Rabu, 08 Januari 2014

Penerbitan Antologi Sajak Dwibahasa Lampung-Indonesia Lampungkau dan Lampungku

Peragaan silat oleh Perguruan Persilatan
Seni Budaya Keratuan Lampung.
Selamat tahun baru.
TAK apa ya walau telat karena Kalender 2014 sudah menunjukkan angka 7.

Menjawab beberapa pertanyaan -- dan saya ngaku deh punya utang, hehee -- penerbitan buku LAMPUNGKAU LAMPUNGKU, ANTOLOGI SAJAK DWIBAHASA LAMPUNG-INDONESIA segera dilanjutkan. Sori mori kalau macet. Pekerjaan yang terbengkalai segera diteruskan.

Berikut disampaikan kembali penyair yang ikut antologi tersebut.

DAFTAR PENYAIR DALAM 'LAMPUNGKAU LAMPUNGKU'
1. Ahmad Yulden Erwin (Bandar Lampung)
2. Alexander GB (Bandar Lampung)
3. Alex R. Nainggolan (Tangerang)
4. Alya Salaisha-Sinta (Bekasi)
5. Asrina Novianti (Tangerang)
6. Benny Arnas (Lubuklinggau, Sumsel)
7. Christian Heru Cahyo Saputro (Lampung)
8. Dahta Gautama (Bandar Lampung)
9. Darojat Gustian Syafaat (Bandar Lampung)
10. Destaayu Wulandari (Semarang)
11. Diandra Natakembahang (Bandar Lampung)
12. Dian Hartati (Bandung)
13. Djuhardi Basri (Kotabumi)
14. Eddie MNS Soemanto (Padang)
15. Edy Samudra Kertagama (Bandar Lampung)
16. Edythia Rio Wirawan (Bandar Lampung)
17. Elly Dharmawanti (Bandar Lampung)
18. Febrie Hastianto (Tegal)
19. Firdawati Irawan (Jakarta)
20. Fitri Yani (Bandar Lampung)
21. F. Moses (Jakarta)
22. Hazwan Iskandar Jaya (Sleman)
23. Hendri Semaka (Bekasi)
24. Herman Eng (Bandar Lampung)
25. Imelda (Jakarta)
26. Imron N. Geasil (Yogyakarta)
27. Isbedy Stiawan ZS (Bandar Lampung)
28. Iswadi Pratama (Bandar Lampung)
29. Iwan Nurdaya-Djafar (Bandar Lampung)
30. Jauhari Zailani (Bandar Lampung)
31. Kharis Dwi (Surabaya)
32. Komang Ira Puspita (Yogyakarta)
33. Muhammad Hasyim Chikdung (Krui)
34. Novan Saliwa (Yogyakarta)
35. Oky Sanjaya (Bandar Lampung)
36. Oyos Saroso HN (Bandar Lampung)
37. Panji Utama (Bandar Lampung)
38. Rahmat Desmi Fajar (Jakarta)
39. Rilda A.Oe. Taneko (Lancaster, Inggris)
40. Sayyid Fahmi Alathas (Sukadana, Lamtim)
41. Seem R. Canggu (Bandar Lampung)
42. Semacca Andanant (Jakarta)
43. SW Teofani (Bandar Lampung)
44. Syaiful Irba Tanpaka (Bandar Lampung)
45. Tandi Skober (Bandung)
46. Tarpin A. Nasri (Tulangbawang, Lampung)
47. Tita Tjindarbumi (Surabaya)
48. Wahyu Heriyadi (Jakarta)
49. Tri Purna Jaya (Bandar Lampung)
50. Y. Wibowo (Bandar Lampung)
51. Zabidi Yakub (Bandar Lampung)

Tabik.

Bandar Lampung, 7 Januari 2013




Udo Z. Karzi, Imelda, Imron Nasri
http://pustakalabrak.blogspot.com
https://www.facebook.com/groups/majalahnyuara
http://facebook.com/udozkarzi
E-mail: udozkarzi@yahoo.com
HP: 081540090094

Selasa, 07 Januari 2014

Tumi Mit Kota: Sastra, Kegembiraan, dan Penguasa

Oleh Iman Silahi

BILA Hardi Hamzah di harian ini 19 Desember lalu menganalisis pernik-pernik cerpen Udo Z. Karzi dan Elly Darmawanti berjudul Tumi Mit Kota dan Seterusnya secara esensial, penataan pemahamannya lebih pada perlengkapan cerita yang dikisahkan dalam cerita pendek berbahasa Lampung; dalam tulisan ini, penulis sedikit berbeda dengan Hardi dalam konteks esensi. 

Jika Hardi mengatakan kosakata terpenggal sebagai metamorfosis bahasa yang membuat buku cerpen berjudul Tumi Mit Kota Kumpulan Cerita Buntak itu menjadi indah, penulis justru melihatnya secara semantik dalam pemahaman universalisme kesusasteraan daerah (dalam hal ini daerah Lampung).

Dari kumpulan cerita pendek itu, Udo Z. Karzi dan Elly Darmawanti sesungguhnya ingin memantapkan kekuatan bahasa Lampung yang lokalis. Dengan kata lain, melalui cerita pendek itu, Udo ingin berbicara bahasa Lampung itu banyak tebersit bahasa yang sederhana, tetapi bermakna, misalnya, di hlm. 47-51 yang bersubjudul Tebinta Nyak di Matamu.

Dalam cerita berjudul Aisah hlm. 3-7 yang ditulis oleh Elly Darmawanti, juga diproyeksikan suatu bahasa, yang menurut penulis kurang naratif, justru cenderung ingin memaksakan agar kita semua memahami bahasa Lampung, ada semacam kaidah paksaan, walaupun mungkin pula memaksakan ilmu itu justru baik adanya.

Ketika cerita pendek mampu melahirkan bahasa yang pembacanya dituntut memahami, inilah sesungguhnya cerpen karya dua penulis Lampung ini, dapat dilihat pada pemaparan jak penerbit. Di situ dipertegas kekuatan pisau analisis seorang Udo Z. Karzi dan Elly Darmawanti, lebih sebagai cerita bahasa Lampung yang menyambungkan estetika berkesusasteraan.

Kesusasteraan, inilah incaran setiap penulis fiksi, novel, cerpen, dan yang lainnya. Namun, kesusasteraan apa? Ini sesungguhnya yang harus dipertanyakan Bung Hardi Hamzah, hal mana penulis tidak temukan dalam opini Hardi tersebut. Bagi suatu cerita pendek, kesusasteraan tidak lain dan tidak bukan menyangkut kegembiraan pembaca sastra dalam bentuk apa pun. Kegembiraan inilah yang sering diharapkan oleh pembaca atau dalam dimensi sastra, lebih tepatnya keteduhan dan kesenangan.

Rasa dan estetika tersebut di ataslah yang penulis rasakan, betapa kumpulan cerita pendek Tumi Mit Kota mengandung makna yang longgar dan luas bagi kelampungan kita. Pernyataan atau pertanyaannya kemudian, mengapa deskripsi dalam kumpulan cerita pendek itu tidak berbahasa lewat tokoh yang satu dengan tokoh yang lain, dalam arti ada semangat dialogis yang dihidupkan dalam cerita bahasa daerah.

Kalaupun ingin dinetralisasi minimalnya semangat diaologis dalam buku tersebut, penulis dapat mengerti karena mentransfer fiksi dalam bahasa daerah yang notabene di tempatnya sendiri secara universal tidak digunakan sehingga keterpautan estetika dengan kesusasteraan tidak begitu terasa. Sebab, ketidakmampuan kita memaknai bahasa Lampung secara esensial. Artinya, kosakata bahasa Lampung hanya dapat dirasakan indah bila penulis cerita mampu menghubungkan antara pikiran fiktif dan realitas keseharian dalam rangkaian cerita, apalagi ini cerita pendek.

Penulis, lebih menarik membandingkannya dengan tulisan pendek yang masih relevan, seperti karya-karya cerpen Putu Wijaya. Lewat judul cerpennya yang juga pendek-pendek, bila Putu menangkap sinyal kesusasteraan lebih mendominasi realitas masyarakat ketimbang khayal, inilah yang kemudian bagus ceritanya, tetapi tidak memunculkan estetika sastra. Inilah titik pembeda yang menonjol antara Putu Wijaya dan Udo Z. Karzi serta Elly Darmawanti, tentu saja bila kita setidaknya telah membaca sedikitnya dua kali cerita pendek ini.

Dalam cakupan yang lebih luas, penulis sangat sepakat kepada Bung Hardi Hamzah yang menitikberatkan, kemajuan kesusasteraan, bahkan kebudayaan Lampung harus dimengerti secara baik oleh penguasa. Bila tidak, sebanyak apa pun kesusasteraan Lampung yang kita rindukan bersama akan sia-sia saja. Cobalah pemerintah terkait mulai menyadari, apa yang dikatakan Bang Udin atau Kiay Oedin tentang Lampungku Bumiku, Lampungku Jiwaku.

Apabila banyak di antara seniman sepakat, kepedulian pemerintah sangat minimal dalam konteks apresiasi, tentu cerpen berjudul Tumi Mit Kota ini penulis anggap sebagai penggugah, baik penggugah untuk seniman maupun pencinta Lampung, apalagi bagi para penguasa yang berkompeten di bidangnya. n

Iman Silahi, Alumnus Ilmu Pemerintahan FISIP Unila

Sumber: Lampung Post, Selasa, 7 Januari 2013

Kamis, 02 Januari 2014

Hilman Hadikusuma

Hilman Hadikusuma
Lahir di Kotabumi, Lampung Utara, 9 Juli 1927--meninggal di Bandar Lampung, 30 Agustus 2006. Ia berasal dari keluarga pamongpraja dari daerah Tulangbawang. Sebagai seorang karyawan dan mahasiswa akhirnya ia dapat menyelesaikan sarjana hukum pafa Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) pada 1968. Kemudian mengabdikan diri sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum Unila. Selain menjabat Ketua Jurusan Hukum Adat, ia pernah menjabat sebagai dekan.

Pengalaman administrasinya dimulai sejakj menjadi pegawai rendah pada perusahaan Jepang (1942-1945). Setelah proklamasi kemerdekaab, ia mengabdikan diri sebagai Tentara Republik Indonesia dari Korps Inteligence Service Bragade Garuda Hitam Sumatera Selatan (1945-1950). Kemudian sambil menuntut ilmu di Jakarta, ia bekerja pada Kantor Besar Kepolisian Jakarta Raya, Kantor Pusat Statistik, dan Kementerian Kehakiman (1950-1960).

Pada 1960 ia kembali ke Lampung sebagai salah seorang pionir pendiri Universitas Lampung dan terus mengabdi pada lembaga pendidikan tinggi tersebut, baik sebagai tenaga administrasiu maupun sebagai tenaga akademis. Ia pernah menjadi anggota DPRD Kotamadya Tanjungkarang Telukbetung dan DPRD Provinsi Lampung (1962-1971).

Pengalamannya di bidang pendidikan dimulai sejak mengajar pada SMA swasta di Jakarta (1954-1960), sebagai asisten/dosen hukum Islam, antropologi dan hukum adat pada Fakultas Hukum Unila (1962-1979), sebagai asisten/dosen sejarah kebudayaan Islam pada IAIN Raden Intan, Bandar Lampung (1965-1970), dan sebagai dosen sastra-budaya pada Fakultas Keguruan Unila (1970-1979).

Pengalaman di bidang penelitian hukum adat dimulainya sejak meneliti hukum tanah di daerah Lampung (1974-1976), meneliti adat-istiadat daerah Lampung (1977-1978) atas biaya Departemen P dan K. Selain penelitian atas biaya sendiri yang masih terus dilakukannya, ia juga sering mengikuti berbagai penataran, pertemuan ilmiah, simposium, dan seminar, serta ikut aktif memberikan nasihat hukum di muka pengadilan atau di luar pengadilan. Begitu pula mengenai penyelesaian sengketa adat dalam peradilan (perdamaian) adat.

Di samping karya tulisnya dalam bentuk diktat, brosur atau di media massa, karya tulisnya dalam bentuk buku diterbitkan oleh Alumni, Bandung, yaitu Hukum Perkawinan Adat (1977), Ensiklopedi Hukum  Adat dan Adat Budaya Indonesia (1977), Sejarah Hukum Adat Indonesia (1978), Hukum Pidana Adat (1979), Hukum Perjanjian Adat (1979), Hukum Waris Adat (1980), Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat (1980), dan Hukum Ketatanegaraan Adat (1981). Bukunya yang lain: Morfologi dan Sintaksis Bahasa Lampung (Pusat Bahasa, 1986), Bahasa Lampung (Fajar Agung, Jakarta, 1988), dan Kamus Bahasa Lampung (Mandar Maju, Bandung, 1994).

"Buku-buku yang saya tulis semuanya pasti ada warna Lampungnya. Saya ingin Lampung ikut mewarnai kebudayaan Indonesia. Bahkan, saya punya obsesi kalau bisa di Asia Tenggara," ujar peraih penghargaan Siger Emas bidang budaya dari Pemerintah Provinsi Lampung.

Ia mengisyaratkan perlunya libido erotik atau cinta budaya dalam membina kebudayaan daerah Lampung. "Tanpa libido maka pembinaan akan senasib dengan aksara Lampung pada papan-papan jalan yang timbul tenggelam," tulisnya dalam esai bertajuk "Membina Kebudayaan Daerah".

Sebelum 1950, ia aktif sebagai tentara dengan pangkat terakhir sersan mayor, tetapi kemudian berhenti untuk melanjutkan studi dan pindah ke Jakarta. Atas jasanya oleh negara ia dianugerahi Bintang Gerilya, Satya Lencana Clash I dan II.

Ketika berdomisili di Jakarta sebagai mahasiswa Universitas Nasional pada kurun waktu 1950-1960, ia bersama teman-temannya yang berasal dari Lampung, antara lain Sabdani Edri dan Zubaidah (Ny. Johansyah Makki), mendirikan grup band Perpil (Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia Lampung). Prof. Hilman sebagai vokalis dan penulis lirik lagu, Sabdani Edri sebagai gitaris, Zubaidah Makki sebagai penari latar. Lagu-lagu ciptaan Band Perpil sangat populer di lingkungan masyarakat Lampung. Misalnya, Tepui-Tepui, Ngeram, dan Pekon Sikam, yang diciptakan Hilman Hadikusuma di Bandung merupakan lagu pembukaan Band Perpil pada 1951.

Menurut Ensi Musik/Tari Daerah Lampung Jilid I (1977/1978) terbitan Kanwil Depdikbud Provinsi Lampung susunan Husin Sayuti dkk., lagu Tepui-Tepui dan Ngeram adalah A. Rizal. Namun, pada  buku berjudul sama Jilid II susunan Dulhai Tabahasa dkk. disebutkan  ciptaan Hilman Hadikusuma. Dalam surat pembacanya di Lampung Post, Abdoeh Pagaralam -- yang kuliah di Yogyakarta -- memberikan kesaksian bahwa lagu Tepui-Tepui adalah ciptaan Hilman Hadikusuma dkk. dari Band Pelpil, Jakarta. Menurut Abdoeh pula, lagu itu pernah dikumandangkan oleh Band Perpil Jakarta di Gedung Societeit Tanjungkarang (sekarang Kantor DHD Angkatan 45).

Iwan Nurdaya-Djafar pernah mengonfirmasi hal ini kepada Prof. Hilman dan ia menjawab bahwa lagu Tepui-Tepui memang dia yang menggubah liriknya, tetapi melodinya diciptakan Sabdani Edri dkk pada 1952 ketika mereka sama-sama kuliah di Jakarta. Begitu pula lagu Ngeram dan Pekon Sikam.

Hilman menerjemahkan Warahan Radin Jambat, yang naskahnya di peroleh dari peneliti Jepang Ny. Yoshi Yamazaki ketiak yang belakangan ini mengadakan penelitian di Lampung pada 1985-1986. Terjemahan tersebut kemudian disunting Iwan Nurdaya-Djafar dan diterbitkan oleh Dewan Kesenian Lampung bekerjasama dengan Penerbit Grafikatama Jaya, Januari 1995.

Hilman yang merupakan salah seorang pendiri Universitas Lampung dan IAIN Raden Intan ini terserang parkinson pada usia tuanya. n

Bukunya yang diterbitkan Pustaka LaBRAK:
* Warahan Radin Jambat (sebagai redaktur ahli, disunting Iwan Nurdaya-Djafar)