Judul buku : Mencari Jejak Masa Lalu Lampung : Lampung Tumbai 2014
Penulis : Frieda Amran
Editor : Udo Z. Karzi
Foto sampul : Arman AZ
Desain Sampul : Dara Dharmaperwira
Tata letak : Tri Purna Jaya
Isi : xviii + 208 hlm, 14 X 21 cm
Penerbit : Pustaka LaBRAK
Cetakan 1 : Januari 2016
ISBN : 978-602-96731-4-2
Aku senang mendapatkan buku ini, terlebih dilengkapi tanda tangan dan kesempatan untuk berbincang dengan penulisnya (walau sebentar banget) saat penulisnya Frieda Amran berkunjung ke Lampung, Sabtu 23 Januari 2015. Apakah buku ini membuat penasaran? Tidak. Bahkan aku sudah membaca nyaris semua isinya karena tulisan-tulisan dalam buku ini sudah diterbitkan lewat koran Lampung Post tiap hari Minggu.
Namun bukan berarti buku ini patut dilewatkan begitu saja. Buku ini adalah inspirasi bagi banyak gerakan lain di Lampung. Aku tak perlu membuktikan hal itu. Tapi simaklah dengan cermat yang terkandung dalam tulisan-tulisan ini. Apa yang sudah tertimbun oleh waktu dicuatkan kembali. Diingatkan kembali. Digali kembali. Maka kita akan mengulang peristiwa-peristiwa, tempat-tempat, detail-detail budaya, tradisi, dan sebagainya.
Kenapa ini berbeda dengan buku sejarah? Frieda mengambil sumber dari tulisan-tulisan para ilmuwan, pegawai pemerintah Hindia Belanda dan penjelajah Inggris dan Belanda di abad 19 tentang Lampung. Lalu dituliskan bukan bentuk terjemahan yang bisa dibayangkan bakal membosankan jika memakai struktur dan gaya bahasa Belanda kuno yang panjang berbelit-belit, tapi Frieda menuliskannya dalam kalimat-kalimat yang mengalir sederhana mudah dipahami tanpa menghilangkan data dan fakta yang perlu diungkapkan. Jadinya? Tulisan keren yang asyik. Hehehe... Selebihnya, silakan baca sendiri. Ini cuplikan untuk ngintip sedikit :
Halaman 119. ... Sebaliknya, pulau-pulau lain seperti Krakatau dan Sebuku, dihindari. Konon, orang yang tinggal lebih dari dua minggu di pulau-pulau itu akan terserang demam tinggi. Mungkinkah banyak nyamuk malaria di sana? Walahhuallam. Yang jelas penyakit malaria baru dikenal puluhan tahun setelah FG Steck (sumber tulisan) meninggalkan Lampung. Nama jelek kedua pulau itu membuat orang Lampung menggunakannya sebagai tempat pembuangan dan pengucilan.
Nah, dengan gaya tulisan seperti itu aku yakin Frieda eh Lampung Tumbai (sebenarnya sih keduanya tak bisa dipisahkan) sudah memiliki banyak penggemar. Maka saat kencan di Dawiels pada malam minggu itu, beberapa orang menyebut diri,"Kami ini Frieda lover." Nah.
Begitu. Jika kemudian buku ini membutuhkan tindak lanjut semacam Pusat Dokumentasi Lampung, ya, itulah yang seharusnya dilakukan. Kini langkah-langkah awal sudah dibuat. Jemari membuka-buka lembaran jejak masa lalu, kaki harus digerakkan ke Lampung masa depan. Semangat.
Blog Yuli Nugrahani ( http://yulinugrahani.blogspot.co.id ), Minggu, 24 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar