Oleh Hardi Hamzah
KEHADIRAN sebuah cerita pendek, biasanya berpangkal tolak dari narasi yang digali dari kebudayaan lokal, dengan sekuat-kuatnya menyusun kosakata agar yang membacanya bisa merasakan, buku juga bisa empuk, renyah, dan enak dibaca, meskipun dalam bahasa daerah. Itulah sebabnya, cerpen acap bereksistensi fiksi realitas.
Fiksi realitas dimaksudkan untuk menggambarkan sentuhan kesenyawaan antara pembaca dan pengarangnya. Tentu akan lebih menarik lagi apabila sentuhan realitas itu diangkat dari kisah nyata. Begitulah agaknya Zulkarnain Zubairi atau yang lebih akrab dengan Udo Z. Karzi menampilkan cerpen ini ke publik bersama rekannya Elly Dharmawanti berjudul Tumi Mit Kota, Kumpulan Cerita Buntak.
Buku setebal 74 halaman terbitan Pustaka Labrak 2013 ini adalah buku cerita bersambung (cerbung) kedua setelah Cerita-cerita jak Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami (2009). Selain kembali mengisi khazanah kesusasteraan Lampung, Udo dan rekannya memproyeksikan suatu persenyawaan ketokohan Tuminingsih (Tumi). Dengan bahasa yang naratif lewat realitas eksistensi fiktif-realitas tadi. Ada semacam kesamaan semangat ketika kita membaca buku tebalnya Sutan Takdir Alisyahbana, Grotta Azura, atau trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari.
Kendati harap dicatat deskripsi itu tidak terhalusinasi secara sigap, selain karena setingnya yang berbeda, dialog dalam nuansa renungan seorang Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti telah melahirkan diskursus baru bagi horison kelampungan dalam bentuk cerita pendek. Ya, namanya juga cerita pendek. Pendek ceritanya, tetapi sarat dengan hakikat hidup bagi upaya menguatkan semangat kultural edukatif dalam koridor kesusasteraan Lampung khususnya.
Artinya, pola dasar yang dibangun dalam buku berjudul Tumi Mit Kota ini, telah mencoba menggarap kreativitas umum agar setidaknya kita tidak merasa lelah, apalagi cuek terhadap kesusasteraan Lampung. Pada titik ini, kita disadarkan tidak mudah memperkaya nalar dalam kosakata Lampung secara dinamis. Inilah hidup kesenyawaan yang sedapat-dapatnya menggoda batin kita untuk bereaksi keras, siapa mau mengolah kata untuk memaksakan diri merajut sintesis dari daerah yang multibahasa ini.
Itulah kemudian, bila kita tengok satu persatu, merenda narasi tidak semudah yang disangka bila taplak meja kesusasteraannya penuh dengan kronik penggal-penggal bahasa yang sukar dirajut untuk utuh. Mari kita tengok, semisal pada halaman 57—59 yang bertitel Cengkelang. Kekuatan bahasa lebih dirasionalisasikan pada gugusan yang terpencar, meskipun ini mengingatkan kita pada premis yang diintrodusi Karl May lewat Wineteou sekian abad lampau.
Spektrum berikutnya yang patut diaktualisasikan adalah kesadaran untuk Udo Z. Karzi menggelindingkan lompatan bahasa, yang membawa kita secara strategis mampu merefleksikan cerpen ini dengan nuansa, bahwa bahasa Lampung itu tidak mudah. Ketika nalar kita didinamisasi oleh penulisnya pada halaman 61—66 yang bertutur tentang Di Simpang Renglaya. Di Simpang Ranglaya yang berarti di simpang jalan terpaut refleksi dramaturgi yang berani, walaupun nyeleneh. Pun, anehnya nyeleneh itu menjadi term-term tersendiri atas nama perspektif romantisme.
Oleh karena itu, bila premis-premis cerita pendek yang berbahasa Lampung ini diaktualisasikan dan disosialisasikan dalam idiom yang penataan kosakata bahasanya lebih ngepop, personifikasi sosok yang akan ditonjolkan, dus akan memasuki wilayah pemikiran pembaca. Dalam konteks yang lebih luas, Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti dalam cerpen ini kiranya akan membuka peluang agar jarak antara tokoh personal menjadi bagian dari semangat inpersonal (baca: pembaca buku ini).
Atmosfir apa yang kemudian akan kita gali dari cerpen yang terbilang pendek ini, mungkin sekali atmosfir itu dapat dibaca dari kelonggaran penulisnya untuk memberi peluang agar kita mampu membuka wilayah transformasi positif, bahasa Lampung bila telah masuk di wilayah cerita pendek, dus bisa lebih mudah dipahami, tanpa harus mengernyitkan dahi.
Ini karena cerita pendek yang kata penulisnya adalah kisah nyata, benar-benar mampu memetamorfosiskan antara kosakata dalam diskursus baru kesusasteraan populer, teristimewa bila kita kaitkan dengan betapa sedikitnya cerita pendek berbahasa Lampung yang notabene telah terampas oleh liberilasasi sastra dalam konteks deviasi (penyimpangan) semantik.
Lalu, mau tidak mau, seyogianya kita acungkan dulu jari telunjuk untuk Udo Z. Karzi dkk. yang selalu menggawangi tiang goal kelampungan dengan tidak jenuh-jenuhnya, sesudah itu barulah dua jempol kita acungkan kalau interesant kelampungan ini terus-menerus digaulinya secara lebih baik, melalui kekayaan khazanah kebudayaan secara sustainable.
Teruskan perjuanganmu Udo, sampai kita sebagai orang Lampung mampu tampil dalam bentuknya yang utuh dan diperhitungkan di tingkat nasional, regional dan internasional, meskipun kita selalu dihadapkan oleh problematika hegemoni kekuasaan yang cuek dan hanya menjadikan budaya Lampung sebagai instrumen, yang terasa nyeri di atas prospek yang tidak pernah dipetakan oleh penguasa di daerah ini. n
Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Kamis, 19 Desember 2013
Fiksi realitas dimaksudkan untuk menggambarkan sentuhan kesenyawaan antara pembaca dan pengarangnya. Tentu akan lebih menarik lagi apabila sentuhan realitas itu diangkat dari kisah nyata. Begitulah agaknya Zulkarnain Zubairi atau yang lebih akrab dengan Udo Z. Karzi menampilkan cerpen ini ke publik bersama rekannya Elly Dharmawanti berjudul Tumi Mit Kota, Kumpulan Cerita Buntak.
Buku setebal 74 halaman terbitan Pustaka Labrak 2013 ini adalah buku cerita bersambung (cerbung) kedua setelah Cerita-cerita jak Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami (2009). Selain kembali mengisi khazanah kesusasteraan Lampung, Udo dan rekannya memproyeksikan suatu persenyawaan ketokohan Tuminingsih (Tumi). Dengan bahasa yang naratif lewat realitas eksistensi fiktif-realitas tadi. Ada semacam kesamaan semangat ketika kita membaca buku tebalnya Sutan Takdir Alisyahbana, Grotta Azura, atau trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari.
Kendati harap dicatat deskripsi itu tidak terhalusinasi secara sigap, selain karena setingnya yang berbeda, dialog dalam nuansa renungan seorang Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti telah melahirkan diskursus baru bagi horison kelampungan dalam bentuk cerita pendek. Ya, namanya juga cerita pendek. Pendek ceritanya, tetapi sarat dengan hakikat hidup bagi upaya menguatkan semangat kultural edukatif dalam koridor kesusasteraan Lampung khususnya.
Artinya, pola dasar yang dibangun dalam buku berjudul Tumi Mit Kota ini, telah mencoba menggarap kreativitas umum agar setidaknya kita tidak merasa lelah, apalagi cuek terhadap kesusasteraan Lampung. Pada titik ini, kita disadarkan tidak mudah memperkaya nalar dalam kosakata Lampung secara dinamis. Inilah hidup kesenyawaan yang sedapat-dapatnya menggoda batin kita untuk bereaksi keras, siapa mau mengolah kata untuk memaksakan diri merajut sintesis dari daerah yang multibahasa ini.
Itulah kemudian, bila kita tengok satu persatu, merenda narasi tidak semudah yang disangka bila taplak meja kesusasteraannya penuh dengan kronik penggal-penggal bahasa yang sukar dirajut untuk utuh. Mari kita tengok, semisal pada halaman 57—59 yang bertitel Cengkelang. Kekuatan bahasa lebih dirasionalisasikan pada gugusan yang terpencar, meskipun ini mengingatkan kita pada premis yang diintrodusi Karl May lewat Wineteou sekian abad lampau.
Spektrum berikutnya yang patut diaktualisasikan adalah kesadaran untuk Udo Z. Karzi menggelindingkan lompatan bahasa, yang membawa kita secara strategis mampu merefleksikan cerpen ini dengan nuansa, bahwa bahasa Lampung itu tidak mudah. Ketika nalar kita didinamisasi oleh penulisnya pada halaman 61—66 yang bertutur tentang Di Simpang Renglaya. Di Simpang Ranglaya yang berarti di simpang jalan terpaut refleksi dramaturgi yang berani, walaupun nyeleneh. Pun, anehnya nyeleneh itu menjadi term-term tersendiri atas nama perspektif romantisme.
Oleh karena itu, bila premis-premis cerita pendek yang berbahasa Lampung ini diaktualisasikan dan disosialisasikan dalam idiom yang penataan kosakata bahasanya lebih ngepop, personifikasi sosok yang akan ditonjolkan, dus akan memasuki wilayah pemikiran pembaca. Dalam konteks yang lebih luas, Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti dalam cerpen ini kiranya akan membuka peluang agar jarak antara tokoh personal menjadi bagian dari semangat inpersonal (baca: pembaca buku ini).
Atmosfir apa yang kemudian akan kita gali dari cerpen yang terbilang pendek ini, mungkin sekali atmosfir itu dapat dibaca dari kelonggaran penulisnya untuk memberi peluang agar kita mampu membuka wilayah transformasi positif, bahasa Lampung bila telah masuk di wilayah cerita pendek, dus bisa lebih mudah dipahami, tanpa harus mengernyitkan dahi.
Ini karena cerita pendek yang kata penulisnya adalah kisah nyata, benar-benar mampu memetamorfosiskan antara kosakata dalam diskursus baru kesusasteraan populer, teristimewa bila kita kaitkan dengan betapa sedikitnya cerita pendek berbahasa Lampung yang notabene telah terampas oleh liberilasasi sastra dalam konteks deviasi (penyimpangan) semantik.
Lalu, mau tidak mau, seyogianya kita acungkan dulu jari telunjuk untuk Udo Z. Karzi dkk. yang selalu menggawangi tiang goal kelampungan dengan tidak jenuh-jenuhnya, sesudah itu barulah dua jempol kita acungkan kalau interesant kelampungan ini terus-menerus digaulinya secara lebih baik, melalui kekayaan khazanah kebudayaan secara sustainable.
Teruskan perjuanganmu Udo, sampai kita sebagai orang Lampung mampu tampil dalam bentuknya yang utuh dan diperhitungkan di tingkat nasional, regional dan internasional, meskipun kita selalu dihadapkan oleh problematika hegemoni kekuasaan yang cuek dan hanya menjadikan budaya Lampung sebagai instrumen, yang terasa nyeri di atas prospek yang tidak pernah dipetakan oleh penguasa di daerah ini. n
Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Kamis, 19 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar