Jumat, 21 Agustus 2015

Dari Mejaku Pagi Ini Memandang Rumah Berwarna Kunyit

Oleh Yuli Nugrahani


SANGAT mudah mengingat kapan aku menerima buku ini. Rabu, 19 Agustus 2015, di Balai Keratun, kompleks Kantor Gubernur Propinsi Lampung, dari tangan editornya langsung, Udo Z. Karzi. Aku menanti buku ini sudah agak lama, dan akhirnya kudapatkan. Bukan berarti isi buku ini hal yang baru sehingga aku sangat ingin mendapatkannya, karena aku sudah membaca sebagian artikel dalam Rumah Berwarna Kunyit (Polemik Kesenian, Kesenimanan dan Lembaga Seni (di) Lampung) ini di koran, tapi aku ingin menyimpannya sebagai salah satu dokumen di perpustakaanku.

Ya, seperti dikatakan Udo, buku ini berupa kumpulan dari artikel-artikel yang sudah dipublikasi di media masa. Dan secara umum aku bisa memahami situasinya kalau yang ditulis adalah tentang kesenian, kesenimanan dan lembaga seni yang ada di Lampung. Walau aku tidak terlibat banyak di situ, tentu saja aku paham juga sedikit-sedikit tentang hal ikwalnya. Karena aku juga membuat karya seni, aku seniman, dan sesekali aku terlibat dalam lembaga atau komunitas seni.

Aku menerima buku ini pada hari bersejarah bagi Dewan Kesenian Lampung (DKL), yaitu pengukuhan pengurusnya untuk masa jabatan 5 tahun mendatang. Aku sedang menunggu acara dimulai ketika Udo memberikannya padaku dalam sampul coklat bertulis namaku. Acaranya sendiri belum mulai juga walau aku sudah satu jam lebih duduk di situ. Undangan yang kuterima menyebutkan acara akan dimulai pada pukul 09.00. Aku datang di lokasi sekitar 7 menit sebelum jam 09.00. Dan aku terima buku biru ini sudah lewat 5 menit dari pukul 10.00! Dan acara belum ada tanda-tanda akan mulai!

Aku sengaja meniatkan datang setelah mendapat surat undangan warna biru sehari sebelumnya karena beberapa alasan. Pertama, aku ingin hadir untuk teman-temanku seniman yang sudah pasti akan masuk dalam jajaran kepengurusan. Kedua, aku penasaran ingin tahu apa yang terjadi pada DKL kedepan. Menurutku salah satu tanda yang bisa kutangkap adalah siapa yang ada di dalamnya. Dan saat aku terima undangan pengukuhan itu, tak ada informasi jelas yang kudapat tentang orang-orang yang akan masuk dalam jajaran pengurus yang akan dikukuhkan itu. Ketiga, aku sedang tak ada acara apapun di manapun. Jadi kupikir tak ada ruginya untuk hadir.

Pagi itu merasa antusias menyiapkan diri. Baju dominan biru sengaja kupakai dan bukan batik. Ya, sesuai dengan warna undangan biru. Dan ini pasti akan membedakan dengan sangat kontras dengan para calon pengurus yang akan dikukuhkan, yang disebutkan sudah menerima batik seragam. Sepatu kulit coklat kupakai. Mestinya lebih enak jika aku pakai sandal tumit tinggiku yang ringan. Tapi hari Minggu lalu aku terkilir. Kaki kiriku masih sakit jika digerakkan walau bengkaknya sudah mengempis. Dan aku berangkat dari kantor pukul 08.30. Aku memastikan tidak akan terlambat dan melewatkan hal-hal yang akan kutemui di sana.

Sayangnya, aku kecewa di satu jam pertama. Okey, harapanku memang tak bisa terpenuhi seluruhnya. Lihat saja, pertama, ya, aku bertemu teman-teman seniman. Sebagian memakai 'batik seragam' sebagian lain tidak. Jadi merekalah yang akan jadi pengurus, yang lain hadirin undangan seperti aku. Kedua, aku mendapati nama-nama pengurus. Soal ketua umum sudah terpilih Yustin Ridho Ficardo. Lalu ketua harian Heri Suliyanto. Hmmm.... Yang lain, aku baru tahu kemudian, lewat media online. Setelah acara selesai. Ketiga, ah,... aku tak bisa menunggu segitu lama untuk acara yang sudah bisa kutebak situasinya. Jadi pukul 10.30, aku bangkit. "Aku bosan. Harus jalan dulu." Kataku pada Imas Sobariah, yang duduk tak jauh dariku. Lalu aku ke tempat Kang Dana, "Selamat, kang. Aku tak tahan lagi menunggu." KD menyebut 2 menit, pasti mulai.

Aku tertawa dan pergi. 1,5 jam cukup bagiku. Tak ada pengaruhnya apa-apa jika kursiku kukosongkan. Jadi aku pulang, walau saat aku di teras Balai Keratun aku berpapasan dengan mobil yang membawa Ridho dan Yustin, Gubernur dan Ketua Umum DKL. Dalam hati aku menyapa mereka,"Sukses selalu, Pak dan Bu." Aku paham, sangat paham, acara-acara seperti ini biasa dimulai dengan sangat-sangat terlambat, molor jauh dari waktu yang tertulis. Sangat-sangat biasa. Dan karena untuk acara ini Ridho dan Yustin atau entah protokoler pemprov Lampung tak membuat gebrakan sehingga hal yang memalukan ini tidak terjadi, ya serta merta rasa pesimisku mencuat. Ya yang biasa-biasa itulah yang akan terjadi. Huft.

Di parkiran, bapak tukang parkir manggut-manggut sambil membantuku mengeluarkan motor. "Mereka ndak paham. Menunggu sampai selama ini buat ibu-ibu ya akan merepotkan. Belum lagi harus masak, ngurus anak. Acara belum mulai juga padahal sudah siang. Hati-hati ya bu." Hehehe... aku tertawa mendengar komentar si bapak. Komentar ini memberiku ilham sebuah resep masakan. Dan spontan membuatku rindu dapur.

Hmmm... akan ke mana DKL dengan jajaran pengurus seperti itu? Hmmm... hmmm... hmmm... Aku menulis soal harapan saja. Karena DKL sudah diisi oleh orang-orang yang dekat dengan pemerintahan, ketua umum istri Gubernur, lalu ketua harian kepala dinas pendidikan, aku berharap pemerintah Lampung semakin memberikan perhatian dan ruang yang nyata dan merata terhadap seni, seniman dan lembaga seni termasuk komunitas-komunitas seni di Lampung. Bukan untuk lamis-lamis lambe tampak gemebyar saja tapi sungguh-sungguh. Serius. Dan besok-besok, terlambatnya jangan keterlaluan deh. Ya 10 menit 15 menit bolehlah. Lampung sudah terlambat jauh, jangan lagi ditambah mengulur waktu yang merugikan begitu. Wis, itu saja deh.

Selebihnya, ya ya ya, Rumah Berwarna Kunyit membantuku melihat pandangan-pandangan para penulis tentang geliat seni di Lampung. Buku ini belum kubaca seluruhnya. Masih nunggu giliran memakai waktu yang kupunya. Sementara kusurukkan saja di ranselku, jika ada jeda aku bisa membacanya pelan-pelan di manapun aku berada, bercampur dengan dua buku yang sedang kubaca juga pelan-pelan Pagi Lalu Cinta-nya Isbedy Stiawan dan Harakah Haru-nya Iswadi Pratama, serta sebuah manuskrip buku puisiku yang sedang kuedit.

Dan walau aku tidak jadi ikut hadir dalam acara pengukuhan (maafkanlah, aku mah gini orangnya, tak sabaran.) aku mengucapkan : Proficiat, pengurus DKL yang baru. Selamat bekerja. Seni dan seniman tak selalu butuh rumah karena udara dan mataharilah sumber utama inspirasi karya. Jadi mungkin akan bisa dihitung siapa yang akan bertandang atau diundang ke rumah. Tapi para pengurus rumah, semestinya tak melulu di dalam rumah, tapi membuka pintu jendela membersihkannya setiap pagi, merapikannya setiap kali hingga pantas disebut sebagai rumah, termasuk dengan taman dan halaman yang indah. Dan jalan-jalan di luar rumah, sekitar rumah atau sedikit jauh dari rumah akan baik juga untuk kesehatan. Jadi, lakukanlah kerja-kerja yang diperlukan itu. Sekali lagi, proficiat. Selamat.


diambil dari yulinugrahani.blogspot.com, 21 Agustus 2015

Jumat, 07 Agustus 2015

Rumah Berwarna Kunyit'



Judul: Rumah Berwarna Kunyit': Polemik Kesenian, Kesenimanan, dan Lembaga Seni (di) Lampung
Editor: Udo Z. Karzi
Penerbit: Pustaka LaBRAK dan Aura Publishing, Bandar Lampung
Cetakan: I, Juli 2015
Tebal: x + 201 hlm
ISBN: 978-602-1297-9-1-9


Tentang geliat kesenian, kiprah seniman, dan peranan Dewan Kesenian Lampung, 42 tulisan dari 22 penulis dalam buku ini sangat lengkap menggambarkan semuanya. Buku ini terbagi dua bagian. Bagian Pertama Membangun Rumah Bersama Seniman memuat 24 tulisan berisi sejarah DKL, niat luhur pendirian, kritik, dan masukan untuk membangun institusi seni yang bisa mengayomi para seniman, menjadi katalisator, dan dinamisator kesenian di Lampung. Sedangkan Bagian Kedua Menghidupkan Kesenian dan Kesenimanan terdiri atas 16 tulisan yang menggagas segala segi kehidupan kesenian dan jiwa kesenimanan yang seharusnya melekat pada para pekerja seni.

Memang, seniman tak memimpikan istana, bukan pula bungalow yang nikmat sekadar disinggahi sesekali. Seniman hanya membutuhkan tempat di mana ia bisa berkonsentrasi memusatkan energi intuitifnya secara maksimal.... Tepatnya, DKL perlu membuat kalkulasi ulang atau meredesain secara komprehensif semua unsur dan komponen untuk mewujudkan sebuah rumah yang lebih nyaman dan kian mendekati idealnya bagi para seniman Lampung berkreasi.
~ Bambang Eka Wijaya, Pemimpin Umum Lampung Post


Senja Menuju Pulang


Judul buku: Senja Menuju Pulang
Penulis: Tri Purna Jaya
Penerbit: Pustaka LaBRAK dan Indepth Publishing, Bandar Lampung
Cetakan: I, Agustus 2015
Tebal: x + 75 hlm
ISBN: 9786029673111

TIGA kata: segar, romantis, dan asyik; barangkali pas untuk menggambarkan sajak-sajak Tri Purna Jaya dalam Senja Menuju Pulang ini. Kata-kaka meluncur lincah tanpa beban dalam baris-baris membuat puisi-puisinya terasa hidup. Tanpa harus njelimet memikirkan makna di balik larik-larik, Tri berhasil membangun suasana intens dan mesra dengan pembaca. Ya jelas saja, hal ini menjadi daya tarik tersendiri dari karya-karya wartawan Tribun Lampung ini.

Diksi-diksi yang dipilih Tri Purna Jaya memang terasa akrab dengan keseharian dalam kehidupan pribadi dan lingkungannya. Sebut saja tanah yang basah, bibirmu dan telingaku, baju, sepatu, dan kaus kaki, resolusi tanpa pertemuan, relasi terjada, titik-titik kata, dan banyak lagi yang menjadi bagian dari pengalaman batin saat menjadi mahasiswa dan kemudian bekerja di Tanjungkarang, Lampung.

Kamis, 06 Agustus 2015

Alexander GB

Lahir di Ulubelu, Tanggamus, 25 September 1980. Aktif di bidang teater dan sastra di Komunitas Berkat Yakin (KoBER) Lampung sejak 2002. Anggota Komite Teater DKL (2010-2015). Ia menulis cerpen, opini, esai, dan resensi buku di berbagai media. Buku cerpennya: Cerita-cerita dari Rumah Nomor 9 (2010).

Kontributor untuk:
* Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Ari Pahala Hutabarat

Lahir di Palembang, 24 Agustus 1975. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana dan magisternya di Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung. Aktif menulis puisi, prosa, dan esai sejak 1993. Ketua Komite Sastra DKL ini pendiri Komunitas Berkat Yakin (KoBER). Buku-bukunya, al: Menanam Benih Kata: Tentang Menulis Puisi (2012), Akting Menurut Stanislavski, Sebuah Pengantar (bersama Iswadi Pratama, 2012), dan Teater Asyik, Asyik Teater (2012).

Kontributor untuk:
* Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Arman AZ

Lahir di Telukbetung, Lampung, 30 Mei 1977. Penyuka sejarah dan sastra ini menulis prosa, esai, dan catatan perjalanan di berbagai media. Buku-bukunya: Payung Warna-warni (cerita anak, 2003), Senjata Makan Tuan (cerita anak, 2004), Embun di Ujung Daun (kumpulan cerpen, 2005), Dena dan Bidadari (cerita anak, 2005), Loper Koran Cilik (novel, 2005), dan Hikayat van der Tuuk (novel, proses terbit).

Kontributor untuk:
* Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Asarpin

Lahir di Pekon Negeri Ngarip, Tanggamus, 8 Januari 1975. Tamat sarjana di Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan, Bandar Lampung (2000) dengan skripsi Magi Dari Timur: Tinjauan Antropologi dan Fenomenologi. Pernah bergabung dengan Urban Poor Consortium/UPC (2001-2005). Lalu, dipercaya menjadi Koordinator Urban Poor Linkage/Uplink Lampung (2005-2007). Menulis opini, esai, dan tinjau buku sejak 2007 di berbagai media. Buku kumpulan cerpen berbahasa Lampungnya, Cerita-cerita jak Bandar Negeri Semuong (2009) meraih Hadiah Sastra Rancage 2010.

Kontributor untuk:
* Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Bachtiar Amran DM

Pendiri Dewan Kesenian Lampung, mantan wartawan Kompas.

Kontributor untuk:
* Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Bagus S Pribadi

Musisi. Bukunya: Sepilihan Lagu Lampung (bersama Azhari Kadir, 1997).

Kontributor untuk:
* Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Bambang Eka Wijaya

Lahir di Pondok Seng, Kerasaan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, 6 Oktober 1946. Pemimpin Umum Lampung Post  (1993--sekarang) dan anggota Dewan Redaksi Media Group (2004--sekarang). Ia mendapat penghargaan Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) sebagai penulis kolom paling produktif tanpa jeda setiap hari di kolom Buras Lampung Post dari 20 Mei 1998 hingga kini. Sebagian kolomnya dibukukan dalam  Buras (2004).

Kontributor untuk:
* Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Dana E Rachmat

Lahir di Tanjungkarang, 3 April 1966. Melukis diperdalam secara otodidak, beberapa kali menjuarai lomba lukis poster lingkungan hidup, lukis kriya, dan kaligrafi. Sejak 1988 menekuni bidang jurnalistik sebagai karikaturis, kartunis, ilustrator, dan penulis/pengamat budaya. Pameran lukisan tunggal dan bersama digelar di beberapa tempat seperti Lampung, Padang, Jambi, Pekanbaru, Bengkulu, dan Jakarta. Saat ini, Ketua Komite Seni Rupa dan Musik DKL. Sketsa-sketsanya bersanding dengan cerpen-cerpen Yuli Nugrahani dalam Daun-daun Hitam (2014).

Kontributor untuk:
* Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Endri Y

Lahir di Kalianda, 13 Juni 1982. Lulusan STIE Muhammadiyah Kalianda (2011). Pemimpin Redaksi Koran Editor ini menerima Penghargaan Saidatul Fitriah 2014 dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung dengan karya jurnalistik berjudul Bersenyum Manis dari Pringsewu.

Kontributor untuk:
* Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Hermansyah GA

Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Lampung, anggota DPRD Pringsewu.

Kontributor untuk:
* Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Isbedy Stiawan ZS

Lahir di Tanjungkarang, Lampung, 5 Juni 1968 dan hingga kini masih menetap di kota ini. HB Jassin menjulukinya Paus Sastra Lampung. Ia menulis puisi, cerpen, esai sastra dan opini sosial, politik, dan kebudayaan. Sejumlah buku sastra yang telah diterbitkan oleh penerbit di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Buku terbarunya: Perempuan Rumah Panggung (kumpulan cerpen, 2013),  Menuju Kota Lama (kumpulan sajak, 2014), Pagi Lalu Cinta (kumpulan sajak, 2015), dan Jalan Sunyi (kumpulan sajak, 2015).

Kontributor untuk:
* Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Iswadi Pratama

Lahir di Tanjungkarang, Lampung, 8 April 1971. Ia pernah menjadi redaktur budaya Surat Kabar Umum Sumatera Post dan Harian Lampung Post sebelum memutuskan berkesenian secara total. Aktif sebagai aktor, penulis naskah, dan sutradara bersama grup teaternya, Teater Satu Lampung. Dengan sastra dan teater, ia diundang ke berbagai belahan Tanah Air dan luar negeri.  Beberapa naskah teaternya: Ruang Sekarat, Rampok, Ikhau, Nak, Menunggu Saat Makan, Dongeng tentang Air, Aruk Gugat, dan Nostalgia Sebuah Kota. Bukunya: Belajar Mencintai Tuhan (kumpulan sajak bersama Ahmad Yulden Erwin dan Panji Utama, 1992):  Gema Secuil Batu (kumpulan sajak, 2008), Akting Berdasarkan Sistem Stanislavski, Sebuah Pengantar (bersama Ari Pahala Hutabarat, 2012), dan Harakah Haru (kumpulan sajak, 2015)

Kontributor untuk:
* Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Rabu, 05 Agustus 2015

Juperta Panji Utama

Lahir di Bandar Lampung, 25 Agustus 1970. Sarjana Fakultas Pertanian Universitas Lampung ini pernah menjadi anggota Komite Penelitian dan Pengembangan Dewan Kesenian Lampung (Litbang DKL) (1993-1996). Puisi dan cerpennya dimuat di berbagai media dan antologi bersama. Bukunya: Belajar Mencintai Tuhan (kumpulan sajak bersama Ahmad Yulden Erwin dan Iswadi Pratama, 1992), Pasar Kabur: Menggali Kubur Sendiri, Menggali Lorong-Lorong (kumpulan sajak, 1996), dan Kibaran Bendera, Hikayat Sang Debu (kumpulan sajak, 1996).

Kontributor untuk: Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Karina Lin

Lahir 17 April 1983 di Tanjungkarang, Bandar Lampung. Lulusan S1 Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lampung (2009). Pernah menjadi wartawan Harian Radar Lampung (2010-2011). Saat ini penulis lepas dan tercatat sebagai anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung. Tengah merintis Komunitas Greenmap Kota Bandar Lampung yang berfokus pada masalah perkotaan seperti kemacetan, sampah, polusi, dan lain-lain. Dalam bidang kesejarahan, penulis mengkhususkan diri pada sejarah peranakan Tionghoa Indonesia (dan di Lampung), sejarah seni-budaya dan sejarah politik.

Kontributor untuk: Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Maspril Aries

Lahir 4 April 1964 di Tanjungkarang, Lampung. Ia menyelesaikan sarjana Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung. Semasa mahasiswa aktif di pers mahasiswa dan sempat menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mahasiswa Teknokra (1989-1990). Ia pernah menjadi wartawan  Lampung Post (1991-1993). Ikut menjadi penggagas dan pengurus periode pertama DKL sebagai Ketua Komite Film (1993-1995). Sekarang, wartawan Harian Umum Republika (sejak 1993) dan Koordinator Institut Jurnalistik Palembang (IJP). Bukunya: Kado Dari Jukvhin Stallone (kumpulan cerpen, 2013).

Kontributor untuk: Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

M Sidik Mustofa

Lahir di Baturaja,  7 November 1966. Puisi penyair yang pernah menggunakan nama Andika Sidik ini pernah dimuat di berbagai media dan antologi bersama. Ia juga pernah pentas teater bersama Teater Krakatoa yang dipimpin/sutradara Ganti Winarno dan bergabung dalam Himpunan Remaja Pencinta Seni Lampung (HRPSL) bersama Panji Utama, Ahmad Yulden Erwin, dll.

Kontributor untuk: Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Pulung Swandaru

Lahir di Tanjung Karang, 15 Mei 1954. Perupa pensiunan pegawai negeri dengan posisi terakhir sebagai Kepala Museum Lampung (2006-2010). Jabatan itu dia pegang selama hampir empat tahun hingga 2010. Ia pernah berpameran di  Pameran seni rupa JABOLA (Jakarta, Bogor, Lampung) (2001), Taman Ismail Marzuki (2002), Seni Rupa Nusantara setiap 2 tahun Jakarta (2003, 2005, 2007), Galeri Nasional Jakarta Kelompok Lima (2004).

Kontributor untuk: Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Syaiful Irba Tanpaka

Lahir di Telukbetung, Bandar Lampung, 9 Desember 1961. Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (2001-2010) ini sekarang Sekretaris Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Cabang Lampung dan bergiat di Komunitas Budaya Jaringan Tradisi Nusantara. Bukunya: Mata-mata (kumpulan sajak, 1984), Buku Puisi (kumpulan sajak, 1996), Karena Bola Matamu (kumpulan sajak, 2007), dan Dunia yang tidak Pernah Menjadi Tua (kumpulan cerpen, 2013).

Kontributor untuk: Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Syamsul Arifien

Lahir di Gisting, 9 Mei 1968. Ia pernah menjadi wartawan Harian Tamtama/Lampung Ekspres (1997-2000), anggota KPU Lamtim (2008 -2011), Ketua KPU Lamtim 2012-2014. Ketua Kelompok Musik Gamelan Jamus Kalimosodo Lampung (1999-sekarang), Ketua Dewan Kesenian Metro (2003-2004), Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Se Indonesia (Lesbumi) PWNU Lampung, dan pegiat forum pengajian budaya Sekala Selampung (2013-sekarang).

Kontributor untuk: Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Tri Purna Jaya

Lahir di Jakarta tahun 1982. Penikmat kopi dan pencinta puisi. Sehari-hari menjadi buruh berita di Tribun Lampung. Pernah mencicipi deadline beberapa media: Lampung Post, I Love Lampung Magazine, Radio KBR68H, Okezone, dan Asia Calling Radio. Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung. (Sempat) aktif menulis di media massa untuk tulisan lepas nonjurnalistik. Saat ini (masih) menyempatkan diri menulis di blog pribadi.

Bukunya yang diterbitkan Pustaka LaBRAK: Senja Menuju Pulang (kumpulan sajak, 2015)

Kontributor untuk: Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Yoke Muelgini

Lahir di Tanjungkarang, Lampung, 30 Desember 1958. Dosen di Jurusan Ekonomi Pembangunan, FEB Unila. Ia menyelesaikan pendidikan Doktor Ilmu Ekonomi di FEUI (2004) dan M.Sc. dalam Ilmu Ekonomi di Dept of Econ, Iowa State University, Ames, Iowa, USA.  Pendidikan Sarjana Ekonomi Pertanian di Universitas Lampung.  Selama menjadi pelajar dan mahasiswa, ia aktif dalam menjadi Ketua OSIS dan Ketua SMF, Pemimpin Umum Surat Kabar Mahasiswa Teknokra, Participant (1979) dan Group Leader (1986) Program Pertukaran Pemuda Indonesia-Kanada (CWY Exchange Program). Pada waktu luang dan akhir minggu, ia menggunakan waktunya untuk membaca, menulis, menyanyi di rumah, belanja di berbagai pasar tradisional, bersepeda, berenang, dan berkebun bersama keluarga, dan berwirausaha.

Kontributor untuk Rumah Berwarna Kunyit' (2015)