RIBUAN manusia memadati jalan utama Pekon Gunungterang, Kecamatan Airhitam, Lampung Barat. Para pengunjung tersebut sengaja datang untuk menikmati kopi Lampung Barat dalam sebuah Festival Ngupi Pai (Minum Kopi Dulu).
Pekon Gunungterang sendiri adalah basis penghasil kopi terbesar di Lampung, selain Pekon Rigisjaya yang ada di Lampung Barat, Provinsi Lampung.
Di sepanjang jalan deretan rumah adat masyarakat Lampung tampak sangat terawat. Rumah panggung dari kayu itu, berjajar rapi memamerkan kekhasan sebagai warisan dari nenek moyang Ulun Lampung. Di depan rumah warga tersebut, tersedia bangku, tikar, dan tempat duduk lainnya. Pengunjung bebas memilih singgah di manapun untuk menikmati seduhan kopi yang disuguhkan gratis oleh warga. Jajanan tradisional pun tak luput dihidangkan. Ada pisang goreng, sekubal, dan sebagainya.
Tiga paragraf di atas tentu bukanlah bagian dari liputan Festival Kopi, acara yang pernah diselenggarakan pada tanggal 21 Juli 2018 oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat. Acara yang konon didedikasikan untuk mengenalkan wisata kopi robusta Lampung, bukan pula pengantar menjelang Festival Kopi 2019 yang akan diselenggarakan pada tanggal 9-10 Juli esok di Pekon Rigisjaya.
Paragraf-paragraf di atas adalah sekelumit fantasi liar saya, saat membaca pengantar yang ditulis oleh Bupati Lampung Barat, Parosil Mabsus, Indonesia Negeriku, Lampung Barat Kopiku, dalam buku Ngupi Pai: Sesobek Kecil Ulun Lampung karya Udo Zulkarnain Zubairi, yang kebetulan juga menjadi tema festival kopi yang akan dihelat dalam beberapa hari ke depan.
Mengapa Festival Ngupi Pai bukan Festival Kopi, sebagaimana judul gelaran yang telah berlangsung dua kali itu? Ya, suka-suka saya! Bukan, bukan semata itu. Saya merasakan pemilihan kata, Festival Ngupi Pai lebih kuat akar tradisi ke-Lampung-annya, tepatnya ada peraduan dan perpaduan mesra antara modernisme dan tradisi.
Festival mewakili kemodernan (terlepas apakah Anda setuju atau menolak). Kemodernan, saya anggap sebagai konsep kekinian yang menghubungkan manusia dengan alam sekitarnya, dan tentu festival adalah termasuk dari konsep kekinian itu. Dan ngupi pai adalah tradisi (adat, kebiasaan) orang Lampung an sich, karena orang di luar Lampung tentu tak mengenal istilah ngupi pai meski mereka juga suka meminum kopi.
Mengadu dan memadukan antara festival dan ngupi pai atau antara kemodernan dan tradisi, lekat harapan kegiatan festival itu tak hanya akan menjadi acara yang mengenalkan Lampung Barat sebagai daerah penghasil kopi, mengundang wisatawan datang ke Lampung, menggerakkan sektor riil dan menaikkan pendapatan asli daerah, melainkan juga mengenalkan keluhuran budaya dan tradisi Lampung.
Festival Ngupi Pai dalam imajinasi saya adalah gelaran besar tahunan yang menjadi momentum untuk mengembalikan spirit sakai sambayan, nemui nyimah dan nengah nyeppur, tentu tanpa harus meninggalkan dan menanggalkan ‘jualan kopi’. Oleh karena itu, dalam paragraf awal saya berfantasi tentang sebuah even yang berisi aktivitas warga yang menyediakan tempat duduk, bangku atau tikar di depan rumahnya dengan suguhan kopi dan jajanan khas Lampung, mempersilahkan pengunjung untuk singgah menikmati seduhan kopi yang disediakan gratis.
Meskipun saya belum membaca isi buku yang saya lebih sukai, jika judulnya Ngupi Pai: Cabik Lunik Ulun Lampung itu, selain dari beberapa informasi penggalan kata-kata untuk promosi buku tersebut di media sosial, tetapi saya ‘cukup’ mengenali Udo Zul sebagai sosok yang tak terlalu menggandrungi acara serimonial, tak menyukai keruwetan dan kerumitan. Untuk itu saya berani menebak, bahwa dalam bagian (entah kecil atau besar porsinya) pastilah berisi seruan untuk segera mengkhatamkan semua masalah cukup dengan meminum kopi dulu, ngupi pai. Meminum kopi sebagai tradisi yang lekat dengan kehidupan orang Lampung dari dulu.
Semuka dengan tebakan tentang isi buku tersebut, saya juga meyakini Udo Zul juga bukanlah termasuk orang yang menggemari sebuah festival mewah, semarak tapi nihil pesan dan nilai, terlebih jika festival itu justru menjauhi unsur-unsur budaya Lampung. Jika tebakan ini salah, maka saya sampaikan mahap. Intinya, tulisan ini sesungguhnya hendak ‘memaksakan’ fantasi saya soal festival yang niscaya memuat nilai-nilai lokal.
Ngalimpuro, Tabik Pun.
Sumber: Omah1001.com, Sabtu, 6 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar