Tumi Mit Kota, Kumpulan Cerita Buntak Penulis: Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti Penerbit: Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung Cetakan Pertama: I, November 2013 Tebal: v + 74 hlm. |
Dari dulu hingga kini Lampung juga tak memiliki media khuhus berbahasa daerah seperti; di daerah lainnya, misalnya, Jawa Tengah dan Jawa Timur ada Penjebar Semangat, Joyoboyo, Djoko Lodang, Jemparing, Mbangun Tuwuh dan ada beberapa bulletin lainnya. Sementara itu di Jawa Barat ada Cupu Manik, Mangle, dan Ujung Galuh. Sementara itu, tradisi sastra lisan, di Lampung yang merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakatnya, nasibnya juga tak kalah mengenaskan penaka kerakap diatas batu, hidup segan mati tak mau.
Pasalnya, bahasa Lampung sebagai bahasa pengantarnya mulai ditinggalkan oleh penuturnya (baca: penduduk Lampung asli). Ulun (orang) Lampung liyom (malu) menggunakan bahasa ibu, larut dengan bahasa yang dibawa penduduk pendatang (transmigran) atau mereka lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.
Itulah persoalan-persoalan klasik yang mendera dan mengakibatkan sulit bertumbuhkembangnya sastra Lampung, baik lisan maupun tulis.
Sastra modern berbahasa Lampung sendiri baru bisa ditandai dengan kehadiran kumpulan sajak karya Udo Z. Karzi, Momentum (2002) dan Mak Dawah Mak Dibingi (2007)
Karya puisi Udo Z Karzi yang terdapat dalam antologi Momentum dan Mak Dawah Mak Dibingi tidak lagi patuh pada konvensi lama dalam tradisi perpuisian berbahasa Lampung, baik struktur maupun dalam tema. Melalui karyanya, Mak Dawah Mak Dibingi, Udo Z Karzi juga berhasil membukukan prestasi dengan mengunduh Hadiah Sastra Rancage 2008.
Dalam kondisi itu, kehadiran buku kumpulan cerita buntak (cerbun) alias kumpulan cerita pendek (cerpen) berbahasa Lampung bertajuk Tumi Mit Kota karya Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti ini menjadi penting dan berarti.
Terbitnya buku ini bak oase di padang tandus di tengah gempuran globalisasi yang menderas tanpa henti, kekuatan lokal menjadi penting sebagai penanda, karakteristik sekaligus jatidiri. Di tengah langka dan keringnya karya buku sastra berbahasa Lampung ini patut di sambut dengan gembira.dan diapresiasi.
Buku setebal 79 halaman yang diterbitkan Pustaka LaBRAK Bandar Lampung ini berisi 13 cerbun. Tajuk buku Tumi Mit Kota ini sendiri diambil dari salah satu judul cerbun karya Udo Z. Karzi yang mempunyai nama asli Zulkarnain Zubairi. Dalam kumpulan ini Udo Z.Karzi yang kesehariannya menggawangi (redaktur) Opini dan Budaya Harian Umum Lampung Post ini menyumbang tujuh cerbun berjudul Tumi Mit Kota, Tebinta Nyak di Matamu, Aing, Cengkelang, Di Simpang Renglaya, Longan, dan Lawok Sai Rani Sai.Sedangkan Elly Dharmawanti yang kesehariannya fasilitator pemberdayaan di Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan ini menyumbangkan enam cerbun bertajuk Aisah, Pubalang, Angangon, Kumbang Bi Kumbang Kenangan, Muli Tuha, Bebai rek Lawok, dan Pancoran Pitu.Kisah-kisah dalam kumpulan cerbun Tumi Mit Kota ini mengusung beragam tema dari yang sangat lokal hingga yang kontemporer yang dikemas dalam memori budaya dan setting daerah Lampung, berupa kawasan kampung, laut, gunung dan objek wisata. Tema kontemporer ini bisa dilihat dalam karya bertajuk Tumi Mit Kota karya Udo Z. Karzi. (hlm. 39).
Tema urbanisasi yang berdampak terjadinya pergeseran sosial dan budaya juga menjadi persoalan masyarakat lampung. Kisah cerbun ini juga mengangkat persoalan inkulturasi dalam diri Tumi----Tuminingsih--gadis berkultur Jawa tetapi sudah sangat Lampung. Sedangkan tokoh Tumi dibesut oleh Udo juga untuk mengingatkan masyarakat Lampung kalau menurut jejak sejarah nenek moyang ulun (orang) Lampung adalah Buay Tumi atau Suku Tumi yang berasal dari kawasan Bukit Pesagi, Sekala Berak , Lampung Barat, menjadi bidikan Udo Z. Karzi.
Sedangkan tema yang sangat lokal bisa disimak dari karya Elly Dharmawanti bertajuk Pubabang. Cerbun ini mengisahkan permainan yang biasanya dimainkan oleh kakek (orangtua) dan cucunya menjelang tidur.
Coba simak lirik syair permainan ini yang sekaligus dijadikan pembuka cerbun ini : //Cuit pelangkit pelandung sanak pundit/ Dipa pai tupai jeno mit nanjak bubu jurak/ awas keti sanak ano kayu aga rungkak/Lung kiri ilung kanan.// (hlm. 9)
Kehadiran buku yang berisi kisah-kisah yang mengingatkan ini, diharapkan setidaknya bisa memotivasi para sastrawan Lampung untuk menghasilkan karya-karya sastra berbahasa Lampung. Hal ini tentunya juga menjadi tanggung jawab para pemangku kepentingan, jika tak ingin kehidupan sastra Lampung punah dan terus bertumbuhkembang dan eksis.
Akhirnya, terpulang kepada karya sastra itu sendiri, sejauh mana karya yang dituliskan maupun didedahkan masih tetap berharga bertumbuhkembang dan lestari Ada ujaran Lampung yang arif yang diharapkan bisa menyulut semangat sastrawan untuk terus maju berkarya. Mak ram, siapa lagi, mak ganta kapan lagi. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Tabik!
Christian Heru Cahyo Saputro, Editor di Sekelek Institut Publishing House dan Inisiator Taman Bacaan Masyarakat dan Rumah Pengetahuan “Ganesha” Bandar Lampung
• Dimuat di Majalah Esensi Edisi ... 2014 yang diterbitkan Pusat Bahasa Jakarta