Oleh Erina Pane
TIDAKLAH mudah memberi catatan rangkaian 100 puisi dalam Kesibukan Membuat Sejarah yang bernas karya sahabat saya ini. Buku puisi ini terbagi dalam tiga bagian: Tilas Perjalanan, Tilas Muasal, dan Tilas Negeri. Tapi, saya lebih suka menyebut semua puisi dalam buku ini sebagai tilas perjalanan panjang dari penyairnya sejak lahir, sekolah, kuliah bekerja hingga melewati usai setengah abad lebih, meskipun linimasa puisi yang tertera tahun 1987 yang paling lama dan tahun 2025 yang paling baru.
Saya sangat menikmati semua puisi, tetapi saya
memiliki keterbatasan untuk membicarakan satu per satu puisi yang terhimpun
dalam buku ini. Kata demi kata, larik demi larik, bait demi bait dalam
keseluruhan tubuh puisi terpadu dalam religiusitas, lokalitas, dan
politis-kritis penulis, yang disusun dalam nada reflektif, puitik, dan penuh
perenungan.
***
Sajak seperti “Kesibukan Membuat Sejarah”, “Liwa”, “Kidupan”, dan “Sejarah Hari Ini” bekerja di antara lapisan kritik sosial, memori kolektif, dan keberpihakan ekologis-kultural. Ia menolak logika pembangunan yang mengorbankan nilai-nilai lokal dan pengalaman sejarah rakyat kecil. Dengan diksi yang konkret dan metafora yang kuat, puisi-puisi tersebut menjadi narasi perlawanan terhadap kekuasaan yang menghapus masa lalu demi masa depan yang seragam dan tak berakar. Ada ketegangan antara hari ini—simbol kondisi kontemporer yang tengah berlangsung—dan sejarah—jejak masa lalu yang seharusnya diwarisi. Udo Z Karzi ini hendak menunjukkan bahwa sejarah bukan sekadar masa lalu, melainkan medan kontestasi antara memori kolektif dan kuasa dominan yang berusaha memutuskannya.
Dalam beberapa puisi lainnya, Udo Z Karzi berbicara tentang rumah, kampung halaman, pulang, dan kematian. Saya comot sajak "Kalau Kelak Kupulang" yang kontemplatif dan eksistensial yang menawarkan refleksi mendalam tentang makna kepulangan, keberadaan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang dilupakan dalam kehidupan modern.
Puisi ini menjadikan
“kepulangan” bukan sekadar kembali secara fisik ke suatu tempat, melainkan
sebagai metafora eksistensial: kembali ke akar kemanusiaan, nilai-nilai hakiki,
bahkan ke asal-muasal spiritual. Tiap bait
memulai dengan repetisi: “kalau kelak kupulang…” Repetisi ini membangun
irama litani, menyerupai doa atau janji yang mengandung renungan personal
sekaligus visi kolektif. Kepulangan bukan akhir, tetapi permulaan untuk hidup
yang lebih bermakna.
Setiap bait dalam puisi ini
mengandung dua unsur: arah kepulangan dan tujuan etis atau spiritual dari
kepulangan itu. Analisis progresi tematis menunjukkan pergerakan dari:
ladang → kehidupan
tanah → hayati (biotik)
air → keadilan
kampung → kebersamaan
nurani → kemanusiaan
Ilahi → kefanaan
Ini membentuk sebuah
struktur menaik—dari unsur-unsur bumi menuju kesadaran nurani dan akhirnya
ketundukan pada Yang Transenden. Maka puisi ini dapat dibaca sebagai perjalanan
spiritual yang holistik: ekologis, sosial, dan teologis.
Meski tidak secara eksplisit
mengecam, puisi ini menyiratkan kritik terhadap keterasingan manusia modern
dari alam, komunitas, dan nilai-nilai moral.
> “aku ingin kembali
ke ladang / menumbuhkan kehidupan yang lebih abadi”
> “aku bakal kembali ke
kampung / merawat kebersamaan yang lebih hakiki”
Dalam dunia modern yang sarat
fragmentasi, alienasi ekologis, dan individualisme, puisi ini justru menawarkan
visi alternatif tentang hidup yang berakar, bersatu, dan bersahaja.
Diksi puisi sangat sederhana,
tetapi justru dari kesederhanaan itu lahir kekuatan filosofis. Kata-kata
seperti ladang, tanah, air, kampung adalah simbol kedekatan manusia dengan
ruang hidup yang konkret dan penuh makna. Puisi ini terhubung dengan kebijaksanaan lokal, semacam spiritualitas
bumi (earthly spirituality) yang tidak dogmatis tapi sangat humanis.
Dan, bait penutup: “aku
pasti kembali ke Ilahi / menjadi makhluk lemah / yang sungguh fana” menandai
penyerahan total—suatu bentuk pengakuan akan kefanaan yang bukan membuat
manusia kalah, tetapi justru membuatnya lebih manusiawi. Ini adalah semacam
antitesis terhadap egoisme zaman, di mana manusia lupa batas dan asalnya.
Boleh dibilang, "Kalau
Kelak Kupulang" adalah puisi reflektif dan berwatak kontemplatif yang
memuat kritik halus terhadap krisis spiritual, ekologis, dan sosial dunia
modern. Puisi ini menghadirkan semacam peta jalan pulang—ke alam, ke sesama, ke
nurani, dan akhirnya ke Tuhan. Dengan gaya yang tenang dan diksi yang
bersahaja, puisi ini mampu menghadirkan gugatan etis sekaligus ajakan
spiritual: bahwa dalam dunia yang semakin gaduh dan terpecah, manusia hanya
akan menemukan keutuhan dirinya jika ia berani “pulang” ke nilai-nilai dasar
yang abadi.
***
Hidup, sebagaimana
puisi-puisi dalam buku ini, adalah perjalanan yang tidak selamanya lurus dan
nyaris tak pernah selesai. Saya menyaksikan dalam tiap
baitnya, seorang penyair yang menengok ke belakang bukan untuk sekadar
mengenang, tapi untuk mengukur, sudah sejauh apa ia berjalan, sejauh mana luka
ditanggung, dan seberapa dalam suara Tuhan sempat ia dengar di tengah bising
dunia.
Tentang Tilas Perjalanan, ia bukanlah sekadar puisi
tentang kenangan masa muda yang resah, cinta yang tidak selesai, atau rindu
yang tidak sampai. Ia adalah rekaman batin yang gelisah karena sadar, hidup ini
bukan milik kita sepenuhnya. Bahwa ada Tuhan yang diam-diam selalu hadir dalam
setiap langkah yang gontai, setiap harap yang nyaris padam, dan setiap
kesadaran yang tumbuh dari kegagalan.
Udo Z. Karzi tidak menulis dari
menara gading. Ia menulis dari tanah liat yang menempel di kaki petani, dari
kopi yang menguap harum di dapur-dapur panggung di Liwa, dari jalanan berliku
Negarabatin yang pernah menyimpan kelahiran dan kesendirian. Dalam setiap
puisinya, saya mencium aroma tanah basah setelah hujan, melihat kabut
menyelubungi Gunung Pesagi, dan mendengar desir angin dari jalan-jalan setapak
yang mengantar anak-anak desa ke ladang atau ke sekolah atau ke kota yang
kemudian melupakan mereka.
Tapi di balik yang lokal itu,
ada kegelisahan yang universal, tentang makna hidup yang tak kunjung jadi,
tentang iman yang sering kabur, tentang nurani yang pelan-pelan menjauh, dan
tentang kematian yang datang sebagai perintah pulang, bukan hukuman. Seakan
semua bait ini ingin berkata: “Kita lahir bukan untuk menjadi siapa-siapa, tapi
untuk menjadi seseorang yang berani kembali.”
Berani kembali, kepada diri
sendiri, kepada orang tua yang kita tinggalkan demi ambisi, kepada kampung
halaman yang kita anggap remeh, kepada suara Tuhan yang pernah kita abaikan,
dan kepada kebenaran yang sering kita kompromikan demi kekuasaan, uang, atau
kebanggaan semu. Inilah inti dari perjalanan batin penyair, kembali, bukan
hanya sebagai nostalgia, tapi sebagai pertobatan yang tak selalu harus
diumumkan dengan lantang.
Di tengah dunia yang semakin
gaduh, sajak-sajak ini justru memilih diam yang getir. Ia tidak
berteriak, tapi menggugah. Ia tidak menuntut, tapi menyentuh luka. Di tengah
masyarakat yang sibuk menciptakan sejarah palsu, puisi-puisi dalam buku ini
menegaskan, bahwa yang abadi bukanlah siapa yang berkuasa, tapi siapa yang
berani menyimpan kebenaran di dalam puisi. Bahwa tanah yang dikhianati akan
menagih. Bahwa air yang diracun akan bicara. Bahwa kampung halaman bukan sekadar tempat, tapi ruh yang akan terus menggigil
bila dilupakan.
Dan karena itu, Tilas
Perjalanan bukan penutup. Ia adalah tapak. Sebuah isyarat, bahwa siapa pun yang
membaca harus memilih, akan terus menjadi barang belum jadi, yang pasrah di
hadapan zaman, atau akan melangkah meski tertatih, menjemput arti. Kelak, bila
waktunya tiba dan malaikat datang memanggil, kita tidak ditanya seberapa hebat
kita hidup, tapi seberapa dalam kita mencintai tanah, manusia, dan Tuhan.
Udo Z.
Karzi ingin menyampaikan pesan dalam puisinya, di ujung perjalanan, masih ada
jalan pulang, dan di situlah, setiap perjalanan akan bermuara, pulang: ke
tanah, ke Ilahi. []
Bandar
Lampung, 29 Juni 2025
--------------
Erina Pane, pembaca dan penikmat puisi, akademisi UIN Raden Intan Lampung.
*Ditulis
sebagai Epilog untuk buku puisi “Kesibukan Membuat Sejarah” karya Udo Z Karzi
(dalam proses terbit).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar