Senja hari, ketika matahari telah terbenam penuh keindahan di balik gunung-gunung di sekeliling tasik itu, barulah ia berangkat ke Liwa. Malam sampailah ia di sana....
Keesokan harinya Yusuf pergi mengikuti Sukartono pergi ke Keroi. Jalan yang tiada putus-putus berkelok-kelok menurun menuju ke bawah, hutan yang hijau meliputi lurah dan tebing sepanjang jalan dan akhirnya pemandangan yang dahsyat ke arah lautan Samudra yang biru luas membentang …”
Liwa Kota Berbunga (foto: budhi marta utama) |
Di halaman lain Layar Terkembang ini tertulis: “…telah sering ia memikir apakah sebabnya maka liburan ini lain rasanya dari sediakala. Dan di tengah keindahan alam di perjalanan ke Liwa dan ke Keroi, kegelisahan hatinya itu bertambah, seakan-akan oleh tamasya kepermainan dan kebesaran alam yang dilihatnya …” (Surat Maria kepada Yusuf dalam dalam Layar Terkembang)
Sebelum membahas lebih lanjut tentang jejak literasi Liwa, biar kelihatan ilmiah sedikit, perlu dibahas pengertian dari literasi.
Literasi
Secara sederhana, literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America’s Young Adult mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.
Secara sederhana, literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America’s Young Adult mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.
Sekarang ini, generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain. Wagner (2000) menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya indeks pembangunan manusia. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Untuk keperluan makalah ini saya perlu membatasi bahasan (1) mengenai informasi tertulis tentang Liwa, terutama karya sastra, baik dari penulis yang berasal dari Liwa maupun yang bukan dari Liwa; dan (2) tentang orang-orang Liwa, bisa lahir di Liwa, besar di Liwa atau ada keturunan Liwa yang menggeluti dunia leterer.
Tentang Liwa
Literatur yang lebih tua tentang Liwa adalah Catatan Perjalanan ke Danau Ranau di Pedalaman Krui yang ditulis J. Pattullo di tahun 1820 (ada di buku Malayan Miscellanies Vol II, terbitan Sumatran Mission Press, Bengkulu, 1822), yang diterjemahkan Yulizar Fadli dan dimuat di Jurnal Kebudayaan Akal Volume 1/Januari 2013 hlm. 28-34.
Literatur yang lebih tua tentang Liwa adalah Catatan Perjalanan ke Danau Ranau di Pedalaman Krui yang ditulis J. Pattullo di tahun 1820 (ada di buku Malayan Miscellanies Vol II, terbitan Sumatran Mission Press, Bengkulu, 1822), yang diterjemahkan Yulizar Fadli dan dimuat di Jurnal Kebudayaan Akal Volume 1/Januari 2013 hlm. 28-34.
Perjalanan rombongan J. Pattulo dimulai dari Kroer (Krui) pada 19 September 1820, menginap di dusun Uluh. Sehari kemudian bermalam di Weya Assat (Way Asat), lalu berjalan antara lain ke Pulau Pisang, Lumbok, Surabaya di Banding Ranau, Gunung Seminung, Sukau, Lewah (Liwa), dan kembali ke Krui. Kita kutipkan:
"Pagi hari tanggal 5, kami meninggalkan Sukau ke Lewah (Liwa) di mana kami sampai pada sore hari -- juga tak beruntung selama perjalanan hari ini karena tidak bisa menentukan perjalanan. Dewa Lewah menawarkan sesuatu yang tak berarti. Desa ini terletak sangat rendah dan iklimnya sangat dingin dan lembab....
Lewah diatur seorang Pangeran dari sebelas penasehat ang bekerjasama dengan Kerabat Terhormat. Budaya dan kebiasaan benar-benar sama dengan para penduduk di Lampung lainnya."
Tulisan yang tidak menarik karena agaknya Pattulo kurang mahir memainkan pena dan tidak mampu menyerap keindahan tempat yang ia kunjungi. Walaupun demikian, tulisan ini penting mengingat minimnya literatur yang membicarakan Liwa (atau Lampung pada umumnya). Dalam catatannya ini, Pattulo membuat data populasi penduduk daerah Lewah yang terdiri dusun-dusun: Bumi Agung, Surabaya, Kasugihan, Paggar, Negeri, Perwatta, Banding, Waye Mengaku, Tanjung, Gedong, Sungie, dan Genting.
Beberapa penyair menulis Liwa dalam sajak-sajak mereka. Saya menemukan sajak yang mengambil Liwa sebagai judul yang ditulis Fina Sato. Penyair kelahiran Subang, Jawa Barat, 16 Februari 1984 ini menulis sajak:
Liwa
kupagut dingin bukitbukit
dara yang merona
sejuk wajahmu bagai periperi hutan
tangis hujan merincik
di kotamu
membalut tubuhku dalam pesta sekura
kita menari, perempuanku!
meremang sepanjang tanjungkemala
kau perempuan hijau di punuk pesagi
tidakkah pertemuan kita
adalah sunyi?
ke barat,
kulumat perjalanan menuju krui
pelabuhan yang menjejak pulang dan
pergi
kabut kembali meremang waktu
sepanjang bandar merindu
dan ikanikan tak henti bertanya
ke mana arah bidok cinta bermuara
di sini
orangorang pun akan bertanya padamu
danau ranau tempatmu merantau?
menyelami tiyuh kenangan
berkaca pada batubatu legam
pada sawahsawah basah
dan dendang burung di reranting
pinang
lalu membasuh hitam rambutmu
di percikan kubuperahu?
kita luluh di kota tua ini
arus angin menggerus waktu
akhir usia di pucuk gunung
diantara uapacaraupacara adat
kita menari, perempuanku!
karena ikanikan terus bersenandung
sepanjang way
di jalanjalan
tepian hutan
bumi singgah, 2006
Keterangan:
bidok: bendungan-bendungan tempat ikan
(Lampung)
tiyuh: kampung (Lampung)
way: sungai (Lampung)
Beberapa penyair juga menulis sajak dengan mengambil setting Liwa (Lampung Barat) di antaranya Iswadi Pratama, Isbedy Stiawan ZS, Komang Ira Puspita, dan Christian Heru Cahyo Saputro. Dari Lambar sendiri ada Fitri Yani, M. Harya Ramdhoni, dan Udo Z. Karzi.
Novel 7 Manusia Harimau (terdiri dari 7 seri) karya Motinggo Busye menceritakan legenda yang hidup di Lampung Barat tentang manusia yang bisa menyerupai harimau. Barangkali ada kaitannya dengan Buay Nyerupa, salah satu Paksi Pak yang dikisahkan sebagai ahli menyamar dan meramu racun. Novel ini kemudian difilmkan dengan judul yang sama (1986), disutradarai Imam Tantowi dengan pemain Ray Sahetapy, Anneke Puteri, El Manik, dan Shinta Kartika Dewi. Sedangkan novel Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni mengisahkan runtuhnya Kerajaan Sekala Brak di kaki Gunung Pesagi seiring dengan masuknya Islam ke wilayah ini.
Untuk karya cerpen saya belum tahu cerpenis yang menggunakan Liwa, Lambar sebagai latar cerita.
Orang Liwa Menulis
Memang kalau hendak dibandingkan dengan Sumatera Barat, Lampung -- apatah lagi Liwa -- memang belum apa-apanya. Tapi, orang Liwa patut berbangga karena sesungguhnya dunia literasi di daerah ini telah lama hidup. Kalau keberadaan Kerajaan Sekala Brak di kaki Gunung Pesagi, Liwa, dipercaya sebagai pewaris aksara (had) Lampung, bisa dikatakan tradisi literer di Lampung Barat sudah ada sejak abad ke-8. Buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung yang diterbitkan Lampung Post (2008) menyebutkan beberapa nama yang lekat dengan literasi, baik sebagai akademisi, wartawan/penyiar/kolumnis, maupun sebagai sastrawan: Sulaiman Rasyid (1899-1976), Rais Latief (1900-1977), M. Arief Mahya (1926), Sazli Rais (1944), Lincolin Arsyad (1958), dan Udo Z. Karzi (1970).
Memang kalau hendak dibandingkan dengan Sumatera Barat, Lampung -- apatah lagi Liwa -- memang belum apa-apanya. Tapi, orang Liwa patut berbangga karena sesungguhnya dunia literasi di daerah ini telah lama hidup. Kalau keberadaan Kerajaan Sekala Brak di kaki Gunung Pesagi, Liwa, dipercaya sebagai pewaris aksara (had) Lampung, bisa dikatakan tradisi literer di Lampung Barat sudah ada sejak abad ke-8. Buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung yang diterbitkan Lampung Post (2008) menyebutkan beberapa nama yang lekat dengan literasi, baik sebagai akademisi, wartawan/penyiar/kolumnis, maupun sebagai sastrawan: Sulaiman Rasyid (1899-1976), Rais Latief (1900-1977), M. Arief Mahya (1926), Sazli Rais (1944), Lincolin Arsyad (1958), dan Udo Z. Karzi (1970).
Adalah Haji Sulaiman Rasjid bin Lasa (1898-1976) yang menyusun buku fikih pertama di negeri ini. Fiqih Islam, terbit 1951, karangan pria kelahiran Pekon Tengah, Liwa, tahun 1898, menjadi buku wajib di perguruan tinggi dan menengah di Indonesia serta Malaysia, sampai sekarang. Pendidikannya: Sekolah Mualim, sekolah guru di Mesir dan Perguruan Tinggi Al-Azhar Kairo Mesir, Jurusan Takhasuhus Fiqh (Ilmu Hukum Islam) selesai tahun 1935. Tahun 1936 ia ditunjuk Belanda sebagai Ketua Penyelidik Hukum Agama di Lampung, lalu tahun 1937--1942 menjadi Pegawai Tinggi Agama pada Kantor Syambu dalam Zaman Pendudukan Jepang. Ia meninggal di Bandar Lampung, 26 Januari 1976.
Sejawat Sulaiman Rasyid, Rais Latief (1900-1977) juga menyusun terjemahan hadis sahih Muslim bersama dengan H. Abdul Razak (asal Kotabumi). Buku-buku tersebut merupakan cikal-bakal buku-buku agama berbahasa Indonesia karya anak bangsa kemudian hari. Buku tersebut sangat populer beredar dan dicetak berulang-ulang di Malaysia dan Singapura.
Sekitar 1962 setelah pensiun sebagai pegawai tinggi Departemen Agama, ketimbang mengajar di perguruan tinggi agama Islam di Jakarta, beliau memilih pulang ke Lampung. Di Lampung Rais kembali memimpin Sekolah Tsanawiah Muhammadiyah Pekon Tengah Sebarus. Sekolah ini sampai kelas IV. Karena tidak ada aliah di Liwa, para alumnusnya melanjutkan di kota-kota lain seperti Yogya. Dengan kualitas memadai, lulusan tsanawiah ini bisa diterima di kelas II aliah atau SMA di Yogya. Rais tetap mengajar sampai berusia 70 tahun. Beliau wafat pada usia 77 tahun dan dikebumikan di Desa Sebarus Liwa di dekat tempatnya mengajar dan di tengah masyarakat yang begitu dicintainya.
Lalu, ada K.H. M. Arief Mahya kelahiran Gedung Asin, Liwa, 6 Juni 1926 yang dikenal sebagai pejuang dan ulama. Sejak 1 Juli 1979, M. Arief Mahya pensiun sebagai PNS setelah menjalani berbagai pekerjaan sebagai pendidik, juru dakwah, politikus, dan juga menulis. Meskipun pensiun, aktivitas pendidikan-dakwah-politik-nya tak mengendur. Arief pun mengisi hari-harinya dengan mengajar mengaji anak-anak sekitar rumah. Ia juga rutin mengisi ceramah agama dan terus menulis berbagai artikel di media massa lokal.
Anak Rais Latief, Sazli Rais kelahiran Sebarus, Liwa, Lampung Barat, 14 Desember 1944 juga lekat dengan dunia pers yang tidak bisa tidak bersentuhan dengan tulis menulis. Suaranya berat dan mengalun empuk mengetuk ruang-ruang keluarga Indonesia pada era 1970-80-an. Sebagai pembawa berita di TVRI dan RRI, nama, wajah, dan suara Sazli Rais populer sekali, menembus gunung-gemunung di pedalaman Lampung Barat, tanah kelahirannya.
Masih dari Sebarus, Lincolin Arsyad (lahir di Liwa, 21 Juli 1958) Lincolin Arsyad mampu menembus jajaran ekonom elite di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, gudangnya ekonom di Tanah Air bersama Universitas Indonesia. Ia dilantik sebagai dekan FEB-UGM pada 14 November 2007. Dengan demikian, Lincolin-lah dekan pertama di lingkungan UGM yang berasal dari Lampung. Prestasi Lincolin sangat gemilang karena kompetisi dosen di UGM dikenal sangat terstruktur dan ketat, terlebih untuk fakultas ekonomi. Ia menulis beberapa textbook ilmu ekonomi.
Generasi selanjutnya mulai lahir beberapa nama yang menggeluti dunia kewartawanan dan kesusastraan: Imron Nasri (1965), redaktur Majalah Suara Muhammadiyah Yogyakarta, yang banyak menulis dan mengeditori buku-buku nonfiksi, ZA Mathika Dewa (1970-1998) melahirkan buku puisi Pencarian (1995); Udo Z. Karzi (1970) menulis buku Momentum (kumpulan sajak, 2002), Mak Dawah Mak Dibingi (kumpulan sajak, 2007), dan Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (2012). Lalu, Muhammad Harya Ramdhoni (1981) menulis novel sejarah Perempuan Penunggang Harimau (2011) dan kumpulan cerpen Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (2012). Dan yang terkini Fitri Yani (lahir 1986) yang melahirkan buku puisi Dermaga Tak Bernama (bahasa Indonesia, 2010) dan Suluh (bahasa Lampung, 2013).
Penutup
Terlihat, alam dan manusia Liwa sangat menarik untuk ditulis dalam bentuk apa pun: puisi, cerpen, novel, catatan perjalanan, feature, atau studi. Lalu para para penulis dari Liwa sendiri telah pula mengembangkan tradisi literer ini di berbagai bidang kepenulisan.
Terlihat, alam dan manusia Liwa sangat menarik untuk ditulis dalam bentuk apa pun: puisi, cerpen, novel, catatan perjalanan, feature, atau studi. Lalu para para penulis dari Liwa sendiri telah pula mengembangkan tradisi literer ini di berbagai bidang kepenulisan.
Ini tentu menjadi motivasi besar bagi pelajar se-Lampung Barat. Jadi, apa lagi?
Bandar Lampung, 17 November 2013
----------------------------
semoga karya-karya besar akan terus lahir dari kota berbunga ini :)
BalasHapusya, semoga. kita harus terus memupuknya.
BalasHapusturuk hanggum jadi jelma Liwa,,
BalasHapussangon kak adu mejaoh jak liwa ampai pandai rik kerasa... rupani jak tumbai jelma liwa ajo sangon hebat-hebat. Turunanni Umpu Nyerupa. hehee...
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTrims tambahan reprensinya udi
BalasHapusTrims tambahan reprensinya udk
BalasHapus