Minggu, 22 Oktober 2017

Frieda Amran, Penulis Sejarah Lampung dari Bahasa Belanda

Oleh Imelda Astari



Frieda Amran | Imelda Astari/duajurai.co
BAGI sebagian orang membahas sejarah sangat membosankan. Tapi, bagi sebagian lainnya, mengorek sejarah menjadi sebuah kebutuhan, hal yang membuat ketagihan, hingga merasa hidup di dalamnya.

Adalah Frieda Agnani Amran, atau yang akrab disapa Frieda Amran. Ia merupakan penulis kelahiran Palembang, 21 Agustus 1959. Frieda belajar Antropologi di Universitas Indonesia dan Rijksuniversiteit Leiden negeri Belanda. Ia putri Prof Dr Amran Halim, seorang tokoh pendidikan dan tokoh budaya, guru besar Bahasa Indonesia yang pernah menjabat Rektor Universitas Sriwijaya.


Ketika menyebut nama Frieda, maka akan identik dengan berbagai tulisan mengenai sejarah Lampung yang disadur dari bahasa Belanda. Sejak Januari 2014, ibu empat anak yang menetap di Belanda itu mengasuh rubrik Lampung Tumbai yang terbit setiap Minggu di Lampung Post. Belakangan, beralih ke Lappung Beni yang dimuat Fajar Sumatera.

Selain menulis untuk media cetak di Lampung, ia terlebih dahulu menjadi penulis tetap untuk rubrik “Wisata Kota Toea” untuk harian Warta Kota sejak 2010. Kemudian, Frieda juga menulis untuk salah satu media di Palembang, yakni Beritapagi dengan rubrik “Palembang Tempo Doeloe”.

“Sriwijaya itu mencakup empat daerah, yakni Palembang, Lampung, Jambi dan Bengkulu. Akan tetapi, para arkeolog ada yang meneliti tentang Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung, namun tak ada yang menyatukan. Termasuk orang-orang sejarah juga begitu. Tidak ada satu orangpun yang berusaha membaca tentang empat daerah ini,” kata Frieda kepada duajurai.co, beberapa waktu lalu.

Frieda Amran | Imelda Astari/duajurai.co
Kemudian, Frieda berpikir untuk melakukan itu. Membuat sebuah tulisan yang bisa mengangkat sejarah keempat daerah itu, tak hanya Palembang. “Sebetulnya, terlalu optimis kalau saya sendiri berpikir bahwa bisa lakukan itu. Mungkin tidak bisa. Tapi, saya bisa berusaha. Makanya, ketika saya dapat kesempatan untuk mengolah dan membuka akses tentang Palembang, maka saya lakukan itu,” ujarnya.

Kala itu, Arman AZ, seorang penulis sejarah di Lampung, menghubungi dirinya. Arman mengatakan, perlu ada dokumentasi sejarah Lampung yang masih dalam bahasa belanda. Sehingga, Arman meminta tolong Frieda untuk terjemahkan. “Saya katakan kepada Arman, saya tak mau menerjemahkan secara pribadi. Tetapi, kalau kau mencarikan aku koran yang bersedia memberikan rubrik satu kali seminggu, maka aku tulis,” ucap Frieda.

Akhirnya, Arman AZ menghubungi Udo Z Karzi yang saat itu masih bekerja di Lampung Post. Gayung bersambut, Udo menyetujui untuk menghadirkan rubrik khusus di media cetak tertua di Lampung itu. Akhirnya, lahirlah rubrik “Lampung Tumbai” di Lampung Post, dan kini “Lappung Beni” di Fajar Sumatera. “Insya Allah, Desember mendatang mulai juga menulis di media Jambi dengan judul rubrik jejak,” ujarnya.

Frieda menyadur berbagai tulisan berbahasa Belanda dari abad 18-20. Dahulu, data-data itu hanya ada di perpustakaan di Leiden. Tapi, sekarang data-data tersebut bisa diperoleh secara online. “Saya tak boleh menginterpretasikan sendiri. Jadi, tulisan-tulisan itu saya baca, lalu saya sadur. Kalau diterjemahkan kata per kata dalam bahasa Indonesia mungkin akan sangat membosankan dibaca, maka saya potong kalimatnya menjadi jauh lebih pendek,” kata Frieda.

Penulis sejarah Lampung Frieda Amran menguasai Bahasa Belanda Kuno. Hal itulah yang menjadi poin lebih darinya. Ia ke Belanda untuk menjalani kuliah program magister (S-2). Tujuannya, agar bisa mengolah data-data berbahasa Belanda untuk kepentingan ilmu sosial, atau antropolgi.

Jadi, Frieda memang dilatih untuk mempelajari Bahasa Belanda kuno. “Seandainya saya masih dalam antropologi sesuai jalurnya, harusnya saya kembali ke Indonesia, dan mengajar di Universitas Indonesia (UI),” kata Frieda usai acara peluncuran bukunya “Meniti Jejak Tumbai di Lampung: Zollinger, Kohler, dan PJ Veth-Lampung Tumbai 2015” di Pusat Dokumentasi Lampung (PDL), Bandar Lampung, beberapa waktu lalu.

Baca: Frieda Amran Luncurkan Buku Meniti Jejak Tumbai di Lampung

Frieda mengatakan, ketika membaca berbagai tulisan Belanda kuno itu, mestinya ia menjadikan satu tulisan. Memasukkan interpretasi, lalu membuat suatu tulisan yang diolahnya sendiri. “Jadi, saya tak membuat sendiri suatu tulisan khusus. Misal, saya tidak menulis detail tentang adat perkawinan Lampung, saya tak lakukan itu. Saya hanya menuliskan dari cerita orang Belanda mengenai perkawinan Lampung. Selebihnya, penelitian itu harus dilakukan oleh orang Lampung sendiri,” ujarnya.

“Bukan saya tidak mau, tapi saya pikir lebih penting membuka akses untuk generasi muda Lampung dan peneliti-peneliti Lampung. Menurut saya, hal itu lebih baik ketimbang saya cari top dengan membuat buku-buku mengenai apa yang saya baca,” sambung Frieda.

Sejak 2010, kala menulis rubrik untuk Wartakota di Jakarta, Frieda pulang ke Indonesia satu kali dalam setahun. Biasanya, ia akan berkeliling sekitar 1-2 bulan. Selama berkeliling itu, Frieda menemui keluarga dan rekan-rekannya di Lampung dan Palembang. Terkadang, Frieda pulang sendiri, tanpa didampingi anak dan suami. Ia lebih suka berjalan sendiri ketika menjalankan kegiatannya, seperti berdiskusi dan lain-lain.

“Ini pekerjaan saya, menginspirasi orang, dan membuat orang bersemangat memikirkan jati diri kebudayaannya sendiri. Jadi, kalau anak dan suami saya ikut, pikiran saya jadi terpecah dan mengganggu konsentrasi. Jadi, saya berikan waktu khusus untuk keluarga terlebih dahulu, barulah saya fokus pada pekerjaan saya,” ucapnya.

Ibu empat anak itu berterus terang bahwa setelah banyak menyadur tulisan-tulisan tentang sejarah Lampung, dirinya menjadi benar-benar cinta pada Bumi Ruwa Jurai. Karena itu, Frieda terus menulis tentang sejarah Lampung. “Disamping itu, yang menyenangkan adalah anak-anak muda Lampung menjadi semakin aktif. Ada yang menceritakan minatnya terhadap tapis, purbakala, dan berbagai bidang sejarah lainnya di Lampung. Tugas saya, memotivasi mereka supaya mau menulis tentang itu,” kata Frieda.

Frieda akan tetap menulis dan menulis. Aa tak akan bosan menulis tentang sejarah, mengorek masa lalu. “Saya akan menulis sampai pikun. Saya akan tetap menulis sampai tak bisa menulis lagi, sampai otak saya tak bisa dipakai lagi,” ujarnya. []


Sumber: (dimuat dalam dua bagian) duajurai.co, 22 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar