Oleh Giorgio Babo Moggi |
Sedikit orang yang mau menulis kisah kehidupan semasa kuliahnya. Kehidupan itu meliputi dalam dan luar kampus. Rajutan kisah dirinya dengan dosen, mahasiswa atau masyarakat sekitarnya.
Budiyanto Dwi Prasetyo, satu dari sekian sedikit orang yang merelakan waktu untuk menulis kisah persahabatannya seperti yang sampai ke tangan pembaca dalam kemasan buku mungil Moka!Moka!Moka! -- Sebuah Cerita Tentang Seorang Sahabat.
Moka! Moka! Moka! sedang di tangan pembaca (Foto: Arnika Julistia) |
Meskipun sebuah cuplikan, potongan-potongan kejadian tersebut merupakan satu kesatuan perisitiwa yang terajut secara utuh dan tak terlepas satu sama lain.
Saat menerima buku dari sang penulis, sesungguhnya, saya menyimpan rasa penasaran dengan judul buku ini - Moka!Moka!Moka! Satu kata yang dirangkaikan secara berulang-ulang. Tiga kali.
Bayangan kopi "mocca" pun langsung tersangkut di benak saya. Dugaan saya makin kuat mengingat sang penulis adalah penyuka kopi. Apakah benar "moka" yang dijadikan judul bukunya, ada kaitan dengan salah satu jenis produk kopi sasetan itu?
Rasa penasaran saya akan judul buku ini tak diutarakan kepada penulis. Melalui messenger, saya hanya menyampaikan pesan.
"Saya pesan satu, bro." Tulis saya segera setelah membaca postingan di halaman Facebook-nya.
Buku tersebut diantarnya ke kantor saya. Kami meet up di kantin yang terletak di basement Gedung Sasando. Budi bertemu pula Delys Abineno yang sebenarnya lebih dahulu memesan buku melalui thread status Budi di Facebook. Sejam lebih di sana. Kami duduk dan bercerita. Bernostalgia. Mengomentari usahanya untuk menerbitkan buku ini tetapi tidak sampai ke isinya.
Saya bilang momentum penerbitan bukunya tepat. Sambutan pembaca luar biasa. Menulis sesuatu yang biasa apa lagi yang luput dari perhatian orang banyak kerap memiliki nilai jual tinggi dan diburu orang kala orang tersadar setelah ada yang menulisnya.
Saya mengenal Budi sejak 8 tahun silam. Kala itu, kami tergabung dalam kelas English Language Training Assisstance (ELTA) -- IELTS Preparation, Progam Kerjasama IALF Bali, Australian Awards dan Undana Kupang. Kami berada dalam satu kelas. Tiga bulan lamanya kegiatan itu kami lalui. Waktu yang relatif singkat, tapi hubungan kami akrab.
Budi yang berasal dari Tangerang, yang belum lama berkarya di NTT, begitu mudah melebur dengan sebagian besar kami yang berasal dari NTT. Kemampuan adaptasinya luar biasa. Apakah ini efek dari ilmu sosiologi yang ditekuninya? He he he. Budi yang lebih tahu itu.
Dari Kupang, kebersamaan kami berlanjut di Denpasar. Melewati Pre Departure Training (English Academic Prepration) selama 6 bulan sebelum berangkat ke Australia. Kami tinggal dalam induk kos yang sama.
Kamar kami pun bersebelahan. Sehingga saban hari, entah pagi, siang atau malam, kami selalu berinteraksi. Keberasamaan itu pula memungkinkan saya mengenal keluarga kecilnya , istri dan anaknya, Cesar.
Relasi sosial yang dekat ini, kehadirannya dapat mempengaruhi saya dalam mengambil keputusan studi. Soal pemilihan kampus. Semula saya begitu kuat memilih Swinburne Technology University di Melbourne (pilihan utama) dan Flinders University di Adelaide (preferensi kedua), justeru berpindah ke James Cook University Townsville (yang tidak masuk dalam bayangan saat melamar beasiswa AAS sebelumnya).
Itu terjadi karena prospektus yang didapatkannya dari Information Day di Sanur yang kemudian dipinjamkan kepada saya. Dirinyalah yang memungkinkan saya untuk melamar James Cook University.
Saya menghubungi pihak kampus melalui email dan mendapatkan sambutan luar biasa. Sebuah kalimat yang disertai di setiap email dari kampus, "a fantastic Uni and amazing place in the world". Kalimat ini selalu terpatri di benak saya. Kerap menjadi candaan saya dengan Budi pada waktu chatting atau perjumpaan.
Saya pun jatuh cinta dengan kampus ini, kota ini dan rela meninggalkan Budi yang sejatinya dalam rancangan awal, kami bakalan sekampus di Adelaide, jika saya gagal pada pilihan kampus pilihan pertama yang di Melbourne itu.
Meskipun kami berbeda kampus. Berbeda kota. Jalinan komunikasi kami terus berjalan. Bahkan sekembali ke tanah air, kami selalu kontak dan kopdar serta diskusi soal tulisan hingga menerbitkan buku.
Sehingga mendengar ia akan menerbitkan buku, saya menyambutnya dengan bangga. Bukan apa-apa. Di mata saya, Budi adalah sosok yang produktif menulis di hampir semua media. Karena itu, ketika ia memosting bukunya di Facebook, saya langsung memesannya.
Pertemuan kami di basement Gedung Sasando mengulang kisah kami di IALF Bali. Kebiasaan kami menyeruput kopi di kantin IALF sebelum memulai kelas.
Atau, meneguk kopi sore di teras kos sambil memandang sunset yang mengubah warna langit Denpasar seperti terbakar. Atau, meneguk kopi di beranda, sambil belajar IELTS bersama-sama.
Saat itulah, Budi tak pernah diam. Ia mengambil kamera dan mengabadaikan setiap momentum alam. Ada saja yang dipotret. Mulai sunset hingga bola embun yang bergulir di kelopak bunga.
Tanpa disadari dan diketahuinya, karya-karya fotografinya menjadi sumber inspirasi saya menulis puisi. Bunga di Taman, sebuah puisi yang terinspirasi dari foto sepohon mawar yang diambilnya di depan kamarnya.
BUNGA DI TAMAN
ada bunga di taman
kutatap setiap fajar tiba
tapi tak mampu kujamah
karena bukan yang kutanam
bunga itu indah mekarnya
rupawan dandanannya jelang fajar merekah
butiran embun taburi setiap kuntumnya
bagaikan mutiara berkilauan manjakan mata
bunga itu merah mudah warnanya
paduan rupa menawan dengan hijau daunnya
tanpa duri di dahannya gelorakan hasrat meraihnya
tapi itu tak mungkin karena bukan kupunya
bunga itu segar biaskan embun meronakan pelangi di mata
alirkan energi hasrat untuk memandang berlama-lama
memacu langkahku untuk mendekat
tapi itu tak mungkin karena bukan yang kurawat
bunga itu aromanya menggoda
alihkan mata tertuju padanya
hasrat untuk merengkuh lalu mendekapnya
tapi itu tidak mungkin karena bukan milikku jua
bunga itu cantik nian rupanya
dia hanya penghias angan ketika rinduku padanya tiba
Kos Pakuk Sari, Denpasar, 12 Mei 201
Saya baru membaca bukunya tiga hari setelah pertemuan kami di basement Gedung Sasando. Di pertengahan buku, saya menemukan jawaban rasa penasaranku. Ternyata, moka merupakan akronim dari Mal Kartini, pusat perbelanjaan di kota Bandar Lampung. Akronim ini dibuat oleh para kondektur.
Hal ini mengingatkan penulis pada masa kuliah di Yogya. Setiap kali saya, orang tua atau ibu hamil yang hendak turun bus, sang kondektur selalu berteriak "Anggur! Anggur! Anggur!" Sang sopir kontan menghentikan mobil.
Ternyata sebutan "Anggur" diambil dari kata "anggur orang tua" (brand minuman beralkohol). Dengan berteriak "Anggur!Anggur!Anggur!" langsung merujuk pada penumpang penyandang disabalitas, orang tua atau ibu hamil supaya sopir lebih berhati-hati menaikan atau menurunkan penumpang.
Sebagaimana judulnya. Moka! Moka! Moka! Sebuah Kisah tentang Seorang Sahabat. Buku ini menghadirkan dimensi dan perspektif tentang teman, kawan dan sahabat.
Tiga kata ini sangat familiar di telinga kita. Ketiga kata itu pun memiliki makna yang mirip. Jikalau ada kemiripan, artinya ada perbedaannya. Apa sih bedanya teman dan kawan? Kawan dengan sahabat? Di awal buku ini, sang penulis menarik batas secara tegas yang menunjukkan perbedaan makna ketiga kata tersebut.
Dalam terang pemikiran sang penulis, "Teman alias Tergantung Manfaat". Teman bisa siapa saja. Orang asing sekalipun. Musuh sekalipun. Semuanya tergantung asas manfaat saat itu.
Level interaksi sosial di atasnya, adalah Kawan alias Karena Relawan. Budi berpendapat kawan adalah sosok yang dapat diandalkan setiap waktu. Untuk menjadi seseorang sebagai kawan membutuhkan seleksi yang ketat dan proses yang panjang. Tapi, seorang kawan, pengalaman pribadinya, datang kala saat senang saja.
Sahabat alias Saling Hangat Berjabat adalah derajat interaksi sosial yang paling tinggi. Seseorang sahabat menjadi satu kesatuan dengan orang lain. Dia akan menjadi satu raga, satu jiwa, dan seia serta sekata.
Terang perspektif ini akan lebih jelas jika anda mendalami bukunya. Yang pasti melalui buku ini, Budi sedang menelanjangkan diri pembaca dalam konteks realitas interaksi sosial.
Apakah pembaca berperilaku sebagai seorang teman, kawan atau sahabat? Setelah membaca buku ini, pembaca akan disadarkan akan posisinya; teman, kawan atau sahabat bagi orang lain atau sebaliknya, orang lain terhadap dirinya?
Buku ini tak hanya mengungkapkan pengalaman sang penulis. Tak melulu hasil refleksi sang pemilik kisah, Budi dan sahabatnya Iin Mariana Febrigitasari.
Penulis membuka tabir realitas pada umumnya yang terjadi pada setiap orang di lingkungan sosial mana saja - orang bersikap dan memposisikan diri sebagai teman, kawan atau sahabat.
Mengikuti alur cerita dalam buku ini, sama artinya menuluri jejak sendiri. Masa kuliah. Apakah kita menemukan sosok teman, kawan atau sahabat di kampus? Atau, kita bersikap dan bertindak sebagai teman, kawan, atau sahabat kepada yang lainnya?
Buku ini hadir sebagai bentuk otokritik pada diri kita yang memiliki motif yang dangkal dalam membangun hubungan atau interaksi sosial dengan orang lain. Mengkritik kita yang mengagungkan material, uang atau harta, dalam merajut pertemanan, perkawanan atau persahabatan.
Kisah penulis dan Iin Mariana Febrigitasari adalah testimoni tentang nilai-nilai persahabatan sejati. Mengedepankan nilai-nilai persahabatan itu sendiri daripada materi atau takaran semu dan hal-hal duniawi.
Mereka hadir menuntun pembaca untuk menemukan dan mengenal dirinya melalui kisah-kisah mereka - apakah kita tampil sebagai seorang teman, kawan atau sahabat dalam keseharian hidup? Pada akhirnya, kita menemukan sarat makna dan filosofi relasi sosial tentang (per)teman(an), (per)kawan(an) dan (per)sahabat(an).
Kita patut sadari, tak mudah seseorang untuk menaikkan level interaksi sosialnya. Dari pertemanan ke level perkawanan, dari perkawanan ke tingkat persahabatan. Karena menjadi seorang sahabat harus menjadi satu kesatuan dengan orang lain yang dijadikannya sebagai sahabat. Dia akan menjadi satu raga, sejiwa, dan satu kata. Kesetiaan seorang sahabat luar biasa. Loyalitas dan totalitasnya tak perlu diragukan.
Semakin tinggi level interaksi sosial, semakin sedikit orang yang mencapai level interaksi tinggi tersebut. Semakin tinggi level interaksi sosial, semakin tinggi kualitas interaksi sosialnya. Per(sahabat)an adalah strata tertinggi dari sebuah interaksi sosial. Karena itu, untuk menggapainya tak mudah, sedikit orang yang dapat mencapainya.
Buku ini layak dimiliki dan dibaca oleh orang-orang yang pernah mengalami dunia kampus bahkan bagi mereka sama sekali tak pernah masuk dunia kampus. Kampus dalam buku ini hanya sebuah kebetulan setting peristiwa ini terjadi. Kisah ini dapat saja terjadi dimana saja. Lingkungan sosial mana saja. Sekolah, tempat kerja dan sebagainya.
Selain itu, keseluruhan peristiwa dalam buku ini dirangkaikan secara simpel baik itu pilihan diksi maupun tata bahasanya. Pembaca mudah melahapnya. Belum lagi, celotehan jenaka yang mengundang tawa. Kadang pula pembaca harus sedikit mengerutkan dahi karena penulis senantiasa menyisipkan perspektif keilmuan, sosiologis khususnya, pada akhir-akhir ceritanya. Tapi, itu tak seberapa dengan sebagian besar kisahnya dipoles dengan sentilan yang memicu tawa. Dengan demikian, kita tak hanya berimajinasi (membayangkan) akan kisah yang ditulis, kita juga mendapatkan sudut pandang baru dalam dimensi keilmuan yang berguna dalam keseharian hidup kita.
Saya jamin pembaca akan tersenyum-senyum sendiri, tertawa dan menepuk dahi karena dialog-dialog yang lucu, peristiwa yang mungkin kita pernah alami, dan percakapan yang lumrah kita alami yang secara kebetulan penulis mengangkatnya kembali dengan gaya tuturnya sendiri.
Lantas, dengan menulis resensi ini tak bermaksud untuk memposisikan diri saya, apakah sebagai seorang teman, kawan, atau sahabat bagi seorang Budiyanto? Saya sulit mendefenisikan hubungan atau relasi saya dengan Budi.
Apakah saya seorang teman, kawan atau sahabat? Tetapi yang pasti, kami memiliki passion yang sama, yakni menulis. Saling menginpirasi. Meskipun jam terbang saya masih di bawahnya, tentu saya berbangga karena kami masih bisa saling berbagi.
Buku ini berpesan kepada pembaca. Bangunlah relasi sosial dengan siapa saja. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. Apakah relasi sosial Anda sebagai bentuk pertemanan, perkawanan atau persahabatan? Karena siapapun diri anda, dalam strata sosial manapun diri anda, anda pasti memerlukan orang lain -- entah sebagai teman, kawan atau sahabat. Bukankah itu hakikatnya anda sebagai makhkluk sosial.
Iin, sahabat Budi, secara ekonomi dibilang mapan bila didamping dengan Budi yang kere dan kerempengan kala itu. Maaf loh, Bud. He he he. Apalah artinya semua itu bila ia hidup menyepi di tengah keramaian. Ia memerlukan kehadiran orang lain sebagai sahabat. Orang yang rela mendengar tanpa berbicara sepatah kata pun. Orang yang sabar mengikuti maunya tetapi tetap memberi jalan keluar dari persoalan hidupnya.
Orang memerlukan orang lain sebagai sahabat daripada sekedar seorang teman atau kawan. Seorang sahabat adalah hubungan dua orang dengan rasa kekasih. Karena itu, kerap takut kehilangan satu sama lainnya bila sudah terjebak dalam perangkap persahabatan. Persahabatan itu abadi. Hingga bumi ini runtuh. Penulis dalam lembaran Tabik menulis.
"Betapa pun banyaknya kata-kata yang telah dituangkan dalam lembaran-lembaran aneh ini, ternyata itu tak cukup membayar berjuta makna soal dalamnya sebuah persahabatan. Buku ini boleh selesai dibaca, matahari boleh berhenti menyala, bumi boleh meledak dan hancur berkeping-keping, jarum jam boleh berhenti berputar, Amerika Serikat boleh menguasai dunia, Indonesia boleh bebas dari korupsi dan Isrofil boleh meniupkan seruling kiamat tetapi persahabatan tak akan bisa diputus oleh segala sesuatu yang mengerikan itu."
Mau tahu di manakah posisi Anda, ya, segera miliki dan baca buku Moka!Moka!Moka! Sebuah Catatan tentang Seorang Sahabat karya Budiyanto Dwi Prasetyo ini.
Selamat membaca! []
Giorgio Babo Moggi, Pegiat Media Sosial
dimuat di Kompasiana, 8 April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar