Peluncuran dan Diskusi Lampung Tumbai. | Rikman/Fajar Sumatera |
Antropolog Frieda Amran menegaskan hal itu saat peluncuran bukunya, Meniti Jejak Tumbai di Lampung: Zollinger, Kohler, PJ Veth–Lampung Tumbai 2015 di Pusat Dokumentasi Lampung (PDL) Jalan Imam Bonjol No. 28A Langkapura, Bandarlampung, Sabtu (14/10/2017).
Buku ini seri kedua dari Lampung Tumbai. Sebelumnya, terbit buku Frieda yang berjudul Mencari Jejak Masa Lalu Lampung: Lampung Tumbai 2014 (2015 dan edisi kedua 2016).
“Yang saya harapkan dari Lampung Tumbai atau sekarang Lappung Beni di Fajar Sumatera yang kemudian dihimpun dalam dua buku yang terbit 2015 dan 2017 ini adalah ada tanggapan dari orang Lampung yang menulis dalam bentuk artikel, bahkan buku, tidak semata komentar di media sosial,” kata penulis yang bermukim di Belanda ini.
Tentu, kata Frieda, yang paling tahu tentang Lampung, orang Lampung sendiri. Karena itu sangat bagus bagi orang Lampung untuk menuliskan tentang dirinya. Dengan begitu, catatan Belanda itu mendapat konfirmasi dan sanggahan dari pemilik kebudayaan Lampung sehingga menjadi lebih obyektif.
Menurut dia, untuk menerbitkan buku tak harus bergantung pada sumber uang. Dia juga berusaha sendiri untuk bisa menerbitkan beberapa bukunya. “Saya menerbitkan buku-buku ini juga tak ada hepengnya (uang). Modalnya saya mengutang dulu. Ketika buku terbit, uang penjualan dipakai untuk membayar hutang, sisanya untuk menerbitkan buku selanjutnya,” ujar Frieda.
Acara Peluncuran dan Diskusi Buku ini dihadiri juga sastrawan Ari Pahala Hutabarat, Rahmad Sudirman dan Alexander GB, akademisi Oki Hajiansyah Wahab dan Bartoven Vivit Irsan, pekerja seni Conie Sema, penggiat literasi Endri Kalianda dan Ikhsan Aura, serta 40-an peserta dari berbagai kalangan.
Sementara Ketua Umum Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) Nasir Tamara yang juga menjadi pembicara mengatakan, dengan sumber daya yang luar biasa dalam kuantitas dan kualitas, penulis Lampung berpeluang besar untuk go nasional bahkan go internasional.
Hadirnya Satupena sebagai sebuah organisasi para penulis lintas genre, lintas daerah, dan lintas usia, kata dia, bisa memberikan kesempatan bagi para penulis menerbitkan bukunya tanpa memikirkan sumber dana, dan persoalan lain-lain.
“Tujuan Satupena ini untuk membantu berkembangnya literasi di Indonesia, meningkatkan mutu kepenulisan, meningkatkan kesejahteraan para penulis, dan membuat karya-karyanya lebih dikenal di seluruh dunia, melalui residensi, penerjemahan buku-bukunya, juga berkesempatan mendapatkan hadiah-hadiah termasuk hadiah nobel. Artinya penulis di Lampung juga berpeluang besar,” kata dia.
Menurut jurnalis senior itu, para penulis yang bergabung dengan Satupena akan mendapat banyak fasilitas. Misal, beasiswa, subsidi karya, pajak dikurangi, BPJS kesehatan, dan lain-lain.
“Kepengurusan di Lampung segera terbentuk. Usulannya, Wakil Bupati Tulangbawang Heri Wardoyo yang akan jadi ketuanya, dan sekretaris Udo Z Karzi,” ujarnya.
Nasir Tamara yang terpilih sebagai Satupena dalam kongres perdana di Hotel Aston Solo, 26-29 April 2017. Pria kelahiran Telukbetung, Bandarlampung, yang juga pendiri Republika itu akan memimpin Satupena hingga 2021. (RM)
Sumber: Fajar Sumatera, 15 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar