Oleh Susilowati |
Kita tak bisa membayangkan sebuah peradaban tanpa buku sebagai sumber pengetahuan sekaligus penyambung dari satu peradaban ke peradaban lainnya. Jika sebuah peradaban dibangun tanpa buku, tentu menjadi karut-marut. Begitu pun jika sebuah generasi tanpa buku, apa yang terjadi?
Tulisan ini bentuk kegelisahan atas fenomena generasi kita yang semakin jauh dari buku. Bagaimana pelajar dan mahasiswa yang seharusnya berjibaku dengan buku, banyak yang tak akrab, bahkan “alergi” dengan buku. Sampai kapan generasi ini jauh dari buku?
Kalau buku menjadi tolok ukur kebudayaan suatu bangsa dan menjadi lambang kejayaan peradaban, bagaimana nasib bangsa yang generasinya tidak menyukai buku?
Adakah upaya yang dilakukan oleh empunya kebijakan untuk mendorong anak bangsanya menyukai buku? Jika sudah ada upaya, perlu modifikasi upaya untuk menggugah anak bangsa mencintai jendela pengetahuan.
Hal ini penting karena tanpa upaya maksimal, bangsa kita akan terpuruk tersebab rakyatnya tidak mencintai ilmu pengetahuan. Jika sebuah bangsa tidak mencintai ilmu pengetahuan yang terjadi adalah chaos, ketidakberaturan, dan hal lain yang mengerikan.
Bangsa yang besar akan berdiri di atas kristal ijtihad berdasarkan adu ilmu pengetahuan dan penghormatan terhadapnya. Maka tak ada salahnya kita menggali lagi khazanah pelecut kecintaan anak bangsa kepada buku-buku ilmu pengetahuan.
Masih banyak jalan yang bisa ditempuh, masih banyak waktu yang bisa diisi untuk serius mengasah diri pun komunitas supaya bisa menjadi pecinta pengetahuan.
Jika kita mau tumbuh dan bergerak bersama, Indonesia akan menjadi negara yang tumbuh bersama lumbungnya ilmu pengetahuan. Jika zaman lampau buku-buku yang masa itu lebih dikenal dengan kitab, karya empu Indonesia banyak menjadi referensi di belahan dunia, tidak menutup kemungkinan suatu saat hal itu terulang. n
Susilowati, Wartawan Lampung Post.
dimuat di Nuansa, Lampung Post, Sabtu, 16 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar