Kamis, 23 November 2017

Buku tanpa Editor Bukan Buku!

Oleh Udo Z Karzi


MEMBACA status Adam Yudhistira soal "dedek gemes" baru tadi, dan kemudian masuk ke artikel "Jalur Instan Itu Bernama Kedodolan" yang ia sodorkan; saya coba bikin oret-oretan ini.

***

Saya mulai dengan kabar gembira ini. Dikisahkan, Lampung Post menjadi koran berbahasa Indonesia terbaik kelima nasional. Untuk kesekian kalinya koran ini menjadi koran berbahasa Indonesia terbaik se-Sumatera. (Klik: Lampung Post Koran Berbahasa Indonesia Terbaik Kelima Nasional)

Terkait berita ini, saya bikin status begini: "Selamat dan sukses kepada Lampung Post menjadi koran terbaik berbahasa Indonesia di luar Jawa. Sebagai alumni Lampost tentu saya ikut bangga. Tabik."

Tersebutlah, 10 Media Massa Berbahasa Indonesia Terbaik 2017: Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Bisnis Indonesia, Jawa Pos, Lampung Post, Republika, Warta Kota, Tribun Jabar, Suara Pembaruan, dan Banjarmasin Post.

Mengapa bahasa Indonesia sebuah koran baik? Tidak lain dan tidak bukan karena peran redaktur, baik redaktur yang menjadi penanggung jawab halaman maupun redaktur bahasa yang memelihara ketertiban berbahasa Indonesia di koran-koran ini.

Sebuah guyonan saja. Ada wartawan yang berhasil memenangkan lomba penulisan //feature//. Redakturnya langsung memanggil wartawannya.

"Selamat ya. Tapi, tulisanmu mana menang kalau tidak saya edit. Jadi, 50% hadiah buat redaktur dong," kata Sang Redaktur.

"Enak aja. Kan memang tugas Abang yang bagusin tulisan," sahut wartawan sambil tertawa.

Yang ingin saya bilang, tugas redaktur di media sangat penting dalam memuliakan bahasa Indonesia.

***

Suka baca dan lama bekerja di media, apa boleh buat, membuat selera bahasa Indonesia saya lumayan bagus. Karena itu, saya agak risih membaca tulisan yang abai dengan tata bahasa, teledor dalam ejaan, dan miskin kosakata.

Dan, itulah yang terjadi ketika saya disodorkan beberapa buku. Kebetulan terbitan indie. Kalimat-kalimat ribet berbelit-belit, paragraf panjang yang berisi hanya satu kalimat, hubungan antarkalimat, antarparagraf yang tidak sinambung, kesalahan tanda baca di sana sini, diksi kedodoran, dst.

Tidak semua terbitan indie buruk. Tetap ada yang bagus kok. Utamanya, buku-buku saya. Heheee...

Kebiasaan saya ketika membaca majalah atau media baru, pertama-tama saya lihat siapa di belakang meja (redaksinya). Nama-nama itu menjadi jaminan mutu majalah atau media bersangkutan: isi (content)-nya dan terutama kualitas bahasanya.

Untuk buku, saya suka membuka riwayat buku di balik judul utamanya. Penulis sudah ketahuan di sampul buku. Di situ saya mencari siapa editor (sering juga disebut penyunting) buku. Saya langsung kecewa ketika tidak menemukan nama editor. Sering juga editor ditulis "tim ..." Waduh, mengedit buku kok ramai-ramai ya? Dan, benar... ketiadaan editor atau editornya tim, membuat amburadul bahasa Indonesia buku yang coba saya nikmati. Wajar saja tidak ada yang bertanggung jawab tentang content dan bahasa, selain penulisnya.

Di situlah, saya suka sedih. Bikin buku kok tidak melalui penyuntingan. Saya suka mengingat-ingat kata seorang pengarang (saya lupa namanya, maklum dah tua hehee...) Kata dia, "Buku tanpa editor itu bukan buku."

Pada intinya, tugas editor atau penyunting, yaitu menyiapkan naskah agar siap cetak atau siap terbit dengan memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, dan bahasa (ejaan, diksi, dan struktur bahasa).

Meskipun kerja editor atau penyunting itu tidak populer, ia mempunyai posisi penting dalam dunia perbukuan. Penulis sehebat apa pun tidak mungkin mengabaikan editor.

(Catatan: Jarang (tidak boleh?) terjadi lebih ngetop editornya ketimbang penulis! Kerja editor itu lebih sunyi lagi dari penulis. Beberapa buku (terbitan indie?) yang saya baca, kok terkesan menenggelamkan penulis dan menonjolkan Sang Editor. Ini gak bener juga.)

Steven King menuliskan Prakata Ketiga dalam bukunya, Steven King on Writer yang secara khusus ditujukan pada editor buku-bukunya. "Salah satu yang tidak dinyatakan secara langsung di tempat lain dalam buku ini adalah 'Editor selalu benar'. Akibatnya, tidak ada penulis yang mau menerima semua saran dari editor; sebab semua punya dosa dan tidak sempurna. Dengan kata lain, menulis adalah pekerjaan manusia, mengedit adalah pekerjaan dewa. Chuck Veril mengedit buku ini, seperti juga mengedit novelku yang lain. Dan seperti biasa, Chuck, kau memang dewa," tulis Steven.

Jadi, sudah selayaknya kita menempatkan redaktur, editor atau penyunting pada posisi terhormat yang setepatnya dalam dunia kreatif dan dalam proses publikasi karya tulis kita.

Tabik.


Udo Z Karzi, editor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar