Sabtu, 28 Juni 2025

Puisi-puisi tidak Menuntut, tapi Menyentuh Luka

Oleh Erina Pane




TIDAKLAH mudah memberi catatan rangkaian 100 puisi dalam Kesibukan Membuat Sejarah yang bernas karya sahabat saya ini. Buku puisi ini terbagi dalam tiga bagian: Tilas Perjalanan, Tilas Muasal, dan Tilas Negeri. Tapi, saya lebih suka menyebut semua puisi dalam buku ini sebagai tilas perjalanan panjang dari penyairnya sejak lahir, sekolah, kuliah bekerja hingga melewati usai setengah abad lebih, meskipun linimasa puisi yang tertera tahun 1987 yang paling lama dan tahun 2025 yang paling baru.

Eh iya, sahabat saya ini ternyata baru berulang tahun ke-55 tanggal 12 Juni lalu. Walaupun sudah telat, saya mengucapkan, “Selamat milad ke-55, Zul.“

Saya sangat menikmati semua puisi, tetapi saya memiliki keterbatasan untuk membicarakan satu per satu puisi yang terhimpun dalam buku ini. Kata demi kata, larik demi larik, bait demi bait dalam keseluruhan tubuh puisi terpadu dalam religiusitas, lokalitas, dan politis-kritis penulis, yang disusun  dalam nada reflektif, puitik, dan penuh perenungan.

***

Sajak seperti “Kesibukan Membuat Sejarah”, “Liwa”, “Kidupan”, dan “Sejarah Hari Ini” bekerja di antara lapisan kritik sosial, memori kolektif, dan keberpihakan ekologis-kultural. Ia menolak logika pembangunan yang mengorbankan nilai-nilai lokal dan pengalaman sejarah rakyat kecil. Dengan diksi yang konkret dan metafora yang kuat, puisi-puisi tersebut menjadi narasi perlawanan terhadap kekuasaan yang menghapus masa lalu demi masa depan yang seragam dan tak berakar. Ada ketegangan antara hari ini—simbol kondisi kontemporer yang tengah berlangsung—dan sejarah—jejak masa lalu yang seharusnya diwarisi. Udo Z Karzi ini hendak menunjukkan bahwa sejarah bukan sekadar masa lalu, melainkan medan kontestasi antara memori kolektif dan kuasa dominan yang berusaha memutuskannya.

Dalam beberapa puisi lainnya, Udo Z Karzi berbicara tentang rumah, kampung halaman, pulang, dan kematian. Saya comot sajak "Kalau Kelak Kupulang" yang kontemplatif dan eksistensial yang menawarkan refleksi mendalam tentang makna kepulangan, keberadaan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang dilupakan dalam kehidupan modern.

Puisi ini menjadikan “kepulangan” bukan sekadar kembali secara fisik ke suatu tempat, melainkan sebagai metafora eksistensial: kembali ke akar kemanusiaan, nilai-nilai hakiki, bahkan ke asal-muasal spiritual. Tiap bait memulai dengan repetisi: “kalau kelak kupulang…” Repetisi ini membangun irama litani, menyerupai doa atau janji yang mengandung renungan personal sekaligus visi kolektif. Kepulangan bukan akhir, tetapi permulaan untuk hidup yang lebih bermakna.

Setiap bait dalam puisi ini mengandung dua unsur: arah kepulangan dan tujuan etis atau spiritual dari kepulangan itu. Analisis progresi tematis menunjukkan pergerakan dari:
ladang → kehidupan
tanah → hayati (biotik)
air → keadilan
kampung → kebersamaan
nurani → kemanusiaan
Ilahi → kefanaan

Ini membentuk sebuah struktur menaik—dari unsur-unsur bumi menuju kesadaran nurani dan akhirnya ketundukan pada Yang Transenden. Maka puisi ini dapat dibaca sebagai perjalanan spiritual yang holistik: ekologis, sosial, dan teologis.

Meski tidak secara eksplisit mengecam, puisi ini menyiratkan kritik terhadap keterasingan manusia modern dari alam, komunitas, dan nilai-nilai moral.

> “aku ingin kembali ke ladang / menumbuhkan kehidupan yang lebih abadi”

> “aku bakal kembali ke kampung / merawat kebersamaan yang lebih hakiki”

Dalam dunia modern yang sarat fragmentasi, alienasi ekologis, dan individualisme, puisi ini justru menawarkan visi alternatif tentang hidup yang berakar, bersatu, dan bersahaja.

Diksi puisi sangat sederhana, tetapi justru dari kesederhanaan itu lahir kekuatan filosofis. Kata-kata seperti ladang, tanah, air, kampung adalah simbol kedekatan manusia dengan ruang hidup yang konkret dan penuh makna. Puisi ini terhubung dengan kebijaksanaan lokal, semacam spiritualitas bumi (earthly spirituality) yang tidak dogmatis tapi sangat humanis.

Dan, bait penutup: “aku pasti kembali ke Ilahi / menjadi makhluk lemah / yang sungguh fana” menandai penyerahan total—suatu bentuk pengakuan akan kefanaan yang bukan membuat manusia kalah, tetapi justru membuatnya lebih manusiawi. Ini adalah semacam antitesis terhadap egoisme zaman, di mana manusia lupa batas dan asalnya.

Boleh dibilang, "Kalau Kelak Kupulang" adalah puisi reflektif dan berwatak kontemplatif yang memuat kritik halus terhadap krisis spiritual, ekologis, dan sosial dunia modern. Puisi ini menghadirkan semacam peta jalan pulang—ke alam, ke sesama, ke nurani, dan akhirnya ke Tuhan. Dengan gaya yang tenang dan diksi yang bersahaja, puisi ini mampu menghadirkan gugatan etis sekaligus ajakan spiritual: bahwa dalam dunia yang semakin gaduh dan terpecah, manusia hanya akan menemukan keutuhan dirinya jika ia berani “pulang” ke nilai-nilai dasar yang abadi.

***

Hidup, sebagaimana puisi-puisi dalam buku ini, adalah perjalanan yang tidak selamanya lurus dan nyaris tak pernah selesai. Saya menyaksikan dalam tiap baitnya, seorang penyair yang menengok ke belakang bukan untuk sekadar mengenang, tapi untuk mengukur, sudah sejauh apa ia berjalan, sejauh mana luka ditanggung, dan seberapa dalam suara Tuhan sempat ia dengar di tengah bising dunia.

Tentang Tilas Perjalanan, ia bukanlah sekadar puisi tentang kenangan masa muda yang resah, cinta yang tidak selesai, atau rindu yang tidak sampai. Ia adalah rekaman batin yang gelisah karena sadar, hidup ini bukan milik kita sepenuhnya. Bahwa ada Tuhan yang diam-diam selalu hadir dalam setiap langkah yang gontai, setiap harap yang nyaris padam, dan setiap kesadaran yang tumbuh dari kegagalan.

Udo Z. Karzi tidak menulis dari menara gading. Ia menulis dari tanah liat yang menempel di kaki petani, dari kopi yang menguap harum di dapur-dapur panggung di Liwa, dari jalanan berliku Negarabatin yang pernah menyimpan kelahiran dan kesendirian. Dalam setiap puisinya, saya mencium aroma tanah basah setelah hujan, melihat kabut menyelubungi Gunung Pesagi, dan mendengar desir angin dari jalan-jalan setapak yang mengantar anak-anak desa ke ladang atau ke sekolah atau ke kota yang kemudian melupakan mereka.

Tapi di balik yang lokal itu, ada kegelisahan yang universal, tentang makna hidup yang tak kunjung jadi, tentang iman yang sering kabur, tentang nurani yang pelan-pelan menjauh, dan tentang kematian yang datang sebagai perintah pulang, bukan hukuman. Seakan semua bait ini ingin berkata: “Kita lahir bukan untuk menjadi siapa-siapa, tapi untuk menjadi seseorang yang berani kembali.”

Berani kembali, kepada diri sendiri, kepada orang tua yang kita tinggalkan demi ambisi, kepada kampung halaman yang kita anggap remeh, kepada suara Tuhan yang pernah kita abaikan, dan kepada kebenaran yang sering kita kompromikan demi kekuasaan, uang, atau kebanggaan semu. Inilah inti dari perjalanan batin penyair, kembali, bukan hanya sebagai nostalgia, tapi sebagai pertobatan yang tak selalu harus diumumkan dengan lantang.

Di tengah dunia yang semakin gaduh, sajak-sajak ini justru memilih diam yang getir. Ia tidak berteriak, tapi menggugah. Ia tidak menuntut, tapi menyentuh luka. Di tengah masyarakat yang sibuk menciptakan sejarah palsu, puisi-puisi dalam buku ini menegaskan, bahwa yang abadi bukanlah siapa yang berkuasa, tapi siapa yang berani menyimpan kebenaran di dalam puisi. Bahwa tanah yang dikhianati akan menagih. Bahwa air yang diracun akan bicara. Bahwa kampung halaman bukan sekadar tempat, tapi ruh yang akan terus menggigil bila dilupakan.

Dan karena itu, Tilas Perjalanan bukan penutup. Ia adalah tapak. Sebuah isyarat, bahwa siapa pun yang membaca harus memilih, akan terus menjadi barang belum jadi, yang pasrah di hadapan zaman, atau akan melangkah meski tertatih, menjemput arti. Kelak, bila waktunya tiba dan malaikat datang memanggil, kita tidak ditanya seberapa hebat kita hidup, tapi seberapa dalam kita mencintai tanah, manusia, dan Tuhan.

Udo Z. Karzi ingin menyampaikan pesan dalam puisinya, di ujung perjalanan, masih ada jalan pulang, dan di situlah, setiap perjalanan akan bermuara, pulang: ke tanah, ke Ilahi. []


Bandar Lampung, 29 Juni 2025

 

--------------
Erina Pane, pembaca dan penikmat puisi, akademisi  UIN Raden Intan Lampung.

*Ditulis sebagai Epilog untuk buku puisi “Kesibukan Membuat Sejarah” karya Udo Z Karzi (dalam proses terbit).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar