Minggu, 24 Januari 2016

Frieda Amran: Jatuh Cinta dengan Lampung

Frieda Amran. (FOTO: WAWAN TARYANTO)
MELIHAT minimnya perhatian masyarakat mengenai kebudayaan di Sumatera, membuat Frieda Agnani Amran atau lebih dikenal Frieda Amran tergerak menuliskan budaya-budaya di Sumatera, terutama budaya Lampung, dengan bukunya “Mencari Jejak Masa Lalu Lampung”.

Berbekal referensi-referensi kuno yang diperolehnya dari Rijksuniversiteit Leiden (Universitas Leiden) di Belanda, saat ia menempuh Magister Antropologi, ia mencoba membuka wawasan masyarakat Lampung mengenai kebudayaan Lampung yang ada dalam catatan sejarah Belanda. Mendapat kesempatan untuk mengulas bukunya di Kafe Dawiels, Sabtu (23/1/2016), reporter Teknokra Faiza Ukhti Annisa mencoba mewawancarainya.

Berikut hasil wawancaranya:

Kenapa terpikir untuk membuat buku Jejak Masa Lalu Lampung, Lampung Tumbai?
Sebenarnya bukan membuat buku, melainkan membuka akses terhadap sumber-sumber primer mengenai sejarah sosial dan budaya Lampung. Sumber-sumber primer itu biasanya berbahasa Lampung, beraksara Lampung, beraksara Jawi atau berbahasa Belanda. Dan bagian yang bahasa Belanda jarang orang yang melakukan, karena jarang orang yang memahami bahasa Belanda, terutama Belanda Kuno. Saya mengerti, jadi saya sampaikan kembali.

Tulisan-tulisan yang saya baca itu tulisan-tulisan Belanda Kuno dari abad 16. Orang Belanda sendiri sudah tidak terlatih untuk membacanya. Saya juga memerlukan waktu yang banyak untuk dapat memahaminya.Tapi, gak diterjemahkan karena itu penerbitan untuk koran, kalau semua artikel itu diterjemahkan maka akan terlalu panjang dan terlalu membosankan karena itu tulisan-tulisan kuno.

Apa yang membuat Anda tertarik dengan budaya Lampung, padahal Anda bukan merupakan orang Lampung?Perhatian orang itu biasanya ke daerah Jawa dan Bali saja, kurang sekali perhatian pada orang luar Jawa. Saya adalah orang Sumatera Selatan, jadi perhatian saya ke Sumatera, termasuk Lampung. Tapi, kemudian saya jatuh cinta dengan Lampung. Membaca banyak hal tentang Lampung membuat saya tertarik sehingga jatuh cinta dan kebetulan ketemu dengan orang-orang yang sehati di Lampung.

Apakah ada hambatan dalam penulisan buku Lampung Tumbai?

Hambatannya itu dari bahan yang tersedia, ada yang berkomentar bahwa saya terlalu berpihak pada pepadun, saibatin dan yang lain. Sebenarnya saya tidak berpihak, saya netral dan itu bukan pilihan. Itu semua tergantung bahan yang saya temukan mengenai Lampung dan mungkin kebetulan yang saya temukan tentang salah satunya.

Kapan pertama kali tertarik menulis tentang budaya Lampung?

Mulainya saya menuliskan artikel di Lampung Post itu, Januari 2014.

Bagaimana Anda menanggapi komentar negatif dalam tulisan yang Anda tulis mengenai budaya Lampung?

Saya menanggapi komentar negatif atau positif itu sebagai bentuk perhatian dan membuat saya bersemangat. Komentar itu sebagai bentuk kepedulian mereka, semakin mereka marah atau semakin mereka memuji itu berarti sikap kepeduliannya tinggi. Kalau mereka gak peduli, takkan ada komentar, terserah saya mau nulis apa tentang Lampung . Saya mengerti karena ini ditulis oleh orang Belanda, kadang-kadang gak enak untuk didengar, jadi wajar aja kalau ada yang marah.

Apakah Anda akan menulis buku tentang kebudayaan Lampung lagi?

Insya Allah yang sedang saya kerjakan terkait dengan Lampung, yaitu buku yang judul sementaranya itu “Jejak-Jejak Purbakala di Lampung”. Saya akan mengembangkan satu artikel dan saya akan ikut menjadi editor karena kerangka berpikirnya buku itu ada di kepala saya. Tetapi penulis utamanya adalah ahli-ahli purbakala Indonesia yang pernah meneliti Lampung.

Apa harapan Anda untuk masyarakat Lampung?

Yang terpenting bagi saya adalah orang di Lampung mau mempelajari budaya Lampung, untuk tahu apa pun yang ditulis orang mengenai Lampung, baik yang enak dibaca atau tidak. Sebenarnya itu keinginan saya

Pesan Anda untuk penulis muda, terutama mengenai sejarah sosial budaya?

Saya ingin sekali orang-orang muda, seperti mahasiswa belajar menulis secara deskriptif. Jadi seperti misalnya ‘rumah orang Lampung berbentuk panggung’ gak menarik, kan. Tapi kalau ‘rumah orang Lampung itu dibangun di atas tiang-tiang, tiang-tiang itu terbuat dari kayu jati dan di sisi kanan ada ukiran bla bla bla’ itu akan lebih menarik. Kelihatannya mudah membuat kalimat deskripsi yang baik, tapi sebenarnya itu susah sekali.


dimuat di Teknokra.com, 24 Januari 2016 (Klik: Frieda Amran Jatuh Cinta dengan Lampung)

1 komentar:

  1. Selamat Siang,
    saya berniat sekali memiliki buku ini. bagaimana cara mendapatkannya. mohon info. terima kasih.

    BalasHapus