkarnain Zubairi, redaktur Harian Umum Lampung Post, judul itu diambil karena paling tidak cerpen ini menggambarkan kondisi kontemporer masyarakat Lampung terkait dengan orientasi hidup, pergeseran tatanan sosiobudaya, dan kecenderungan urbanisasi di antara warga Lampung.

Alasan lainnya, ujarnya, ada proses inkulturasi dalam diri Tumi (Tuminingsih), yang namanya dekat dengan kultur Jawa dan memang beretnis Jawa, tetapi sudah menjadi gadis Lampung benar.

"Inilah yang seharusnya terjadi, alih-alih marginalisasi bahasa-budaya Lampung di rumahnya sendiri," kata Udo pula.

Alasan ketiga, katanya lagi, membaca-baca sejarah, rupanya Buay Tumi atau Suku Tumi adalah nenek moyang orang Lampung.

Keempat dan seterusnya, ujarnya pula, "Cerpen ini bagus. Kisah-kisah dalam buku ini membaurkan suasana laut dan pegunungan, sesekali kondisi kehidupan urban; juga ketegangan antara masa lalu dan kekinian."

Dengan setting budaya yang khas, kedua cerpenis menuturkan ulun Lampung berikut filosofi hidup mereka dan kepiawaian mereka mengatasi problema kehidupan.

Dibandingkan dengan sastra Sunda, Jawa, dan Bali, Udo mengakui, perkembangan sastra Lampung memang kalah jauh.

"Betapa langkanya buku bacaan berbahasa Lampung. Padahal ini penting bagi pelestarian, pemberdayaan, dan pengembangan bahasa dan sastra Lampung," ujarnya lagi.

Seharusnya, ujar dia, setiap tahun ada buku berbahasa Lampung terbit, walau satu-dua judul.

Apalagi sastra Lampung pernah mendaparkan Hadiah Sastra Rancage pada 2008 dan 2010. Sudah lama tidak terbit buku sastra berbahasa Lampung.

Terakhir, tahun 2011, terbit dua novel "Radin Inten II" karya Rudi Suhaimi Kalianda (diterbitkan BE Press), dan karya klasik "Warahan Radin Jambat" suntingan Iwan Nurdaya-Djafar dan redaktur ahli Hilman Hadikusuma (diterbitkan Pustaka LaBRAK).

Karena itu, terbitnya kembali buku sastra Lampung ini patut kita sambut dengan gembira, ujar Udo Z Karzi pula. n

Sumber: Antara, Kamis, 12 Desember 2013


Sabtu, 07 Desember 2013

Ahmad Syafei Pujangga Lambar

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar


Ahmad Syafei
DALAM Festival Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan SMAN 1 Liwa di aula sekolah tersebut, Jumat (22/11), Udo Z. Karzi membawakan materi bertema Jejak Literasi Liwa. Sejauh yang terbetik dalam berita bertajuk Siswa Lambar Bisa Suburkan Tradisi Literer yang dimuat harian ini (25/11), Udo mengusut tradisi literer di Lampung Barat yang sudah dimulai sejak abad ke-8.

Selain itu, Udo menyebut sejumlah penulis, baik yang berasal dari Lampung Barat umumnya dan Liwa khususnya maupun penulis lain yang menulis tentang Lampung Barat semisal Sutan Takdir Alisjahbana lewat novelnya Layar Terkembang (1936) dan J. Patullo yang menulis laporan perjalanan ke Danau Ranau pada 1820.

Para penulis asal Lambar yang disebut Udo, antara lain Haji Sulaiman Rasyid bin Lasa, Rais Latif, M. Harya Ramdhoni, Arief Mahya, Sazli Rais, Lincoln Arsyad, Imron Nasri, Z.A. Mathikha Dewa, Udo Z. Karzi, dan Fitri Yani.

Begitupun pada epigram Liwa-Krui dalam rubrik Nuansa di harian ini (25/11), Udo hanya mengutip jejak literer tentang betapa eksotiknya jalan yang menghubungkan Liwa dan Krui yang termaktub pada halaman 41 novel Layar Terkembang St. Takdir Alisjahbana.

Dari senarai nama yang disebutkan tadi, ada satu nama yang justru tidak disebutkan Udo, yaitu Ahmad Syafei. Hemat saya, beliau pantas dicatat sebagai pujangga Lampung Barat. Beliau pernah menjadi Pesirah Belunguh Kenali pada zaman Belanda sewaktu terjadi gempa besar di Liwa pada 1933.

Peristiwa bencana alam ini kemudian dituangkannya dalam bentuk puisi Lampung wayak bertitel Kukuk Kedok 1933 (Gempa Besar 1933) sepanjang 137 bait yang ditulisnya 32 tahun kemudian dan sebagian daripadanya pernah disiarkan Lampung Post pada 1986. Syafei pernah pula bertugas sebagai tentara pada masa kemerdekaan.

Selanjutnya, menjadi pegawai negeri sipil yang bertugas di Kotabumi dan Metro. Nama lengkapnya Ahmad Syafei gelar Sutan Ratu Pekulun. Beliau wafat pada 1981 dan dikebumikan di Kenali, tanah kelahirannya.

Karya sastranya yang lain berupa wayak sepanjang 65 bait, hahiwang, dan mengoleksi 51 pepatah Lampung. Bakat lainnya adalah pandai membuat nyanyian Lampung Belalau bergaya populer, paling tidak telah menciptakan sebanyak 33 nyanyian. Hobinya yang lain adalah fotografi, antara lain pernah memotret Gunung Bata di Suwoh sebelum gunung tersebut meletus dan karenanya memiliki nilai historis dan dokumental.

Kukuk Kedok 1933

Kukuk Kedok 1933 (Gempa Besar 1933) adalah syair panjang dalam bahasa Lampung berdialek A. Syair terdiri atas 137 bait ini isinya mengisahkan pengalamannya semasa gempa yang melanda kampung halamannya, Kenali, Lampung Barat, pada 25 Juni 1933. Inilah gempa pertama yang meluluhlantakkan Lampung Barat, yang kemudian terulang kembali pada 16 Februari 1994.

Syair yang tersusun atas empat baris pada tiap baitnya dan bersajak a-b-a-b ini tidak ditulis segera setelah peristiwa gempa itu terjadi, melainkan sekitar 32 tahun setelah peristiwa mengerikan itu berlangsung. Persisnya pada 3 April 1965 dan diketik ulang pada 1970-an, seperti dituturkan putra tertuanya M. Yusuf Effendie.

Tidak jelas apakah titimangsa 3 April itu mengisyaratkan syair sepanjang itu diubah hanya dalam tempo satu malam, atau mengisyaratkan tanggal diselesaikannya penulisan syair itu.

Yang jelas saat itu Ahmad Syafei bertugas pada Pemerintah Daerah Tingkat II Lampung Tengah di Metro. Syair ini ditemukan oleh putra tertuanya, M. Yusuf Effendi, 61 tahun, ketika membuka-buka arsip peninggalan orang tuanya selama dua hari pada Maret 1994.

M. Yusuf Effendie, yang berdomisili di Jalan Imam Bonjol No. 173 Bandar Lampung, itu tergerak untuk membuka-buka arsip itu disebabkan gempa bumi di tempat yang sama kembali terjadi pada 16 Februari 1994.

Ahmad Syafei rupanya menaruh perhatian besar terhadap peristiwa yang amat membekas dalam hidupnya itu?seperti dituturkan putra tertuanya?karena, selain merekamnya dalam bentuk karya sastra, dia pun mengabadikannya dalam wujud sejumlah potret.

Bahkan, sebagai seorang pesirah, dia pun turun langsung menolong para korban gempa sehingga mendapat penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda ketika itu.

Kuku Kedok 1933 ditulis karena dorongan rasa rindunya akan kampung halaman. Dalam bait 1?13 yang berfungsi semacam pengantar, dituturkan inspirasi untuk menulis syair itu muncul ketika cuaca di Metro sangat gerah. Saat itu, sekitar pukul 21.00, ia duduk-duduk di bawah pohon ceri di halaman rumahnya.

Pada malam nan sunyi itu, sayup-sayup terdengar suara orang mengaji dari arah depan rumahnya dan tiga becak melintas. Dari momen-momen puitis serupa itulah terbetik kerinduan Ahmad Syafei akan kampung halamannya.

Demikianlah, demi melepaskan kerinduannya, dia tuliskan kenangan tentang kampung halamannya yang hancur terlanda gempa bumi, dan itu sekaligus berarti kesaksiannya atas peristiwa gempa besar 1933 itu. Sebuah kesaksian puitis!

Berikut kami kutip enam bait dari wayak sepanjang 137 bait itu beserta terjemahannya. Bait 13: Ngelebonkon jak lom dada/rasa susah nih hati/nyak nulis cerita/satemon nihan terjadi (Demi menghilangkan dari dada/rasa susah di hati/kutulis ini cerita/benar ini terjadi). Bait 15: Di tahun 33 di bulan Juni/kira-kira pukul lima/mawat ti sangka-sangka/menginjok unyin bumi (Di tahun 33 pada bulan Juni/kira-kira pukul lima pagi/tiada disangka-sangka/bergoyang seluruh bumi). Bait 16: Selagi manusia pedom/luluk sunyi ni/mawat ti sangka-sangka/menginjok unyin bumi (Senyampang manusia tidur/sedemikian sunyinya/tiada disangka-sangka/berguncang seluruh bumi).

Bait 17: Ya Allah ya Robanna/kukuk kedok kirani/minjak radu ticuba/tebanting di unggak resi (Ya Allah ya Rabbi/gempa kuat kiranya/mencoba bangkit dari tidur/terbanting ke tikar tapi). Bait 18: Dunia rasa gamba/rasa diungggak sekoci/ngaliwat Tanjung Cina/lebih gawoh hunjak ni (Dunia sepantun gamang/serasa di atas sampan/yang mengarungi Tanjung China/dan gempa lebih dahsyat lagi). Bait 19: Nyak rangka niat beranda/melegoh haga mati/mak mudah nyak sangka/gegoh lapah di ruwi (Diri merangkak berniat ke beranda/perlahan seolah mau mati/tak semudah yang kusangka/bak jalan di atas duri).

Nyanyian

Dari 33 nyanyian yang diubahnya dalam bahasa Lampung berdialek A, salah satunya bertutur tentang kerinduan akan kampung halamannya, yaitu Kenali, yang dijadikan judul lagu yang diciptakannya di Kotabumi, 21 September 1973. Berikut kami kutip lirik lagu itu beserta terjemahannya.

Kenali senangun mak keliru/di isan pekonku/rang ni hulun tuhaku/kenali? lajuan kak jak baru/pekon mebalak telu/hinno Kenali ku//hawa segar mengison/kebun kopi melamon/muli-muli buhilok/ngebatok hati lahok/merisok nyak kundur mengan/kak Kenali dilom ingo'an (Kenali memang tidak keliru/di sana kampung halamanku/tempat orang tuaku/Kenali terusan jalan baru/kampung besar tiga/itu Kenaliku//hawa segar nan dingin/kebun kopi yang banyak/gadis-gadis telanjang/membuat hati hancur/kerap hilang selera makanku/saat Kenali dalam ingatan).

Selain menulis puisi dan menggubah lagu, beliau juga pandai menggambar sketsa seperti terlihat pada halaman-halaman manuskripnya.

Demikianlah, Ahmad Syafei tak pelak adalah sosok seniman berbakat rangkap. Beliau adalah sastrawan, pengubah lagu, pelukis sketsa, sekaligus fotografer. Dengan kapasitas kesenimanan sedemikian ini, kiranya pantas dicatat dan beroleh tempat sebagai pujangga dari Lampung Barat.

Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan


Dimuat di Lampung Post, Sabtu, 7 Desember 2013

Kamis, 05 Desember 2013

Tumi Mit Kota


Judul buku: Tumi Mit Kota
Penulis: Udo Z. Karzi & Elly Dharmawanti
Penerbit: Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung
Cetakan: I, November 2013
Tebal: x + 85 hlm.
ISBN: 978-602-96731-3-5

Niku aga mit kota, Tum. Cadang atiku. Kidang nyak mak dapok api-api. Rupani, rencaka seno adu mesaka.
Adu dibi, nyak musti imul. Taganko nyak ngelupako sakikni atiku pakai yosni Way Biha.
……..

Tumi Mit Kota
, cerbun inji paling mawat ngegambarko kondisi ulun Lampung tanno tekait jama orientasi urik,pergeseran tatanan sosiobudaya, rik kecenderungan urbanisasi di hantara jelma Lampung kelamonan. Keruwa, wat proses inkulturasi delom dirini Tumi (Tuminingsih), sai gelarni sangon meredik jama kultur Jawa rik sangon beretnis Jawa, kidang adu jadi muli lampung nihan. Injilah mustini sai terjadi. Kidang nyatani wat marginalisasi bahasa-budaya Lampung di lambanni tenggalan. Ketelu, ngebebaca sejarah, rupani Buay Tumi atawa suku Tumi yaddo dia tuyuk turingni ulun Lampung. Keepak rik seterusni… cerbun mehelau…

Wat 13 cerbun -- 6 cerbunni Elly Dharmawanti rik 7 cerbunni Udo Z. Karzi – delom buku inji. Kisah-kisah delom buku inji ngelaworko suasana wilayah lawok rik gunung, sesekali muneh mit kota; daleh ketegangan hantara sekeji rik tanno. Makai setting budaya sai khas, sai nulis ngewarahko ulun Lampung jama filosofi urikni tian rik kemunalomanni tian ngelapahi problema kehurikan. n

Minggu, 01 Desember 2013

Elly Dharmawanti

JIKA di KTP dan surat-surat penting lainnya tertera Eli Darmawanti. Tapi dia lebih suka menulis Elly Dharmawanti. Ia lahir di Pesisir Selatan, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Lagi-lagi kalau di KTP dan surat surat penting lainnya tertera 25 Desember 1975, tetapi di akte kelahiran tertera 2 Februari (ada-ada saja!).

Anak pertama dari lima bersaudara pasangan Basarudin-Aminah. Menikah dengan Juli Kurniadi (nama bekennya sih Aji Gobang), ia dikaruniai dua putra: Joshua Merifidal Kurniadi (lahir 13 Januari 2006) dan Jonathan Mahatma Kurniadi (lahir 16 Desember 2011).

Saat ini menetap di Krui, Pesisir Barat, Lampung. Sejak 2011 tercatat sebagai salah satu fasilitator pemberdayaan di Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan  untuk Kecamatan Pesisir Selatan.

Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Tulang Bawang Lampung (UTB) tahun  2000 ini menyukai suka traveling tetapi mabuk kalau naik mobil; suka makanan enak tapi tidak bisa masak; penikmat musik, meski tak bisa bisa menyanyi; menggilai sastra, tari, dan fotografi meski tidak punya bakat seni. Palang tidak suka tempat kotor dan berantakan. n

Bukunya:
* Tumi Mit Kota (kumpulan cerbun bersama Udo Z. Karzi, 2013)
* Sekekejungni Pesiser Sememanjangni Angangon (kumpulan sajak bahasa Lampung bersama S.W. Teofani, 2016)

Sabtu, 30 November 2013

Udo Z. Karzi

TUKANG tulis ini lahir 12 Juni 1970 di Liwa, Lampung. Ia menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (1996). Buku puisinya: Mak Dawah Mak Dibingi (2007) meraih Hadiah Sastra Rancage 2008. Bukunya yang lain: Momentum (kumpulan sajak, 2002), Etos Kita: Moralitas Kaum Intelektual (editor, 2002), Teknokra: Jejak Langkah Pers Mahasiswa (editor bersama Budisantoso Budiman, 2010), Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (2012), Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan (2013), dan Tumi Mit Kota (kumpulan cerbun bersama Elly Dharmawanti, 2013) . Karya-karya berupa puisi, cerpen, dan esai juga termuat dalam beberapa antologi bersama. Menyunting beberapa buku terbitan BE Press dan Pustaka LaBRAK.

Bukunya yang diterbitkan Pustaka LaBRAK:
* Teknokra: Jejak Langkah Pers Mahasiswa (editor bersama Budisantoso Budiman, 2010)
* Tumi Mit Kota (kumpulan cerita buntak bersama Elly Dharmawanti, 2013)
* Rumah Berwarna Kunyit' (editor, 2015)
* Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali (2016)
* Negarabatin (novel, 2016)

Jumat, 22 November 2013

Jejak Literasi Liwa

Oleh Udo Z. Karzi

Senja hari, ketika matahari telah terbenam penuh keindahan di balik gunung-gunung di sekeliling tasik itu, barulah ia berangkat ke Liwa. Malam sampailah ia di sana....

Keesokan harinya Yusuf pergi mengikuti Sukartono pergi ke Keroi. Jalan yang tiada putus-putus berkelok-kelok menurun menuju ke bawah, hutan yang hijau meliputi lurah dan tebing sepanjang jalan dan akhirnya pemandangan yang dahsyat ke arah lautan Samudra yang biru luas membentang …”


Liwa Kota Berbunga (foto: budhi marta utama)
ITULAH jejak literasi tentang keindahan Liwa (Lampung Barat, termasuk Pesisir Barat kini) dalam roman Layar Terkembang karya St. Takdir Alisyahbana (diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka, 1936) yang tercantum di halaman 54.

Di halaman lain Layar Terkembang ini tertulis: “…telah sering ia memikir apakah sebabnya maka liburan ini lain rasanya dari sediakala. Dan di tengah keindahan alam di perjalanan ke Liwa dan ke Keroi, kegelisahan hatinya itu bertambah, seakan-akan oleh tamasya kepermainan dan kebesaran alam yang dilihatnya …” (Surat Maria kepada Yusuf dalam dalam Layar Terkembang)

Sebelum membahas lebih lanjut tentang jejak literasi Liwa, biar kelihatan ilmiah sedikit, perlu dibahas pengertian dari literasi.

Literasi

Secara sederhana, literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America’s Young Adult mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.

Sekarang ini, generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain. Wagner (2000) menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya indeks pembangunan manusia. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.

Untuk keperluan makalah ini saya perlu membatasi bahasan (1) mengenai informasi tertulis tentang Liwa, terutama karya sastra, baik dari penulis yang berasal dari Liwa maupun yang bukan dari Liwa; dan (2) tentang orang-orang Liwa, bisa lahir di Liwa, besar di Liwa atau ada keturunan Liwa yang menggeluti dunia leterer.

Tentang Liwa

Literatur yang lebih tua tentang Liwa adalah Catatan Perjalanan ke Danau Ranau di Pedalaman Krui yang ditulis J. Pattullo di tahun 1820 (ada di buku Malayan Miscellanies Vol II, terbitan Sumatran Mission Press, Bengkulu, 1822), yang diterjemahkan Yulizar Fadli dan dimuat di Jurnal Kebudayaan Akal Volume 1/Januari 2013 hlm. 28-34.

Perjalanan rombongan J. Pattulo dimulai dari Kroer (Krui) pada 19 September 1820, menginap di dusun Uluh. Sehari kemudian bermalam  di Weya Assat (Way Asat), lalu berjalan antara lain ke Pulau Pisang, Lumbok, Surabaya di Banding Ranau, Gunung Seminung, Sukau, Lewah (Liwa), dan kembali ke Krui. Kita kutipkan:

"Pagi hari tanggal 5, kami meninggalkan Sukau ke Lewah (Liwa) di mana kami sampai pada sore hari -- juga tak beruntung selama perjalanan hari ini karena tidak bisa menentukan perjalanan. Dewa Lewah menawarkan sesuatu yang tak berarti. Desa ini terletak sangat rendah dan iklimnya sangat dingin dan lembab....


Lewah diatur seorang Pangeran dari sebelas penasehat ang bekerjasama dengan Kerabat Terhormat. Budaya dan kebiasaan benar-benar sama dengan para penduduk di Lampung lainnya
."

Tulisan yang tidak menarik karena agaknya Pattulo kurang mahir memainkan pena dan tidak mampu menyerap keindahan tempat yang ia kunjungi. Walaupun demikian, tulisan ini penting mengingat minimnya literatur yang membicarakan Liwa (atau Lampung pada umumnya). Dalam catatannya ini, Pattulo membuat data populasi penduduk daerah Lewah yang terdiri dusun-dusun: Bumi Agung, Surabaya, Kasugihan, Paggar, Negeri, Perwatta, Banding, Waye Mengaku, Tanjung, Gedong, Sungie, dan Genting.

Beberapa
penyair menulis Liwa dalam sajak-sajak mereka. Saya menemukan sajak yang mengambil Liwa sebagai judul yang ditulis Fina Sato. Penyair kelahiran Subang, Jawa Barat, 16 Februari 1984 ini menulis sajak:

Liwa

kupagut dingin bukitbukit
dara yang merona
sejuk wajahmu bagai periperi hutan
tangis hujan merincik
di kotamu
membalut tubuhku dalam pesta sekura
kita menari, perempuanku!
meremang sepanjang tanjungkemala
kau perempuan hijau di punuk pesagi
tidakkah pertemuan kita
adalah sunyi?

ke barat,
kulumat perjalanan menuju krui
pelabuhan yang menjejak pulang dan pergi
kabut kembali meremang waktu
sepanjang bandar merindu
dan ikanikan tak henti bertanya
ke mana arah bidok cinta bermuara

di sini
orangorang pun akan bertanya padamu
danau ranau tempatmu merantau?
menyelami tiyuh kenangan
berkaca pada batubatu legam
pada sawahsawah basah
dan dendang burung di reranting pinang
lalu membasuh hitam rambutmu
di percikan kubuperahu?

kita luluh di kota tua ini
arus angin menggerus waktu
akhir usia di pucuk gunung
diantara uapacaraupacara adat
kita menari, perempuanku!
karena ikanikan terus bersenandung
sepanjang way
di jalanjalan
tepian hutan

bumi singgah, 2006

Keterangan:
bidok: bendungan-bendungan tempat ikan (Lampung)
tiyuh: kampung (Lampung)
way: sungai (Lampung)

Beberapa penyair juga menulis sajak dengan mengambil setting Liwa (Lampung Barat) di antaranya Iswadi Pratama, Isbedy Stiawan ZS, Komang Ira Puspita, dan Christian Heru Cahyo Saputro. Dari Lambar sendiri ada Fitri Yani, M. Harya Ramdhoni, dan Udo Z. Karzi. 

Novel 7 Manusia Harimau (terdiri dari 7 seri) karya Motinggo Busye  menceritakan legenda  yang hidup di Lampung Barat tentang manusia yang bisa menyerupai harimau. Barangkali ada kaitannya dengan Buay Nyerupa, salah satu Paksi Pak yang dikisahkan sebagai ahli menyamar dan meramu racun. Novel ini kemudian difilmkan dengan judul yang sama (1986), disutradarai Imam Tantowi dengan pemain Ray Sahetapy, Anneke Puteri, El Manik, dan 
Shinta Kartika Dewi. Sedangkan novel Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni mengisahkan runtuhnya Kerajaan Sekala Brak di kaki Gunung Pesagi seiring dengan masuknya Islam ke wilayah ini. 

Untuk karya cerpen saya belum tahu cerpenis yang menggunakan Liwa, Lambar sebagai latar cerita.

Orang Liwa Menulis

Memang kalau hendak dibandingkan dengan Sumatera Barat, Lampung -- apatah lagi Liwa -- memang belum apa-apanya. Tapi, orang Liwa patut berbangga karena sesungguhnya dunia literasi di daerah ini telah lama hidup.  Kalau keberadaan Kerajaan Sekala Brak di kaki Gunung Pesagi, Liwa, dipercaya sebagai pewaris aksara (had) Lampung, bisa dikatakan tradisi literer di Lampung Barat sudah ada sejak abad ke-8. Buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung yang diterbitkan Lampung Post (2008) menyebutkan beberapa nama yang lekat dengan literasi, baik sebagai akademisi, wartawan/penyiar/kolumnis, maupun sebagai sastrawan: Sulaiman Rasyid (1899-1976), Rais Latief (1900-1977), M. Arief Mahya (1926), Sazli Rais (1944),  Lincolin Arsyad (1958), dan Udo Z. Karzi (1970).

Adalah Haji Sulaiman Rasjid bin Lasa (1898-1976) yang menyusun buku fikih pertama di negeri ini. Fiqih Islam, terbit 1951, karangan pria kelahiran Pekon Tengah, Liwa, tahun 1898, menjadi buku wajib di perguruan tinggi dan menengah di Indonesia serta Malaysia, sampai sekarang. Pendidikannya: Sekolah Mualim, sekolah guru di Mesir dan Perguruan Tinggi Al-Azhar Kairo Mesir, Jurusan Takhasuhus Fiqh (Ilmu Hukum Islam) selesai tahun 1935. Tahun 1936 ia ditunjuk Belanda sebagai Ketua Penyelidik Hukum Agama di Lampung, lalu tahun 1937--1942 menjadi Pegawai Tinggi Agama pada Kantor Syambu dalam Zaman Pendudukan Jepang. Ia meninggal di Bandar Lampung, 26 Januari 1976.

Sejawat Sulaiman Rasyid, Rais Latief (1900-1977) juga menyusun terjemahan hadis sahih Muslim bersama dengan H. Abdul Razak (asal Kotabumi). Buku-buku tersebut merupakan cikal-bakal buku-buku agama berbahasa Indonesia karya anak bangsa kemudian hari. Buku tersebut sangat populer beredar dan dicetak berulang-ulang di Malaysia dan Singapura.

Sekitar 1962 setelah pensiun sebagai pegawai tinggi Departemen Agama, ketimbang mengajar di perguruan tinggi agama Islam di Jakarta, beliau memilih pulang ke Lampung. Di Lampung Rais kembali memimpin Sekolah Tsanawiah Muhammadiyah Pekon Tengah Sebarus. Sekolah ini sampai kelas IV. Karena tidak ada aliah di Liwa, para alumnusnya melanjutkan di kota-kota lain seperti Yogya. Dengan kualitas memadai, lulusan tsanawiah ini bisa diterima di kelas II aliah atau SMA di Yogya.
Rais tetap mengajar sampai berusia 70 tahun. Beliau wafat pada usia 77 tahun dan dikebumikan di Desa Sebarus Liwa di dekat tempatnya mengajar dan di tengah masyarakat yang begitu dicintainya.

Lalu, ada K.H. M. Arief Mahya
kelahiran Gedung Asin, Liwa, 6 Juni 1926 yang dikenal sebagai  pejuang dan ulama. Sejak 1 Juli 1979, M. Arief Mahya pensiun sebagai PNS setelah menjalani berbagai pekerjaan sebagai pendidik, juru dakwah, politikus, dan juga menulis. Meskipun pensiun, aktivitas pendidikan-dakwah-politik-nya tak mengendur. Arief pun mengisi hari-harinya dengan mengajar mengaji anak-anak sekitar rumah. Ia juga rutin mengisi ceramah agama dan terus menulis berbagai artikel di media massa lokal.

Anak Rais Latief, Sazli Rais kelahiran Sebarus, Liwa, Lampung Barat, 14 Desember 1944 juga lekat dengan dunia pers yang tidak bisa tidak bersentuhan dengan tulis menulis. Suaranya berat dan mengalun empuk mengetuk ruang-ruang keluarga Indonesia pada era 1970-80-an. Sebagai pembawa berita di TVRI dan RRI, nama, wajah, dan suara Sazli Rais populer sekali, menembus gunung-gemunung di pedalaman Lampung Barat, tanah kelahirannya.

Masih dari Sebarus, Lincolin Arsyad (lahir di Liwa, 21 Juli 1958) Lincolin Arsyad mampu menembus jajaran ekonom elite di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, gudangnya ekonom di Tanah Air bersama Universitas Indonesia. Ia dilantik sebagai dekan FEB-UGM pada 14 November 2007. Dengan demikian, Lincolin-lah dekan pertama di lingkungan UGM yang berasal dari Lampung. Prestasi Lincolin sangat gemilang karena kompetisi dosen di UGM dikenal sangat terstruktur dan ketat, terlebih untuk fakultas ekonomi. Ia menulis beberapa textbook ilmu ekonomi.

Generasi selanjutnya mulai lahir beberapa nama yang menggeluti dunia kewartawanan dan kesusastraan: Imron Nasri (1965), redaktur Majalah Suara Muhammadiyah Yogyakarta, yang banyak menulis dan mengeditori buku-buku nonfiksi, ZA Mathika Dewa (1970-1998) melahirkan
buku puisi Pencarian (1995); Udo Z. Karzi (1970) menulis buku  Momentum (kumpulan sajak, 2002), Mak Dawah Mak Dibingi (kumpulan sajak, 2007), dan Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (2012).  Lalu, Muhammad Harya Ramdhoni (1981) menulis novel sejarah Perempuan Penunggang Harimau (2011) dan kumpulan cerpen Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (2012). Dan yang terkini Fitri Yani (lahir 1986) yang melahirkan buku puisi Dermaga Tak Bernama (bahasa Indonesia, 2010) dan Suluh (bahasa Lampung, 2013).

Penutup
Terlihat, alam dan manusia Liwa sangat menarik untuk ditulis dalam bentuk apa pun: puisi, cerpen, novel, catatan perjalanan, feature, atau studi.
Lalu para para penulis dari Liwa sendiri telah pula mengembangkan tradisi literer ini di berbagai bidang kepenulisan.

Ini tentu menjadi motivasi besar bagi pelajar se-Lampung Barat.  Jadi, apa lagi?


Bandar Lampung, 17 November 2013



----------------------------
* Makalah disajikan untuk Apresiasi Sastra dalam Festival Bahasa dan Sastra VII yang diselenggarakan SMAN 1 Liwa, Lampung Barat, 22 November 2013

** Udo Z. Karzi, menulis buku antara lain Momentum (kumpulan sajak, 2002), Mak Dawah Mak Dibingi (kumpulan sajak, 2007), Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (2012), Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan (2013), dan Tumi Mit Kota (kumpulan cerbun bersama Elly Dharmawanti, 2013).

Minggu, 17 November 2013

Warahan Radin Jambat

Judul buku: Warahan Radin Jambat
Penyunting: Iwan Nurdaya-Djafar
Redaktur Ahli: Hilman Hadikusuma
Penerbit: Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung
Cetakan: I, Juni 2011
ISBN: 979-974-102-6
Tebal: vii + 55 halalam

Sebelum abad ke-17, orang Lampung sudah mengenal seni pertunjukan sastra. Pertunjukan Warahan Radin Jambat dapat memakan waktu bermalam-malam. Oleh karena itu, orang Lampung Way Kanan menyebutnya ruwahan. Warahan Radin Jambat adalah cerita rakyat yang hidup dalam hati orang Lampung.

Warahan Radin Jambat terbagi dalam 49 bagian. Setiap bagian diawali dengan seruan pembuka yang berbunyi, "Aaaaa..." Pembuka seperti ini menandakan cerita ini memang digubah untuk dipentaskan.


Rabu, 06 November 2013

Abdul Hakim

K.H Ir. Abdul Hakim M.M.,  kiprahnya tidak diragukan. Jauh sebelum menjejakkan kaki di Senayan, Abdul Hakim sudah memulai langkah kecilnya membangun moralitas kaum muda di Lampung.

Sejak menapakkan kaki di Lampung tahun 80-an sebagai mahasiswa Universitas Lampung (Unila), lelaki kelahiran desa Palanyar, Pandeglang, 9 September 1963 ini aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan di kampusnya. Impiannya untuk membangun moralitas kaum muda diwujudkan lewat dakwah dan memberikan pendidikan agama kepada mahasiswa.

Kepiawainya berdakwah pun mendapat pengakuan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Alumnus kader pendidik ulama yang pernah mencicipi Kampus Al Azhar di Kairo itu pun mendapat predikat terbaik dari MUI.

Di bidang pendidikan, Abdul Hakim menjadi nama yang menorehkan jejak saat peta pendidikan Lampung dibentangkan. Ia adalah pendiri pondok pesantren mahasiswa Darul Hikmah yang banyak melahirkan mahasiswa-mahasiswa berprestasi. Ia pula yang membangun Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) yang tidak hanya membangun intelektualitas anak, tetapi juga menyemaikan keindahan akhlak.

Ketika perpolitikan nasional mengalami pergeseran di era reformasi, Abdul Hakim tampil sebagai Ketua Dewan Pengurus Wilayah Partai Keadilan (PK) Lampung. Ia mengembangkan dakwah melalui PK ini sampai ke pelosok Lampung. Perjuangannya itu pula yang mengantarkannya ke kursi legislatif di DPRD Provinsi Lampung.

Penampilannya yang sederhana tak banyak berubah. Yang berubah adalah ia menjadi fasih berbicara politik, kemampuannya ditunjukkan dengan dipilihnya ia sebagai Ketua Komisi E DPRD Lampung  (1999—2004) yang membidangi Pendidikan, Sosial, Agama, dan Kepemudaan.

Karier politik Hakim terus bersinar. Dalam Pemilu 2004, anak ketiga dari Mukhtasar dan Atiyah ini berhasil menembus ketatnya persaingan menuju Senayan. Ia juga menjadi Ketua Forum 21 yang menjadi wadah anggota DPR dan DPD asal Lampung.

Sebagai anggota DPR RI (2004—2009), Hakim berperan dan terlibat aktif dalam pembuatan sejumlah UU. Selain Undang-undang Guru dan Dosen memberikan nilai tambah bagi upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, Hakim juga menjadi anggota Pansus UU Tata Ruang dan sejumlah UU yang berhubungan dengan transportasi.

Pada pemilu 2009, untuk kedua kalinya, Hakim terpilih kembali sebagai anggota DPR RI mewakili Dapil Lampung II untuk periode 2009-2014. Sebagai anggota Komisi yang membidangi Pekerjaan Umum, Perhubungan, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKF), Pembangunan Daerah Tertinggal dan Perumahan Rakyat, ayah empat anak ini telah berjuang agar pembangunan infrastruktur di Lampung mendapat porsi lebih dalam APBN.

Ia pula yang mendorong pembangunan jalan lintas timur (jalintim), infrastruktur pedesaan, rehab, dan peningkatan jalan Simpang Penawar--Rawajitu hingga pembangunan landasan pacu Bandara Raden Intan dan Bandara Pekon Serai.

Penerima penghargaan Penghargaan Tjindarbumi dari Persatuan Wartawan Indonesia Indonesia (PWI) Lampung tahun 2003 ini juga banyak terlibat dalam penyusunan Undang-undang di DPR. Salah satu sumbangsih pemikirannya untuk membenahi transportasi Indonesia adalah paket UU transportasi yang terdiri dari empat UU yaitu UU No.23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian, UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran, UU No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan dan UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Selain itu, Hakim juga aktif menyampaikan gagasan-gagasannya untuk membenahi kinerja, struktur dan organisasi DPR RI dengan menjadi salah satu panitia kerja (Panja) penyusunan renstra DPR RI serta terlibat dalam penyusunan sejumlah RUU yang masuk dalam daftar prolegnas 2009-2014 seperti RUU Perumahan dan Pemukiman serta RUU Jasa Konstruksi.

Pernikahannya dengan Dra. Nana Nasilah memberinya putra-putri: Muhammad Zakky At-Tamimi, Dhia'ul Haq, Widya Wafa Karimah, dan M. Sidqi Atho Robbani. n



Bukunya:
* Amanat Telah Saya Sampaikan

Senin, 04 November 2013

Amanat Telah Saya Sampaikan

Judul: Amanat Telah Saya Sampaikan
Penulis: K.H. Ir. Abdul Hakim, M.M.
Penerbit: Pustaka LaBRAK dan BE Press,
Cetakan: I, Juli 2010
ISBN: 9786029673128
Tebal: vii + 148 hlm.

JALAN raya tak ubahnya "ladang pembunuhan" (the kill filds). Angka kematian di jalan raya Indonesia mencapai 30.000 orang setiap tahunnya. Moda transportasi lain pun seperti kereta api, penerbangan, dan pelayaran bukan tanpa masalah. Ya, kita lebih sering bersua transportasi jauh dari ramah dan manusiawi.

K.H. Ir. Abdul Hakim, M.M., penulis buku ini mampu menuangkan pengetahuan dan pengalamannya – dalam bentuk catatan kritis, analitis, dan solutif -- dari setiap masalah yang menjadi bidang tugasnya di Komisi V DPR. Legislator asal Lampung ini menulis dengan bahasa yang renyah, tetapi tetap dalam kajian yang dalam.

Selain mengenai transportasi, dia juga berbicara tentang perlunya pengembangan infrastruktur untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pembangunan daerah tertinggal dan perumahan rakyat, serta pentingnya penanganan bencana bagi negeri kita yang memang disebut-sebut sebagai wilayah yang rawan bencana. n

Jumat, 01 November 2013

Tentang Pustaka LaBRAK

Pustaka LaBRAK. Sebuah gerakan literasi Lampung. Menggebrak, menyebarluaskan...
Alamat: Perum Wismamas Kemiling Jl. Teuku Cik Ditiro Blok S12A No. 16 Bandar Lampung 35153. http://pustakalabrak.blogspot.com Facebook: Pustaka LaBRAK. Email: pustakalabrak@gmail.com.

Didirikan pada 2010 oleh Udo Z. Karzi, Y. Wibowo, dan Sigid Nugroho.

Jumat, 25 Oktober 2013

Teknokra, Jejak Langkah Pers Mahasiswa


Judul buku: Teknokra, Jejak Langkah Pers Mahasiswa
Editor: Budisantoso Budiman dan Udo Z. Karzi
Penerbit: Teknokra dan Pustaka LaBRAK
Cetakan: I, Maret 2010
ISBN: 9786029673104
Tebal: xvii + 325 hlm

BERBICAR persma tak lepas dari berbicara soal romantisme gerakan mahasiswa di negeri ini. Bila menilik sejarah, persma memiliki peran strategis sebagai media penyulut semangat gerakan mahasiwa. Bukan main perannya, persma hadir sebagai alat dan corong kekuatan aktivis gerakan mahasiswa. Melalui tulisan–tulisannya, aktivis persma mencoba menghadirkan nuansa propaganda dengan tujuan menyatukan semangat mahasiswa di seantero negeri ini.

Persma meski hidup dalam “cengkraman” birokrat kampus juga tetap konsisten pada penerapan prinsip jurnalisme dalam mengungkap fakta. Berbagai permasalahan menyangkut kepentingan mahasiswa, dosen dan kebijakan kampus tetap disajikan secara konfrehensif melalui proses jurnalistik (mencari, menulis, menyunting hingga menyebarkan informasi). Prinsip inilah yang mewarnai aktivitas persma saat ini, tak terkecuali Pers Mahasiswa Teknokra Unila. Teknokra yang sedari 1 Maret 1977 berdiri turut menjadi pelaku sejarah dalam romantisme persma Indonesia.

Banyak kisah menarik, menakutkan, dan mengharukan mewarnai jejak langkah perjalanan panjang Teknokra terangkum dalam buku ini. Selain menyajikan sekelumit kisah perjalanan Teknokra, juga menampilkan secercah kesaksian para penggiatnya. n

Kamis, 17 Oktober 2013

Budisantoso Budiman

JURNALIS/REDAKTUR Perum LKBN ANTARA Biro Lampung-redaktur eksekutif antaralampung.com; mantan Kepala Biro LKBN ANTARA Sumatera Selatan (2008-2012); pendiri dan mantan Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung; pernah menjadi Ketua (Pemimpin Redaksi/Pemimpin Usaha) Surat Kabar Mahasiswa Teknokra Universitas Lampung. Kini ditugasi juga sebagai penguji kompetensi wartawan/jurnalis Lembaga Pers Dr Soetomo-Dewan Pers-AJI, dan LKBN ANTARA; fasilitator dan pemateri pelatihan jurnalistik dan kehumasan. Lulusan S-1 Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Lampung (1993), peserta Program Diploma DEvelopment Journalism Indian Institute of Mass Communication (IIMC) di New Delhi, India (2011). n

Bukunya:
* Teknokra: Jejak Langkah Pers Mahasiswa (editor bersama Udo Z. Karzi)