Oleh Dian Wahyu Kusuma
Sambutan hangat siswa-siswi di Liwa terhadap kumpulan cerita buntak (cerpen berbahasa Indonesia) Tumi Mit Kota karya Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti, semoga menjadi pertanda bagus bagi perkembangan sastra (berbahasa) Lampung.
CERBUN Tumi Mit Kota terasa simbolik karena ini bisa ditafsirkan bermacam-macam. Kalau membaca cerbun ini, Tumi atau nama lengkapnya Tuminingsih adalah seorang gadis remaja beretnis Jawa yang sangat menjiwai bahasa dan kultur Lampung. Hanya saja ia tak bisa melawan kecenderungan umum untuk urbanisasi.
Dari sisi sejarah, Buay Tumi merupakan suku asal orang Lampung. Setidaknya suku inilah yang dipercaya membangun Kerajaan Skala Brak di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. "Bahkan di Malaysia kabarnya ada Toko Tumi. Sehingga bagi saya Tumi itu mempunyai multimakna dan asyik didengar. Karena itu judul ini yang dipilih," kata Udo Z. Karzi, salah satu penulis dalam Peluncuran dan Diskusi Buku Tumi Mit Kota di SMAN 2 Liwa, Lampung Barat, Kamis (19/12).
Elly Dharmawanti menambahkan Tumi itu panggilan mesra Tuminingsih. Tumi itu orang Jawa asli tinggal di Lampung dan sudah melampung. "Ini sindiran, banyak orang Lampung malu berbahasa Lampung. Apalagi kalau sudah di kota, penggunaan bahasa lampung sudah mulai pupus."
Dalam cerbun Pancoran Pitu, Elly berkisah tentang pancuran tujuh di Kecamatan Batubrak, Lampung Barat. Konon, kalau mandi di pancuran ini akan membuat gadis cantik. Kisahnya dulu pancuran itu adalah tempat pemandian putri Kerajaan Skala Brak. Sampai suatu ketika kekeringan melanda yang membuat masyarakat kesulitan mendapatkan air.
Akhirnya, pancuran tujuh itu dibebaskan untuk dimanfaatkan untuk masyarakat. Sekarang, pancuran itu sudah dibangun dan dibuat undakan agar masyakat di situ mudah menggunakannnya.
Ide cerita ini didapat Elly yang fasilitator Kecamatan PNPM di Pesisir Selatan yang kebetulan sedang ada bekerja di Batubrak, Lampung Barat. "Tebersit di pikirannya untuk membuat cerita tentang kepercayaan warga setempat. Saat itu sedang ada perbaikan pancuran pitu. Mau awet muda, sehat, bisa mandi di situ,” kata perempuan alumnus ilmu komunikasi Universitas Tulangbawang ini.
***
Elly sering menulis cerpen di Lampung Post. Udo Karzi mengaku tidak pernah bertemu langsung dengan Elly, hanya berkomunikasi melalui dunia maya saja. Sampai kemudian terbetik keinginan untuk membukukan cerpen-cerpen Elly yang bernuansa lokal dan kuat secara kultural. "Kami kemudian berkolaborasi menerbitkan buku kumpulan cerbun ini," ujar Elly.
Buku yang diterbitkan Pustaka Labrak, Bandar Lampung ini, kata Udo, sangat cocok dibaca siswa SMP dan SMA. "Buku ini bisa menjadi stimulan bagi kalian. Siapa tahu nanti juga menulis karya sastra berbahasa Lampung. Kenapa tidak. Daerah ini sangat potensial bagi siswa karena adat budaya sini sangat kental," kata Duta Suhanda, yang memoderatori acara ini.
Kalau di sekolah, menurut Duta, penggunaan karya berbahasa Lampung bisa saja dimulai dari majalah dinding (mading). Selanjutnya bisa dikembangkan dengan menulis di blog atau bahkan mengirim ke media cetak dan diterbitkan menjadi buku. "Enggak apa-apa kalau ada ide membukukan cerbun karya siswa-siswa SMAN 2 Liwa," ujarnya.
Peserta peluncuran dan diskusi buku sempat dihibur oleh Yogi Sasongko, siswa kelas X SMAN 2 Liwa yang sempat menjadi juara dua Lomba Solo Song se-Kabupaten Lampung Barat.
Kepala SMAN 2 Liwa Haikan menyatakan kegembiraan dan merasa terhormat mendapat tempat peluncuran dan diskusi buku ini. "Semoga ini bisa memberikan motivasi bagi siswa kami. Meskipun sekolah ini baru berdiri pada 2010, beberapa prestasi telah ditorehkan pelajar. Diskusi buku ini sangat penting untuk meningkatkan apresiasi dan bakat sastra siswa," ujarnya.
***
Akhirnya, Tumi Mit Kota diharapkan menjadi penyemangat bagi semua, siswa-siswa terutama, untuk mengembangkan bahasa, sastra, dan budaya Lampung. Sebab, penerbitan buku berbahasa Lampung seperti diakui Udo, menjadi penting bagi upaya penyelamatan, pelestarian, dan pemberdayaan tamadun Lampung.
Sedikitnya peminat bahasa-budaya Lampung harus menjadi tantangan. "Saya sempat kapok menerbitkan buku berbahasa Lampung. Dikritik habis dan tidak laku. Tapi pekerjaan ini, menulis dan menerbitkan buku berbahasa Lampung, tidak boleh berhenti. Ini sudah menjadi tugas sejarah yang tidak boleh diabaikan." (P2)
dianwahyu@lampungpost.co.id
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Desember 2013
Sambutan hangat siswa-siswi di Liwa terhadap kumpulan cerita buntak (cerpen berbahasa Indonesia) Tumi Mit Kota karya Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti, semoga menjadi pertanda bagus bagi perkembangan sastra (berbahasa) Lampung.
CERBUN Tumi Mit Kota terasa simbolik karena ini bisa ditafsirkan bermacam-macam. Kalau membaca cerbun ini, Tumi atau nama lengkapnya Tuminingsih adalah seorang gadis remaja beretnis Jawa yang sangat menjiwai bahasa dan kultur Lampung. Hanya saja ia tak bisa melawan kecenderungan umum untuk urbanisasi.
Dari sisi sejarah, Buay Tumi merupakan suku asal orang Lampung. Setidaknya suku inilah yang dipercaya membangun Kerajaan Skala Brak di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. "Bahkan di Malaysia kabarnya ada Toko Tumi. Sehingga bagi saya Tumi itu mempunyai multimakna dan asyik didengar. Karena itu judul ini yang dipilih," kata Udo Z. Karzi, salah satu penulis dalam Peluncuran dan Diskusi Buku Tumi Mit Kota di SMAN 2 Liwa, Lampung Barat, Kamis (19/12).
Elly Dharmawanti menambahkan Tumi itu panggilan mesra Tuminingsih. Tumi itu orang Jawa asli tinggal di Lampung dan sudah melampung. "Ini sindiran, banyak orang Lampung malu berbahasa Lampung. Apalagi kalau sudah di kota, penggunaan bahasa lampung sudah mulai pupus."
Dalam cerbun Pancoran Pitu, Elly berkisah tentang pancuran tujuh di Kecamatan Batubrak, Lampung Barat. Konon, kalau mandi di pancuran ini akan membuat gadis cantik. Kisahnya dulu pancuran itu adalah tempat pemandian putri Kerajaan Skala Brak. Sampai suatu ketika kekeringan melanda yang membuat masyarakat kesulitan mendapatkan air.
Akhirnya, pancuran tujuh itu dibebaskan untuk dimanfaatkan untuk masyarakat. Sekarang, pancuran itu sudah dibangun dan dibuat undakan agar masyakat di situ mudah menggunakannnya.
Ide cerita ini didapat Elly yang fasilitator Kecamatan PNPM di Pesisir Selatan yang kebetulan sedang ada bekerja di Batubrak, Lampung Barat. "Tebersit di pikirannya untuk membuat cerita tentang kepercayaan warga setempat. Saat itu sedang ada perbaikan pancuran pitu. Mau awet muda, sehat, bisa mandi di situ,” kata perempuan alumnus ilmu komunikasi Universitas Tulangbawang ini.
***
Elly sering menulis cerpen di Lampung Post. Udo Karzi mengaku tidak pernah bertemu langsung dengan Elly, hanya berkomunikasi melalui dunia maya saja. Sampai kemudian terbetik keinginan untuk membukukan cerpen-cerpen Elly yang bernuansa lokal dan kuat secara kultural. "Kami kemudian berkolaborasi menerbitkan buku kumpulan cerbun ini," ujar Elly.
Buku yang diterbitkan Pustaka Labrak, Bandar Lampung ini, kata Udo, sangat cocok dibaca siswa SMP dan SMA. "Buku ini bisa menjadi stimulan bagi kalian. Siapa tahu nanti juga menulis karya sastra berbahasa Lampung. Kenapa tidak. Daerah ini sangat potensial bagi siswa karena adat budaya sini sangat kental," kata Duta Suhanda, yang memoderatori acara ini.
Kalau di sekolah, menurut Duta, penggunaan karya berbahasa Lampung bisa saja dimulai dari majalah dinding (mading). Selanjutnya bisa dikembangkan dengan menulis di blog atau bahkan mengirim ke media cetak dan diterbitkan menjadi buku. "Enggak apa-apa kalau ada ide membukukan cerbun karya siswa-siswa SMAN 2 Liwa," ujarnya.
Peserta peluncuran dan diskusi buku sempat dihibur oleh Yogi Sasongko, siswa kelas X SMAN 2 Liwa yang sempat menjadi juara dua Lomba Solo Song se-Kabupaten Lampung Barat.
Kepala SMAN 2 Liwa Haikan menyatakan kegembiraan dan merasa terhormat mendapat tempat peluncuran dan diskusi buku ini. "Semoga ini bisa memberikan motivasi bagi siswa kami. Meskipun sekolah ini baru berdiri pada 2010, beberapa prestasi telah ditorehkan pelajar. Diskusi buku ini sangat penting untuk meningkatkan apresiasi dan bakat sastra siswa," ujarnya.
***
Akhirnya, Tumi Mit Kota diharapkan menjadi penyemangat bagi semua, siswa-siswa terutama, untuk mengembangkan bahasa, sastra, dan budaya Lampung. Sebab, penerbitan buku berbahasa Lampung seperti diakui Udo, menjadi penting bagi upaya penyelamatan, pelestarian, dan pemberdayaan tamadun Lampung.
Sedikitnya peminat bahasa-budaya Lampung harus menjadi tantangan. "Saya sempat kapok menerbitkan buku berbahasa Lampung. Dikritik habis dan tidak laku. Tapi pekerjaan ini, menulis dan menerbitkan buku berbahasa Lampung, tidak boleh berhenti. Ini sudah menjadi tugas sejarah yang tidak boleh diabaikan." (P2)
dianwahyu@lampungpost.co.id
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar