Kamis, 26 Desember 2013

Gerimis Tak Menyurutkan Diskusi Buku Tumi Mit Kota

Oleh Admin Lampungupdate

TAK banyak orang yang mengetahui bahwa Lampung kaya akan sastra. Pelbagai karya sastra, mulai dari puisi hingga novel, telah banyak diterbitkan oleh penulis-penulis Lampung. Dari sedemikian banyak pusi, novel, atau pun cerita pendek (cerpen) yang telah diterbitkan menggunakan bahasa Lampung. Bagi masyarakat Lampung, karya sastra berbahasa daerah, khususnya bahasa Lampung, masih asing untuk dibaca.

DISKUSI. Suasana Diskusi Buku Tumi Mit Kota karya Udo Z Karzi dan
Elly Dharmawanti di Lapa Kopi Lampung, Bandar Lampung, Minggu,
22 Desember 2013.
Namun, tetap ada penulis yang nekat menulis karya sastranya menggunakan bahasa Lampung. Ada Udo Z Karzi dan Elly Dharmawanti yang nekat menulis cerpen berbahasa Lampung. Mereka berdua menulis kumpulan cerita buntak (kumpulan cerpen, red) berjudul Tumi Mit Kota (Tumi Pergi ke Kota).

Untuk mengapresiasi Tumi Mit Kota, LampungUpdate bersama BebalahLeppung beberapa waktu lalu mengadakan diskusi buku di Lapa Kopi Lampung (22/12/13). Dalam diskusi buku ini, Udo Z Karzi dan Elly Dharmawanti dihadirkan untuk mendidkusikan isi kumpulan cerita buntak yang mereka tulis. Dalam diskusi buku tersebut, juga hadir masyarakat pecinta buku Lampung dan komunitas pecinta sastra Lampung.

Gerimis yang turun saat diskusi buku ini tidak menyurutkan diskusi trotoar yang terasa istimewa ini. Pertama, diskusi buku ini istimewa karena Lapa Kopi Lampung khusus buka pada saat diskusi, padahal biasanya mereka tutup setiap malam Senin. Kedua, diskusi ini istimewa karena dilakukan saat hari Ibu 22 Desember. Dan ketiga, diskusi ini terasa istimewa karena dihadiri pula Fitri Yani, penulis kumpulan puisi berjudul Suluh (juga berbahasa Lampung).

Dalam diskusi yang dimulai dari pukul delapan malam hingga pukul sebelas malam ini, para peserta diskusi menyambut baik kehadiran kumpulan cerpen Tumi Mit Kota. Mereka merasa buku kumpulan cerpen ini ini merupakan awal kebangkitan sastra berbahasa Lampung. Mereka juga merasa bahwa kumpulan cerpen Tumi Mit Kota dapat dijadikan media belajar bahasa Lampung. n

Sumber: Lampungupdate.com, Kamis, 26 Desember 2013

Selasa, 24 Desember 2013

Tumi Mit Kota Diminati Kalangan Muda

Oleh Wandi Barboy

BANDAR LAMPUNG (Lampost.co): Buku cerita buntak (cerpen berbahasa Lampung) Tumi Mit Kota yang ditulis Udo Z Karzi bersama Elly Dharmawanti kembali diminati kalangan muda dan komunitas sosial media lainnya.

Diskusi buku yang diterbitkan oleh Pustaka Labrak kembali digelar Lapa Kopi Lampung di pelataran Gerai Esia, Jalan Ahmad Yani, Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung, Minggu (22/12). Acara dengan suguhan kopi Robusta Liwa itu menarik sejumlah pengunjung yang terdiri dari lintas etnis.

Acara yang dimoderatori Rifky Indrawan, aktivis Jaringan Radio Komunitas Lampung (JRKL) itu berlangsung hangat dan terbuka bagi siapa saja. Saat hujan mulai turun, acara pun berpindah ke dalam gerai esia.

Udo mengungkapkan cerita Tumi Mit Kota (Tumi Pergi ke Kota) adalah kisah pribadi Udo saat menjalani kuliah kerja nyata (KKN) di Kecamatan Pesisir Selatan, Pesisir Barat. Tuminingsih, nama lengkapnya.

Menurut Udo, Tumi adalah seorang wanita Jawa yang mencintai budaya Lampung. Walau pun dia Jawa, rasa kecintaannya terhadap budaya Lampung tidak diragukan lagi. Atas dasar itulah, Udo menuliskan cerita Tumi Mit Kota. Tumi sendiri, bagi Udo, selain diangkat dari sosok Tuminingsih, adalah juga merupakan suku asli Lampung di wilayah pesisir.

Udo sendiri memuat tujuh cerbun dalam buku ini. Sementara, Elly membuat enam cerpen. Menurut Udo dan Elly, dari buku ini mereka ingin mengakrabkan dirinya dengan pembaca Lampung yang berbeda-beda. Karena itu, bahasa Lampung yang berbeda antara Udo maupun Elly tetap dipertahankan apa adanya sesuai lisan penuturnya. "Tumi itu sekilas identik dengan Jawa. Namun, sangat melampung. Karena itu, mengapa orang Lampung malu dengan budayanya sendiri," kata Elly.

Elly Dharmawanti juga merespon pelajar di Liwa yang mempertanyakan mengapa mereka berdua mau menerbitkan buku berbahasa Lampung, apalagi cerpen yang terbatas segmentasinya. Menurut Elly, dari buku ini dia berharap orang Lampung harus berani mengungkapkan apa yang memang menjadi bahasa penutur masing-masing. n

Sumber: Lampost.co, Rabu, 24 Desember 2013

Minggu, 22 Desember 2013

Tumi Disambut Hangat Siswa di Liwa

Oleh Dian Wahyu Kusuma


Sambutan hangat siswa-siswi di Liwa terhadap kumpulan cerita buntak (cerpen berbahasa Indonesia) Tumi Mit Kota karya Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti, semoga menjadi pertanda bagus bagi perkembangan sastra (berbahasa) Lampung.  

CERBUN Tumi Mit Kota terasa simbolik karena ini bisa ditafsirkan bermacam-macam. Kalau membaca cerbun ini, Tumi atau nama lengkapnya Tuminingsih adalah seorang gadis remaja beretnis Jawa yang sangat menjiwai bahasa dan kultur Lampung. Hanya saja ia tak bisa melawan kecenderungan umum untuk urbanisasi.

Dari sisi sejarah, Buay Tumi merupakan suku asal orang Lampung. Setidaknya suku inilah yang dipercaya membangun Kerajaan Skala Brak di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. "Bahkan di Malaysia kabarnya ada Toko Tumi. Sehingga bagi saya Tumi itu mempunyai multimakna dan asyik didengar. Karena itu judul ini yang dipilih," kata Udo Z. Karzi, salah satu penulis dalam Peluncuran dan Diskusi Buku Tumi Mit Kota di SMAN 2 Liwa, Lampung Barat, Kamis (19/12).

Elly Dharmawanti menambahkan Tumi itu panggilan mesra Tuminingsih. Tumi itu orang Jawa asli tinggal di Lampung dan sudah melampung. "Ini sindiran, banyak orang Lampung malu berbahasa Lampung. Apalagi kalau sudah di kota, penggunaan bahasa lampung sudah mulai pupus."

Dalam cerbun Pancoran Pitu, Elly berkisah tentang pancuran tujuh di Kecamatan Batubrak, Lampung Barat. Konon, kalau mandi di pancuran ini akan membuat gadis cantik. Kisahnya dulu pancuran itu adalah tempat pemandian putri Kerajaan Skala Brak. Sampai suatu ketika kekeringan melanda yang membuat masyarakat kesulitan mendapatkan air.

Akhirnya, pancuran tujuh itu dibebaskan untuk dimanfaatkan untuk masyarakat. Sekarang, pancuran itu sudah dibangun dan dibuat undakan agar masyakat di situ mudah menggunakannnya.

Ide cerita ini didapat Elly yang fasilitator Kecamatan PNPM di Pesisir Selatan yang kebetulan sedang ada bekerja di Batubrak, Lampung Barat. "Tebersit di pikirannya untuk membuat cerita tentang kepercayaan warga setempat. Saat itu sedang ada perbaikan pancuran pitu. Mau awet muda, sehat, bisa mandi di situ,” kata perempuan alumnus ilmu komunikasi Universitas Tulangbawang ini.

***

Elly sering menulis cerpen di Lampung Post. Udo Karzi mengaku tidak pernah bertemu langsung dengan Elly, hanya berkomunikasi melalui dunia maya saja. Sampai kemudian terbetik keinginan untuk membukukan cerpen-cerpen Elly yang bernuansa lokal dan kuat secara kultural. "Kami kemudian berkolaborasi menerbitkan buku kumpulan cerbun ini," ujar Elly.

Buku yang diterbitkan Pustaka Labrak, Bandar Lampung ini, kata Udo, sangat cocok dibaca siswa SMP dan SMA. "Buku ini bisa menjadi stimulan bagi kalian. Siapa tahu nanti juga menulis karya sastra berbahasa Lampung. Kenapa tidak. Daerah ini sangat potensial bagi siswa karena adat budaya sini sangat kental," kata Duta Suhanda, yang memoderatori acara ini.

Kalau di sekolah, menurut Duta, penggunaan karya berbahasa Lampung bisa saja dimulai dari majalah dinding (mading). Selanjutnya bisa dikembangkan dengan menulis di blog atau bahkan mengirim ke media cetak dan diterbitkan menjadi buku. "Enggak apa-apa kalau ada ide membukukan cerbun karya siswa-siswa SMAN 2 Liwa," ujarnya.

Peserta peluncuran dan diskusi buku sempat dihibur oleh Yogi Sasongko, siswa kelas X SMAN 2 Liwa yang sempat menjadi juara dua Lomba Solo Song se-Kabupaten Lampung Barat.

Kepala SMAN 2 Liwa Haikan menyatakan kegembiraan dan merasa terhormat mendapat tempat peluncuran dan diskusi buku ini. "Semoga ini bisa memberikan motivasi bagi siswa kami. Meskipun sekolah ini baru berdiri pada 2010, beberapa prestasi telah ditorehkan pelajar. Diskusi buku ini sangat penting untuk meningkatkan apresiasi dan bakat sastra siswa," ujarnya.

***

Akhirnya, Tumi Mit Kota diharapkan menjadi penyemangat bagi semua, siswa-siswa terutama, untuk mengembangkan bahasa, sastra, dan budaya Lampung. Sebab, penerbitan buku berbahasa Lampung seperti diakui Udo, menjadi penting bagi upaya penyelamatan, pelestarian, dan pemberdayaan tamadun Lampung.

Sedikitnya peminat bahasa-budaya Lampung harus menjadi tantangan. "Saya sempat kapok menerbitkan buku berbahasa Lampung. Dikritik habis dan tidak laku. Tapi pekerjaan ini, menulis dan menerbitkan buku berbahasa Lampung, tidak boleh berhenti. Ini sudah menjadi tugas sejarah yang tidak boleh diabaikan." (P2)

dianwahyu@lampungpost.co.id

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Desember 2013

Jumat, 20 Desember 2013

Diskusi Buku Tumi Mit Kota

DATANG YA. Setelah di Liwa pada Kamis, 19 Desember 2013, Buku Kumpulan Cerita Buntak Tumi Mit Kota karya Udo Z Karzi dan Elly Dharmawanti akan diobrolin
di Lapa Kopi at Esia Jl. A. Yani (depan Gerai Esia)
pada Minggu, 22 Desember 2013
pukul 19.00-21.00
Acara ini diselenggarakan oleh Bebalah Leppung dan Lampung Update serta didukung oleh Bincang Buku Lampost (BBL) dan LapaKopi.

Kamis, 19 Desember 2013

Tumi Mit Kota dan Seterusnya

Oleh Hardi Hamzah


KEHADIRAN sebuah cerita pendek, biasanya berpangkal tolak dari narasi yang digali dari kebudayaan lokal, dengan sekuat-kuatnya menyusun kosakata agar yang membacanya bisa merasakan, buku juga bisa empuk, renyah, dan enak dibaca, meskipun dalam bahasa daerah. Itulah sebabnya, cerpen acap bereksistensi fiksi realitas.

Fiksi realitas dimaksudkan untuk menggambarkan sentuhan kesenyawaan antara pembaca dan pengarangnya. Tentu akan lebih menarik lagi apabila sentuhan realitas itu diangkat dari kisah nyata. Begitulah agaknya Zulkarnain Zubairi atau yang lebih akrab dengan Udo Z. Karzi menampilkan cerpen ini ke publik bersama rekannya Elly Dharmawanti berjudul Tumi Mit Kota, Kumpulan Cerita Buntak.

Buku setebal 74 halaman terbitan Pustaka Labrak 2013 ini adalah buku cerita bersambung (cerbung) kedua setelah Cerita-cerita jak Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami (2009). Selain kembali mengisi khazanah kesusasteraan Lampung, Udo dan rekannya memproyeksikan suatu persenyawaan ketokohan Tuminingsih (Tumi). Dengan bahasa yang naratif lewat realitas eksistensi fiktif-realitas tadi. Ada semacam kesamaan semangat ketika kita membaca buku tebalnya Sutan Takdir Alisyahbana, Grotta Azura, atau trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari.

Kendati harap dicatat deskripsi itu tidak terhalusinasi secara sigap, selain karena setingnya yang berbeda, dialog dalam nuansa renungan seorang Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti telah melahirkan diskursus baru bagi horison kelampungan dalam bentuk cerita pendek. Ya, namanya juga cerita pendek. Pendek ceritanya, tetapi sarat dengan hakikat hidup bagi upaya menguatkan semangat kultural edukatif dalam koridor kesusasteraan Lampung khususnya.

Artinya, pola dasar yang dibangun dalam buku berjudul Tumi Mit Kota ini, telah mencoba menggarap kreativitas umum agar setidaknya kita tidak merasa lelah, apalagi cuek terhadap kesusasteraan Lampung. Pada titik ini, kita disadarkan tidak mudah memperkaya nalar dalam kosakata Lampung secara dinamis. Inilah hidup kesenyawaan yang sedapat-dapatnya menggoda batin kita untuk bereaksi keras, siapa mau mengolah kata untuk memaksakan diri merajut sintesis dari daerah yang multibahasa ini.

Itulah kemudian, bila kita tengok satu persatu, merenda narasi tidak semudah yang disangka bila taplak meja kesusasteraannya penuh dengan kronik penggal-penggal bahasa yang sukar dirajut untuk utuh. Mari kita tengok, semisal pada halaman 57—59 yang bertitel Cengkelang. Kekuatan bahasa lebih dirasionalisasikan pada gugusan yang terpencar, meskipun ini mengingatkan kita pada premis yang diintrodusi Karl May lewat Wineteou sekian abad lampau.

Spektrum berikutnya yang patut diaktualisasikan adalah kesadaran untuk Udo Z. Karzi menggelindingkan lompatan bahasa, yang membawa kita secara strategis mampu merefleksikan cerpen ini dengan nuansa, bahwa bahasa Lampung itu tidak mudah. Ketika nalar kita didinamisasi oleh penulisnya pada halaman 61—66 yang bertutur tentang  Di Simpang Renglaya. Di Simpang Ranglaya yang berarti di simpang jalan terpaut refleksi dramaturgi yang berani, walaupun nyeleneh. Pun, anehnya nyeleneh itu menjadi term-term tersendiri atas nama perspektif romantisme.

Oleh karena itu, bila premis-premis cerita pendek yang berbahasa Lampung ini diaktualisasikan dan disosialisasikan dalam idiom yang penataan kosakata bahasanya lebih ngepop, personifikasi sosok yang akan ditonjolkan, dus akan memasuki wilayah pemikiran pembaca. Dalam konteks yang lebih luas, Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti dalam cerpen ini kiranya akan membuka peluang agar jarak antara tokoh personal menjadi bagian dari semangat inpersonal (baca: pembaca buku ini).

Atmosfir apa yang kemudian akan kita gali dari cerpen yang terbilang pendek ini, mungkin sekali atmosfir itu dapat dibaca dari kelonggaran penulisnya untuk memberi peluang agar kita mampu membuka wilayah transformasi positif, bahasa Lampung bila telah masuk di wilayah cerita pendek, dus bisa lebih mudah dipahami, tanpa harus mengernyitkan dahi.

Ini karena cerita pendek yang kata penulisnya adalah kisah nyata, benar-benar mampu memetamorfosiskan antara kosakata dalam diskursus baru kesusasteraan populer, teristimewa bila kita kaitkan dengan betapa sedikitnya cerita pendek berbahasa Lampung yang notabene telah terampas oleh liberilasasi sastra dalam konteks deviasi (penyimpangan) semantik.

Lalu, mau tidak mau, seyogianya kita acungkan dulu jari telunjuk untuk Udo Z. Karzi dkk. yang selalu menggawangi tiang goal kelampungan dengan tidak jenuh-jenuhnya, sesudah itu barulah dua jempol kita acungkan kalau interesant kelampungan ini terus-menerus digaulinya secara lebih baik, melalui kekayaan khazanah kebudayaan secara sustainable.

Teruskan perjuanganmu Udo, sampai kita sebagai orang Lampung mampu tampil dalam bentuknya yang utuh dan diperhitungkan di tingkat nasional, regional dan internasional, meskipun kita selalu dihadapkan oleh problematika hegemoni kekuasaan yang cuek dan hanya menjadikan budaya Lampung sebagai instrumen, yang terasa nyeri di atas prospek yang tidak pernah dipetakan oleh penguasa di daerah ini. n

Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation


Sumber: Lampung Post, Kamis, 19 Desember 2013

Senin, 16 Desember 2013

Iwan Nurdaya-Djafar

Lahir di Tanjungkarang, Lampung, 14 Maret 1959. Dikenal sebagai penyair, esais, cerpenis, penulis artikel dan buku serta penerjemah. Pendiri Dewan Kesenian Lampung ini termasuk salah satu di antara seratur orang Lampung yang terpilih oleh Harian Umum Lampung Post pada 2008 untuk dimuat dalam buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung.

Dia menulis untuk sejumlah surat kabar dan majalah seperti Horison, Amanah, Sarinah, Forum Keadilan, Ulumul Quran, Republika, Media Indonesia, Lampung Post, dan Pikiran Rakyat. Kumpulan puisinya bertajuk Seratus Sajak (Fajar Agung, Jakarta), Cerita dari Hutan Bakau (Trubus, Jakarta), bersama Dr. Todung Mulya Lubis menulis buku Hukum dan Susastra (Pustaka, Bandung). Menerjemahkan prosa lirik Kahlil Gibran berjudul Bagi Sahabatku yang Tertindas, Airmata dan Senyuman, Kematian Sebuah Bangsa, dan Sang Nabi -- keempatnya diterbitkan oleh Bentang Budaya, Yogyakarta. Terjemahannya Kakbah Pusat Dunia: Sebuah Mukjizat Ilmiah (The Ka'ba is the Center of the World) karya Saad Muhammad al-Marsafy diterbitkan Ilagaligo Publisher (2011).

Karl Marx: Nabi Kaum Proletar adalah terjemahannnya atas biografi ringkas Karl Marx karya F. Stepanova yang diterbitkan oleh Mata Angin, Yogyakarta. Karya terjemahannya: Tipologi: Sebuah Pendekatan untuk Memahami Islam karya Ali Syariati dan novel Hidup, Cinta dan Petualangan Omar Khayam karya Manuel Komroff diterbitkan Grafikatama, Jakarta.

Menerjemahkan bigrafi Obama: Promise of Change (Obama: Sebuah Janji Perubahan) karya David Mendell dan Yes We Can: A Biography of Barack Obama karya Garen Thomas serta menulis buku tentang Obama berjudul Bianglala Obama. Juga, menyunting karya sastra Lampung klasik Warahan Radin Jambat dan Tetimbai Dayang Rindu yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Lampung.

Iwan menyimpan banyak manuskrip terjemahan yang belum diterbitkan seperti Perselingkuhan di Surga: Dekonstruksi atas Seberkas Terjemah dab Tafsir Ayat Al-Quran; novel The Martian Chronicles (Serangkaian Peristiwa di Planet Mars) dan Now and Forever karya Ray Bradbury; Man from the East (Lelaki dari Timur) karya Dr Mohsen El-Guindi, Sutra River (Sungai Sutra) karya Gita Mehta, Vita Sexualis karya Ogai Mori, Pedro Paramo karya Juan Rulfo, Amu karya Shonali Bose, A Thousand Rooms of Dream and Fear karya Atiq Rahimi, Buying a Fisihing Rod for My Grandfather karya Gao Xingjian, The Attack karya Yasmina Khadra, dan The Sonnets karya William Shakespeare. Juga menerjemahkan Islam pada Abad Keduapuluh-satu (What Do Muslim Believe) karya Ziauddin Sardar, Senandung Kecil Geisha karya Liza Dalby, No Room for Terrorism in Islam dan Paradise: The Believers' Real Home karya Harun Yahya. Dia juga telah selesai menerjemahkan A New Approach to the Study of the Quran karya Dr Hasanuddin Ahmed, Rubaiyat dan Masnawi karya Jalaluddin Rumi, Seratus Puisi Kabir, kumpulan puisi Rabindranath Tagore, puisi klasik Jepang, dan entah apa lagi..

Iwan juga menulis buku Sastra Lampung Klasik, Leksikon Sastra Lampung, Pepatah-petitih Lampung (meliputi koleksi OL Helfrich dalam Lampongsce Raadsels, Spreekwoorden en Spreekwijzen).

Dari istrinya Cut Hilda Rina, Iwan dikaruniai dua putri: Rabia Edra Almira dan Selma Ilafi Alzahra. Bersama keluarganya dia berdomisili di Bandar Lampung dan bekerja sebagaio pegawai negeri sipil. n

Bukunya yang diterbitkan Pustaka LaBRAK:
* Warahan Radin Jambat (penyunting)

Kontributor untuk: Rumah Berwarna Kunyit' (2015)

Minggu, 15 Desember 2013

Pustaka Labrak Terbitkan Buku Cerpen Berbahasa Lampung

BANDARLAMPUNG (Lampost.co): Pustaka Labrak menerbitkan buku kumpulan cerita pendek (cerpen) berbahasa Lampung. Kumpulan cerita buntak (Bahasa Lampung cerpen) yang diberi judul Tumi Mit Kota itu ditulis oleh Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti.

Peluncuran buku pertama cerpen berbahasa Lampung itu akan digelar dan didiskusikan di SMA Negeri 2 Liwa, Lampung Barat, pada Kamis (19/2).

Kepala SMAN 2 Liwa Haikan menyambut baik acara yang digagas Organisasi Siswa Instra Sekolah (OSIS) SMAN 2 Liwa ini. "Buku kumpulan cerbun Tumi Mit Kota ini memang perlu diapresiasi karena selain bahasanya bahasa Lampung, isinya banyak mengambil latar daerah Lampung Barat dan Pesisir Barat," ujarnya.

Sedangkan Elly Dharmawanti, salah satu penulis buku ini menyatakan kegembiraannya atas sambutan siswa-siswi di Liwa. Acara ini terselenggara atas kerjasama dari berbagai pihak antara lain Kepala SMAN 2 Liwa, Pembina OSIS Trino Wijaya, Ketua OSIS Dian Yusuf, dan Duta Suhanda dari Radio Mahameru, Liwa.

Kumpulan cerbun Tumi Mit Kota yang diterbitkan Pustaka Labrak, Bandar Lampung berisi 13 cerpen Elly Dharmawanti dan Udo Z. Karzi. Judul buku ini diambil dari judul cerpen bertitel sama dari Udo Z. Karzi.

Menurut redaktur Penerbit Pustaka Labrak, Udo Z. Karzi, judul diambil karena paling tidak cerpen ini menggambarkan kondisi kontemporer masyarakat Lampung terkait dengan orientasi hidup, pergeseran tatanan sosiobudaya, dan kecenderungan urbanisasi di antara warga Lampung.

Alasan lain, kata Udo Z. Karzi, ada proses inkulturasi dalam diri Tumi (Tuminingsih), yang namanya dekat dengan kultur Jawa dan memang beretnis Jawa, tetapi sudah menjadi gadis Lampung benar. "Inilah yang seharusnya terjadi alih-alih marginalisasi bahasa-budaya Lampung di rumahnya sendiri," kata Udo.

Alasan ketiga, menurut Udo, jika membaca-baca sejarah, rupanya Buay Tumi atau Suku Tumi adalah nenek moyang orang Lampung. "Keempat dan seterusnya… cerbun ini bagus seperti juga cerbun-cerbun lain di buku ini, " ujarnya berseloroh

Kisah-kisah dalam buku ini membaurkan suasana laut dan pegunungan, sesekali kondisi kehidupan urban; juga ketegangan antara masa lalu dan kekinian. Dengan setting khas budaya yang khas, kedua cerpenis menuturkan ulun Lampung berikut filosofi hidup mereka dan kepiawaian mereka mengatasi problema kehidupan.

Dibandingkan dengan sastra Sunda, Jawa, dan Bali, perkembangan sastra Lampung memang kalah jauh. Betapa langkanya buku bacaan berbahasa Lampung. Padahal ini penting bagi pelestarian, pemberdayaan, dan pengembangan bahasa dan sastra Lampung.

Seharusnya setiap tahun ada buku berbahasa Lampung terbit, walau satu-dua judul. Apalagi sastra Lampung pernah mendaparkan Hadiah Sastra Rancage pada 2008 dan 2010.

Sudah lama tidak terbit buku sastra berbahasa Lampung. Terakhir, tahun 2011, terbit dua: novel Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda (diterbitkan BE Press) dan karya klasik Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya-Djafar dan redaktur ahlini Hilman Hadikusuma (diterbitkan Pustaka LaBRAK).

"Oleh karena itu terbitnya terbitnya kembali buku sastra Lampung ini patut kita sambut dengan gembira," ujar Udo. n

Laporan: Insan Ares P.
Editor : Kristianto

Sumber: Lampost.co, Minggu, 15 Desember 2013

Kamis, 12 Desember 2013

Buku Cerpen Berbahasa Lampung Diluncurkan di Liwa

Oleh Budisantoso Budiman


Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - Buku kumpulan cerita buntak (cerpen berbahasa Lampung) berjudul "Tumi Mit Kota" karya Udo Z Karzi dan Elly Dharmawanti akan diluncurkan dan didiskusikan di SMA Negeri 2 Liwa Kabupaten Lampung Barat.

Buku Cerpen berbahasa Lampung "Tumi Mit Kota" karya Udo Z Karzi dan
Elly Dharmawanti yang segera diluncurkan di Liwa, Lampung Barat.
(Foto: ANTARA LAMPUNG/Dok. Ist)
Kepala SMAN 2 Liwa Haikan dalam penjelasannya dari Liwa, Lampung Barat, Kamis (12/12), menyambut baik acara yang digagas Organisasi Siswa Instra Sekolah (OSIS) SMAN 2 Liwa ini.

"Buku kumpulan cerita buntak `Tumi Mit Kota` ini memang perlu diapresiasi karena selain menggunakan bahasa Lampung, isinya banyak mengambil latar daerah Lampung Barat dan Pesisir Barat," ujarnya pula.

Sedangkan Elly Dharmawanti, salah satu penulis buku ini menyatakan kegembiraannya atas sambutan siswa-siswi di Liwa.

Acara pada Kamis (19/12) ini terselenggara atas kerja sama dengan berbagai pihak, antara lain Kepala SMAN 2 Liwa, Pembina OSIS Trino Wijaya, Ketua OSIS Dian Yusuf, dan Duta Suhanda dari Radio Mahameru, Liwa.

Kumpulan cerbun `Tumi Mit Kota` yang diterbitkan Pustaka Labrak, Bandarlampung berisikan 13 cerpen Elly Dharmawanti dan Udo Z Karzi.

Judul buku ini diambil dari judul cerpen bertitel sama dari Udo Z Karzi.

Menurut Udo yang nama aslinya Zulkarnain Zubairi, redaktur Harian Umum Lampung Post, judul itu diambil karena paling tidak cerpen ini menggambarkan kondisi kontemporer masyarakat Lampung terkait dengan orientasi hidup, pergeseran tatanan sosiobudaya, dan kecenderungan urbanisasi di antara warga Lampung.

Alasan lainnya, ujarnya, ada proses inkulturasi dalam diri Tumi (Tuminingsih), yang namanya dekat dengan kultur Jawa dan memang beretnis Jawa, tetapi sudah menjadi gadis Lampung benar.

"Inilah yang seharusnya terjadi, alih-alih marginalisasi bahasa-budaya Lampung di rumahnya sendiri," kata Udo pula.

Alasan ketiga, katanya lagi, membaca-baca sejarah, rupanya Buay Tumi atau Suku Tumi adalah nenek moyang orang Lampung.

Keempat dan seterusnya, ujarnya pula, "Cerpen ini bagus. Kisah-kisah dalam buku ini membaurkan suasana laut dan pegunungan, sesekali kondisi kehidupan urban; juga ketegangan antara masa lalu dan kekinian."

Dengan setting budaya yang khas, kedua cerpenis menuturkan ulun Lampung berikut filosofi hidup mereka dan kepiawaian mereka mengatasi problema kehidupan.

Dibandingkan dengan sastra Sunda, Jawa, dan Bali, Udo mengakui, perkembangan sastra Lampung memang kalah jauh.

"Betapa langkanya buku bacaan berbahasa Lampung. Padahal ini penting bagi pelestarian, pemberdayaan, dan pengembangan bahasa dan sastra Lampung," ujarnya lagi.

Seharusnya, ujar dia, setiap tahun ada buku berbahasa Lampung terbit, walau satu-dua judul.

Apalagi sastra Lampung pernah mendaparkan Hadiah Sastra Rancage pada 2008 dan 2010. Sudah lama tidak terbit buku sastra berbahasa Lampung.

Terakhir, tahun 2011, terbit dua novel "Radin Inten II" karya Rudi Suhaimi Kalianda (diterbitkan BE Press), dan karya klasik "Warahan Radin Jambat" suntingan Iwan Nurdaya-Djafar dan redaktur ahli Hilman Hadikusuma (diterbitkan Pustaka LaBRAK).

Karena itu, terbitnya kembali buku sastra Lampung ini patut kita sambut dengan gembira, ujar Udo Z Karzi pula. n

Sumber: Antara, Kamis, 12 Desember 2013


Sabtu, 07 Desember 2013

Ahmad Syafei Pujangga Lambar

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar


Ahmad Syafei
DALAM Festival Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan SMAN 1 Liwa di aula sekolah tersebut, Jumat (22/11), Udo Z. Karzi membawakan materi bertema Jejak Literasi Liwa. Sejauh yang terbetik dalam berita bertajuk Siswa Lambar Bisa Suburkan Tradisi Literer yang dimuat harian ini (25/11), Udo mengusut tradisi literer di Lampung Barat yang sudah dimulai sejak abad ke-8.

Selain itu, Udo menyebut sejumlah penulis, baik yang berasal dari Lampung Barat umumnya dan Liwa khususnya maupun penulis lain yang menulis tentang Lampung Barat semisal Sutan Takdir Alisjahbana lewat novelnya Layar Terkembang (1936) dan J. Patullo yang menulis laporan perjalanan ke Danau Ranau pada 1820.

Para penulis asal Lambar yang disebut Udo, antara lain Haji Sulaiman Rasyid bin Lasa, Rais Latif, M. Harya Ramdhoni, Arief Mahya, Sazli Rais, Lincoln Arsyad, Imron Nasri, Z.A. Mathikha Dewa, Udo Z. Karzi, dan Fitri Yani.

Begitupun pada epigram Liwa-Krui dalam rubrik Nuansa di harian ini (25/11), Udo hanya mengutip jejak literer tentang betapa eksotiknya jalan yang menghubungkan Liwa dan Krui yang termaktub pada halaman 41 novel Layar Terkembang St. Takdir Alisjahbana.

Dari senarai nama yang disebutkan tadi, ada satu nama yang justru tidak disebutkan Udo, yaitu Ahmad Syafei. Hemat saya, beliau pantas dicatat sebagai pujangga Lampung Barat. Beliau pernah menjadi Pesirah Belunguh Kenali pada zaman Belanda sewaktu terjadi gempa besar di Liwa pada 1933.

Peristiwa bencana alam ini kemudian dituangkannya dalam bentuk puisi Lampung wayak bertitel Kukuk Kedok 1933 (Gempa Besar 1933) sepanjang 137 bait yang ditulisnya 32 tahun kemudian dan sebagian daripadanya pernah disiarkan Lampung Post pada 1986. Syafei pernah pula bertugas sebagai tentara pada masa kemerdekaan.

Selanjutnya, menjadi pegawai negeri sipil yang bertugas di Kotabumi dan Metro. Nama lengkapnya Ahmad Syafei gelar Sutan Ratu Pekulun. Beliau wafat pada 1981 dan dikebumikan di Kenali, tanah kelahirannya.

Karya sastranya yang lain berupa wayak sepanjang 65 bait, hahiwang, dan mengoleksi 51 pepatah Lampung. Bakat lainnya adalah pandai membuat nyanyian Lampung Belalau bergaya populer, paling tidak telah menciptakan sebanyak 33 nyanyian. Hobinya yang lain adalah fotografi, antara lain pernah memotret Gunung Bata di Suwoh sebelum gunung tersebut meletus dan karenanya memiliki nilai historis dan dokumental.

Kukuk Kedok 1933

Kukuk Kedok 1933 (Gempa Besar 1933) adalah syair panjang dalam bahasa Lampung berdialek A. Syair terdiri atas 137 bait ini isinya mengisahkan pengalamannya semasa gempa yang melanda kampung halamannya, Kenali, Lampung Barat, pada 25 Juni 1933. Inilah gempa pertama yang meluluhlantakkan Lampung Barat, yang kemudian terulang kembali pada 16 Februari 1994.

Syair yang tersusun atas empat baris pada tiap baitnya dan bersajak a-b-a-b ini tidak ditulis segera setelah peristiwa gempa itu terjadi, melainkan sekitar 32 tahun setelah peristiwa mengerikan itu berlangsung. Persisnya pada 3 April 1965 dan diketik ulang pada 1970-an, seperti dituturkan putra tertuanya M. Yusuf Effendie.

Tidak jelas apakah titimangsa 3 April itu mengisyaratkan syair sepanjang itu diubah hanya dalam tempo satu malam, atau mengisyaratkan tanggal diselesaikannya penulisan syair itu.

Yang jelas saat itu Ahmad Syafei bertugas pada Pemerintah Daerah Tingkat II Lampung Tengah di Metro. Syair ini ditemukan oleh putra tertuanya, M. Yusuf Effendi, 61 tahun, ketika membuka-buka arsip peninggalan orang tuanya selama dua hari pada Maret 1994.

M. Yusuf Effendie, yang berdomisili di Jalan Imam Bonjol No. 173 Bandar Lampung, itu tergerak untuk membuka-buka arsip itu disebabkan gempa bumi di tempat yang sama kembali terjadi pada 16 Februari 1994.

Ahmad Syafei rupanya menaruh perhatian besar terhadap peristiwa yang amat membekas dalam hidupnya itu?seperti dituturkan putra tertuanya?karena, selain merekamnya dalam bentuk karya sastra, dia pun mengabadikannya dalam wujud sejumlah potret.

Bahkan, sebagai seorang pesirah, dia pun turun langsung menolong para korban gempa sehingga mendapat penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda ketika itu.

Kuku Kedok 1933 ditulis karena dorongan rasa rindunya akan kampung halaman. Dalam bait 1?13 yang berfungsi semacam pengantar, dituturkan inspirasi untuk menulis syair itu muncul ketika cuaca di Metro sangat gerah. Saat itu, sekitar pukul 21.00, ia duduk-duduk di bawah pohon ceri di halaman rumahnya.

Pada malam nan sunyi itu, sayup-sayup terdengar suara orang mengaji dari arah depan rumahnya dan tiga becak melintas. Dari momen-momen puitis serupa itulah terbetik kerinduan Ahmad Syafei akan kampung halamannya.

Demikianlah, demi melepaskan kerinduannya, dia tuliskan kenangan tentang kampung halamannya yang hancur terlanda gempa bumi, dan itu sekaligus berarti kesaksiannya atas peristiwa gempa besar 1933 itu. Sebuah kesaksian puitis!

Berikut kami kutip enam bait dari wayak sepanjang 137 bait itu beserta terjemahannya. Bait 13: Ngelebonkon jak lom dada/rasa susah nih hati/nyak nulis cerita/satemon nihan terjadi (Demi menghilangkan dari dada/rasa susah di hati/kutulis ini cerita/benar ini terjadi). Bait 15: Di tahun 33 di bulan Juni/kira-kira pukul lima/mawat ti sangka-sangka/menginjok unyin bumi (Di tahun 33 pada bulan Juni/kira-kira pukul lima pagi/tiada disangka-sangka/bergoyang seluruh bumi). Bait 16: Selagi manusia pedom/luluk sunyi ni/mawat ti sangka-sangka/menginjok unyin bumi (Senyampang manusia tidur/sedemikian sunyinya/tiada disangka-sangka/berguncang seluruh bumi).

Bait 17: Ya Allah ya Robanna/kukuk kedok kirani/minjak radu ticuba/tebanting di unggak resi (Ya Allah ya Rabbi/gempa kuat kiranya/mencoba bangkit dari tidur/terbanting ke tikar tapi). Bait 18: Dunia rasa gamba/rasa diungggak sekoci/ngaliwat Tanjung Cina/lebih gawoh hunjak ni (Dunia sepantun gamang/serasa di atas sampan/yang mengarungi Tanjung China/dan gempa lebih dahsyat lagi). Bait 19: Nyak rangka niat beranda/melegoh haga mati/mak mudah nyak sangka/gegoh lapah di ruwi (Diri merangkak berniat ke beranda/perlahan seolah mau mati/tak semudah yang kusangka/bak jalan di atas duri).

Nyanyian

Dari 33 nyanyian yang diubahnya dalam bahasa Lampung berdialek A, salah satunya bertutur tentang kerinduan akan kampung halamannya, yaitu Kenali, yang dijadikan judul lagu yang diciptakannya di Kotabumi, 21 September 1973. Berikut kami kutip lirik lagu itu beserta terjemahannya.

Kenali senangun mak keliru/di isan pekonku/rang ni hulun tuhaku/kenali? lajuan kak jak baru/pekon mebalak telu/hinno Kenali ku//hawa segar mengison/kebun kopi melamon/muli-muli buhilok/ngebatok hati lahok/merisok nyak kundur mengan/kak Kenali dilom ingo'an (Kenali memang tidak keliru/di sana kampung halamanku/tempat orang tuaku/Kenali terusan jalan baru/kampung besar tiga/itu Kenaliku//hawa segar nan dingin/kebun kopi yang banyak/gadis-gadis telanjang/membuat hati hancur/kerap hilang selera makanku/saat Kenali dalam ingatan).

Selain menulis puisi dan menggubah lagu, beliau juga pandai menggambar sketsa seperti terlihat pada halaman-halaman manuskripnya.

Demikianlah, Ahmad Syafei tak pelak adalah sosok seniman berbakat rangkap. Beliau adalah sastrawan, pengubah lagu, pelukis sketsa, sekaligus fotografer. Dengan kapasitas kesenimanan sedemikian ini, kiranya pantas dicatat dan beroleh tempat sebagai pujangga dari Lampung Barat.

Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan


Dimuat di Lampung Post, Sabtu, 7 Desember 2013

Kamis, 05 Desember 2013

Tumi Mit Kota


Judul buku: Tumi Mit Kota
Penulis: Udo Z. Karzi & Elly Dharmawanti
Penerbit: Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung
Cetakan: I, November 2013
Tebal: x + 85 hlm.
ISBN: 978-602-96731-3-5

Niku aga mit kota, Tum. Cadang atiku. Kidang nyak mak dapok api-api. Rupani, rencaka seno adu mesaka.
Adu dibi, nyak musti imul. Taganko nyak ngelupako sakikni atiku pakai yosni Way Biha.
……..

Tumi Mit Kota
, cerbun inji paling mawat ngegambarko kondisi ulun Lampung tanno tekait jama orientasi urik,pergeseran tatanan sosiobudaya, rik kecenderungan urbanisasi di hantara jelma Lampung kelamonan. Keruwa, wat proses inkulturasi delom dirini Tumi (Tuminingsih), sai gelarni sangon meredik jama kultur Jawa rik sangon beretnis Jawa, kidang adu jadi muli lampung nihan. Injilah mustini sai terjadi. Kidang nyatani wat marginalisasi bahasa-budaya Lampung di lambanni tenggalan. Ketelu, ngebebaca sejarah, rupani Buay Tumi atawa suku Tumi yaddo dia tuyuk turingni ulun Lampung. Keepak rik seterusni… cerbun mehelau…

Wat 13 cerbun -- 6 cerbunni Elly Dharmawanti rik 7 cerbunni Udo Z. Karzi – delom buku inji. Kisah-kisah delom buku inji ngelaworko suasana wilayah lawok rik gunung, sesekali muneh mit kota; daleh ketegangan hantara sekeji rik tanno. Makai setting budaya sai khas, sai nulis ngewarahko ulun Lampung jama filosofi urikni tian rik kemunalomanni tian ngelapahi problema kehurikan. n

Minggu, 01 Desember 2013

Elly Dharmawanti

JIKA di KTP dan surat-surat penting lainnya tertera Eli Darmawanti. Tapi dia lebih suka menulis Elly Dharmawanti. Ia lahir di Pesisir Selatan, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Lagi-lagi kalau di KTP dan surat surat penting lainnya tertera 25 Desember 1975, tetapi di akte kelahiran tertera 2 Februari (ada-ada saja!).

Anak pertama dari lima bersaudara pasangan Basarudin-Aminah. Menikah dengan Juli Kurniadi (nama bekennya sih Aji Gobang), ia dikaruniai dua putra: Joshua Merifidal Kurniadi (lahir 13 Januari 2006) dan Jonathan Mahatma Kurniadi (lahir 16 Desember 2011).

Saat ini menetap di Krui, Pesisir Barat, Lampung. Sejak 2011 tercatat sebagai salah satu fasilitator pemberdayaan di Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan  untuk Kecamatan Pesisir Selatan.

Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Tulang Bawang Lampung (UTB) tahun  2000 ini menyukai suka traveling tetapi mabuk kalau naik mobil; suka makanan enak tapi tidak bisa masak; penikmat musik, meski tak bisa bisa menyanyi; menggilai sastra, tari, dan fotografi meski tidak punya bakat seni. Palang tidak suka tempat kotor dan berantakan. n

Bukunya:
* Tumi Mit Kota (kumpulan cerbun bersama Udo Z. Karzi, 2013)
* Sekekejungni Pesiser Sememanjangni Angangon (kumpulan sajak bahasa Lampung bersama S.W. Teofani, 2016)