Oleh Iman Silahi
BILA Hardi Hamzah di harian ini 19 Desember lalu menganalisis pernik-pernik cerpen Udo Z. Karzi dan Elly Darmawanti berjudul Tumi Mit Kota dan Seterusnya secara esensial, penataan pemahamannya lebih pada perlengkapan cerita yang dikisahkan dalam cerita pendek berbahasa Lampung; dalam tulisan ini, penulis sedikit berbeda dengan Hardi dalam konteks esensi.
Jika Hardi mengatakan kosakata terpenggal sebagai metamorfosis bahasa yang membuat buku cerpen berjudul Tumi Mit Kota Kumpulan Cerita Buntak itu menjadi indah, penulis justru melihatnya secara semantik dalam pemahaman universalisme kesusasteraan daerah (dalam hal ini daerah Lampung).
Dari kumpulan cerita pendek itu, Udo Z. Karzi dan Elly Darmawanti sesungguhnya ingin memantapkan kekuatan bahasa Lampung yang lokalis. Dengan kata lain, melalui cerita pendek itu, Udo ingin berbicara bahasa Lampung itu banyak tebersit bahasa yang sederhana, tetapi bermakna, misalnya, di hlm. 47-51 yang bersubjudul Tebinta Nyak di Matamu.
Dalam cerita berjudul Aisah hlm. 3-7 yang ditulis oleh Elly Darmawanti, juga diproyeksikan suatu bahasa, yang menurut penulis kurang naratif, justru cenderung ingin memaksakan agar kita semua memahami bahasa Lampung, ada semacam kaidah paksaan, walaupun mungkin pula memaksakan ilmu itu justru baik adanya.
Ketika cerita pendek mampu melahirkan bahasa yang pembacanya dituntut memahami, inilah sesungguhnya cerpen karya dua penulis Lampung ini, dapat dilihat pada pemaparan jak penerbit. Di situ dipertegas kekuatan pisau analisis seorang Udo Z. Karzi dan Elly Darmawanti, lebih sebagai cerita bahasa Lampung yang menyambungkan estetika berkesusasteraan.
Kesusasteraan, inilah incaran setiap penulis fiksi, novel, cerpen, dan yang lainnya. Namun, kesusasteraan apa? Ini sesungguhnya yang harus dipertanyakan Bung Hardi Hamzah, hal mana penulis tidak temukan dalam opini Hardi tersebut. Bagi suatu cerita pendek, kesusasteraan tidak lain dan tidak bukan menyangkut kegembiraan pembaca sastra dalam bentuk apa pun. Kegembiraan inilah yang sering diharapkan oleh pembaca atau dalam dimensi sastra, lebih tepatnya keteduhan dan kesenangan.
Rasa dan estetika tersebut di ataslah yang penulis rasakan, betapa kumpulan cerita pendek Tumi Mit Kota mengandung makna yang longgar dan luas bagi kelampungan kita. Pernyataan atau pertanyaannya kemudian, mengapa deskripsi dalam kumpulan cerita pendek itu tidak berbahasa lewat tokoh yang satu dengan tokoh yang lain, dalam arti ada semangat dialogis yang dihidupkan dalam cerita bahasa daerah.
Kalaupun ingin dinetralisasi minimalnya semangat diaologis dalam buku tersebut, penulis dapat mengerti karena mentransfer fiksi dalam bahasa daerah yang notabene di tempatnya sendiri secara universal tidak digunakan sehingga keterpautan estetika dengan kesusasteraan tidak begitu terasa. Sebab, ketidakmampuan kita memaknai bahasa Lampung secara esensial. Artinya, kosakata bahasa Lampung hanya dapat dirasakan indah bila penulis cerita mampu menghubungkan antara pikiran fiktif dan realitas keseharian dalam rangkaian cerita, apalagi ini cerita pendek.
Penulis, lebih menarik membandingkannya dengan tulisan pendek yang masih relevan, seperti karya-karya cerpen Putu Wijaya. Lewat judul cerpennya yang juga pendek-pendek, bila Putu menangkap sinyal kesusasteraan lebih mendominasi realitas masyarakat ketimbang khayal, inilah yang kemudian bagus ceritanya, tetapi tidak memunculkan estetika sastra. Inilah titik pembeda yang menonjol antara Putu Wijaya dan Udo Z. Karzi serta Elly Darmawanti, tentu saja bila kita setidaknya telah membaca sedikitnya dua kali cerita pendek ini.
Dalam cakupan yang lebih luas, penulis sangat sepakat kepada Bung Hardi Hamzah yang menitikberatkan, kemajuan kesusasteraan, bahkan kebudayaan Lampung harus dimengerti secara baik oleh penguasa. Bila tidak, sebanyak apa pun kesusasteraan Lampung yang kita rindukan bersama akan sia-sia saja. Cobalah pemerintah terkait mulai menyadari, apa yang dikatakan Bang Udin atau Kiay Oedin tentang Lampungku Bumiku, Lampungku Jiwaku.
Apabila banyak di antara seniman sepakat, kepedulian pemerintah sangat minimal dalam konteks apresiasi, tentu cerpen berjudul Tumi Mit Kota ini penulis anggap sebagai penggugah, baik penggugah untuk seniman maupun pencinta Lampung, apalagi bagi para penguasa yang berkompeten di bidangnya. n
Iman Silahi, Alumnus Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Sumber: Lampung Post, Selasa, 7 Januari 2013
BILA Hardi Hamzah di harian ini 19 Desember lalu menganalisis pernik-pernik cerpen Udo Z. Karzi dan Elly Darmawanti berjudul Tumi Mit Kota dan Seterusnya secara esensial, penataan pemahamannya lebih pada perlengkapan cerita yang dikisahkan dalam cerita pendek berbahasa Lampung; dalam tulisan ini, penulis sedikit berbeda dengan Hardi dalam konteks esensi.
Jika Hardi mengatakan kosakata terpenggal sebagai metamorfosis bahasa yang membuat buku cerpen berjudul Tumi Mit Kota Kumpulan Cerita Buntak itu menjadi indah, penulis justru melihatnya secara semantik dalam pemahaman universalisme kesusasteraan daerah (dalam hal ini daerah Lampung).
Dari kumpulan cerita pendek itu, Udo Z. Karzi dan Elly Darmawanti sesungguhnya ingin memantapkan kekuatan bahasa Lampung yang lokalis. Dengan kata lain, melalui cerita pendek itu, Udo ingin berbicara bahasa Lampung itu banyak tebersit bahasa yang sederhana, tetapi bermakna, misalnya, di hlm. 47-51 yang bersubjudul Tebinta Nyak di Matamu.
Dalam cerita berjudul Aisah hlm. 3-7 yang ditulis oleh Elly Darmawanti, juga diproyeksikan suatu bahasa, yang menurut penulis kurang naratif, justru cenderung ingin memaksakan agar kita semua memahami bahasa Lampung, ada semacam kaidah paksaan, walaupun mungkin pula memaksakan ilmu itu justru baik adanya.
Ketika cerita pendek mampu melahirkan bahasa yang pembacanya dituntut memahami, inilah sesungguhnya cerpen karya dua penulis Lampung ini, dapat dilihat pada pemaparan jak penerbit. Di situ dipertegas kekuatan pisau analisis seorang Udo Z. Karzi dan Elly Darmawanti, lebih sebagai cerita bahasa Lampung yang menyambungkan estetika berkesusasteraan.
Kesusasteraan, inilah incaran setiap penulis fiksi, novel, cerpen, dan yang lainnya. Namun, kesusasteraan apa? Ini sesungguhnya yang harus dipertanyakan Bung Hardi Hamzah, hal mana penulis tidak temukan dalam opini Hardi tersebut. Bagi suatu cerita pendek, kesusasteraan tidak lain dan tidak bukan menyangkut kegembiraan pembaca sastra dalam bentuk apa pun. Kegembiraan inilah yang sering diharapkan oleh pembaca atau dalam dimensi sastra, lebih tepatnya keteduhan dan kesenangan.
Rasa dan estetika tersebut di ataslah yang penulis rasakan, betapa kumpulan cerita pendek Tumi Mit Kota mengandung makna yang longgar dan luas bagi kelampungan kita. Pernyataan atau pertanyaannya kemudian, mengapa deskripsi dalam kumpulan cerita pendek itu tidak berbahasa lewat tokoh yang satu dengan tokoh yang lain, dalam arti ada semangat dialogis yang dihidupkan dalam cerita bahasa daerah.
Kalaupun ingin dinetralisasi minimalnya semangat diaologis dalam buku tersebut, penulis dapat mengerti karena mentransfer fiksi dalam bahasa daerah yang notabene di tempatnya sendiri secara universal tidak digunakan sehingga keterpautan estetika dengan kesusasteraan tidak begitu terasa. Sebab, ketidakmampuan kita memaknai bahasa Lampung secara esensial. Artinya, kosakata bahasa Lampung hanya dapat dirasakan indah bila penulis cerita mampu menghubungkan antara pikiran fiktif dan realitas keseharian dalam rangkaian cerita, apalagi ini cerita pendek.
Penulis, lebih menarik membandingkannya dengan tulisan pendek yang masih relevan, seperti karya-karya cerpen Putu Wijaya. Lewat judul cerpennya yang juga pendek-pendek, bila Putu menangkap sinyal kesusasteraan lebih mendominasi realitas masyarakat ketimbang khayal, inilah yang kemudian bagus ceritanya, tetapi tidak memunculkan estetika sastra. Inilah titik pembeda yang menonjol antara Putu Wijaya dan Udo Z. Karzi serta Elly Darmawanti, tentu saja bila kita setidaknya telah membaca sedikitnya dua kali cerita pendek ini.
Dalam cakupan yang lebih luas, penulis sangat sepakat kepada Bung Hardi Hamzah yang menitikberatkan, kemajuan kesusasteraan, bahkan kebudayaan Lampung harus dimengerti secara baik oleh penguasa. Bila tidak, sebanyak apa pun kesusasteraan Lampung yang kita rindukan bersama akan sia-sia saja. Cobalah pemerintah terkait mulai menyadari, apa yang dikatakan Bang Udin atau Kiay Oedin tentang Lampungku Bumiku, Lampungku Jiwaku.
Apabila banyak di antara seniman sepakat, kepedulian pemerintah sangat minimal dalam konteks apresiasi, tentu cerpen berjudul Tumi Mit Kota ini penulis anggap sebagai penggugah, baik penggugah untuk seniman maupun pencinta Lampung, apalagi bagi para penguasa yang berkompeten di bidangnya. n
Iman Silahi, Alumnus Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Sumber: Lampung Post, Selasa, 7 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar