Data Buku
Judul: Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali
Penulis: Udo Z Karzi
Penerbit: Pustaka Labrak, Maret 2016
ISBN: 978-602-96731-8-0
Tebal: iv + 231 halaman
Judul: Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali
Penulis: Udo Z Karzi
Penerbit: Pustaka Labrak, Maret 2016
ISBN: 978-602-96731-8-0
Tebal: iv + 231 halaman
DENGAN bahasa yang sederhana, bahkan cenderung berkelakar
dan mencibir blak-blakan, mungkin sekali penulis buku ini bermaksud mengajak kita
untuk “mari membicarakan yang serius dengan keisengan”. Itu barangkali sebagian
yang bisa kita tangkap dari buku Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali
karya Udo Z Karzi.
Membaca buku ini kita dapat mengambil berbagai varian kesimpulan seperti kejenakaan, kesederhanaan, mencuatkan yang mikro menjadi hal-hal yang spektakuler. Kendati melalui berbagai varian itu implisit kita mampu mengidentifikasi imbauan agar kita “ngeh” terhadap berbagai persoalan. Misalnya saja tentang kekuasaan dan kepemimpinan, seperti yang ada pada Para Calon Pemimpi(n) (hlm 7) dan Machiavelli (hlm 17).
Zulkarnain Zubairi, nama asli Udo Z Karzi, pengarang buku ini, yang kini sedang mengadu nasib untuk menjadi Bupati Lambar lewat jalur “nekad” (independen). Kiranya “nekad” juga menawarkan buku ini agar kita semua muhasabah dan instropeksi. Misalnya, saja tulisan Zoon Politicon (hlm 3), Udo Z Karzi seperti ingin mempersilakan pembacanya mengaca diri. Tidak sekadar sebagai individu, tetapi juga responlah terhadap lingkungan, pedulilah kepada komunitas di sekitar kita.
Demikian pula pada Oposisi sebagai Pengingat (hlm 25). Di sini Udo Z Karzi “mencibir” overlapnya tatanan parlemen kita yang tidak mampu menentukan jati dirinya dalam lingkup sistem presidensial atau parlementer. Dari bahasan singkat ini, bisa ditangkap Udo sedang “mengajari” wakil kita di Senayan untuk bisa tahu bagaimana caranya memerintah dan diperintah.
Tidak dapat dipungkiri pula dalam buku sederhana yang cukup menghibur ini, Udo mengasah pemikiran politisi, bahkan masyarakat pada umumnya. Dalam Kritiklah Aku Kau ku Cuekin (hlm 23), Udo menulis secara lugas, bagaimana kita tidak bisa lepas dari ruang publik yang begitu banyak variabel dan implikasi sebagai akibat dari universalisme kehidupan dan tingkah laku kita yang terkadang enggan dikritik.
Dalam paparan bahasa yang menghibur, buku ini, mengajak kita untuk memahami interaksi satu dengan yang lainnya dalam konteks dan segmentasi yang berbeda dan berdiri di atas singgasana Negarabatin.
Karena itu, buku yang judulnya cukup menggelitik ini serta sarat dengan joke dan hiruk-pikuknya interaksi sosial, pun juga dihiasi dengan tokoh “kelampungan” seperti Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, Pithagiras, Udien, Pinyut, dan Radin Mak Iwoh sangat laik dibaca siapa pun. Udo Z Karzi berhasil menghidupkan karakter dan lakon ini dikurun waktu yang berbeda dan struktur sosial yang berlainan.
Membaca buku ini, meski “belum tentu” kita untung, tidak pula kita rugi untuk menambah wawasan dan perspektif. Maka, bolehlah kita menyimak dan mengkaji ulasan yang nampak sederhana dari buku ini, tetapi ia terstruktur dalam corak kehidupan yang berwajah banyak. Mengapa demikian? Sebab, seperti kata penulis buku ini: Negarabatin masih seperti dahulu. Banyak masalah. Tapi, karena itu Negarabatin hidup. Soalnya hidup memang segudang masalah. Tidak ada masalah berarti tidak hidup. Asal hidup tidak jadi masalah. Tapi, jangan hidup hobi cari masalah. Masalah ya kita atasi. Maunya. Tapi, kalau tidak mampu mengatasi ya cukuplah jadi tukang kritik –bahasa aslinya sih tukang recok.
Memang, membaca Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali tidak
seperti apa yang diungkap oleh Daniel Dhakidae, mantan Litbang Kompas, bahwa buku akan enak dibaca
manakala untaian bersifat naratif penyajiannya pop atau dalam bahasa klise
ilmiah populer; buku ini lebih banyak tersekat dalam kepopuleran yang ilmiah. Ngepop tapi ilmiah jelas tidak gampang
menulis model ini. Tapi, bagi Udo agaknya apa pun soal, termasuk yang paling
sepele pun, bisa dibincangkan dengan asyik
dan terkadang terselip ironi yang secara tidak langsung sebenarnya mengajak
pembaca ikut memikirkan atau minimal merenungkan.
Ya, kolom-kolom pendek Udo ini memang hanya
menyentil-nyentil, menyenggol-nyenggol, atau sekadar mencolek kita untuk sedikit memberikan
waktu barang lima menit mendengar atau ikut mengoceh mengenai hal-hal yang
terasa “mengganggu” pikiran atau suasana hati kita. Udo tidak menyodorkan
solusi atau jalan keluar dari masalah. Ia – melalui tokoh-tokohnya – hanya ingin
merecoki (baca: mengkritik) untuk sekadar memberi tahu, menyadarkan, dan mengingatkan
bahwa di balik gejala, peristiwa, ucapan,
atau perilaku ada persoalan yang patut diperhatikan. Bagaimana mengatasinya,
sudah bukan tugas Mamak Kenut, eh… Udo Z Karzi, melainkan sudah menjadi
tanggung jawab para pihak yang bersangkutan.
Dasar tukang recok! []
Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation.
dimuat di Fajar
Sumatera, Rabu, 18 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar